Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI luar, tak ada yang istimewa dari bengkel kusam di pojok Jalan Raya Puspiptek, Serpong, Tangerang, itu. Bangunannya dari bambu, dengan atap rumbia. Dindingnya juga semipermanen. "Ini bekas lapangan futsal," kata salah seorang pegawai bengkel tersebut ketika Tempo bertandang ke sana, pertengahan Juli lalu.
Begitu menengok ke dalam, baru terasa ada aktivitas luar biasa di bangunan bersahaja itu. Sebuah mesin penggiling raksasa, setinggi nyaris 3 meter, tercagak di satu sudut. Di bawahnya bertumpuk bebatuan dengan gurat biru di permukaannya. "Itu baru datang dari sebuah tambang tembaga di Lampung," si pegawai menambahkan. Bak-bak beton seluas 2 meter persegi penuh air kehijauan berderet di dekat mesin itu.
Di sudut lain, ada mesin penggiling lain berukuran lebih kecil. Bentuknya serupa, tapi yang ini penuh jelaga. Kardus-kardus penuh botol tinta spidol bertumpuk di dekatnya.
Bengkel inilah laboratorium lapangan Nurul Taufiqu Rochman. Pria 42 tahun ini peneliti senior di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Sejak kembali ke Indonesia pada 2004, dia dikenal sebagai pakar nanoteknologi terkemuka negeri ini.
Temuannya yang paling terkenal adalah mesin penggiling nanopartikel, yang bisa mencacah besi sampai bahan organik menjadi ukuran nano. Satu nanometer sama dengan sepermiliar meter. Maha-kecil. "Ah, alat itu sederhana dan tidak spektakuler sebenarnya," kata Nurul tertawa.
Mesin bernama High Energy Milling Elips 3D Motion tersebut dibuatnya pada 2005, karena laboratoriumnya waktu itu hanya menyediakan mesin bubut dan bor. "Padahal, di Jepang, saya bekerja dengan alat-alat canggih," katanya tanpa bermaksud jemawa. "Ya sudah, saya bikin saja sendiri."
Sekarang mesin ini sudah dibeli berbagai lembaga penelitian di dalam dan di luar negeri. Selain kualitasnya lebih baik, alat buatan Nurul itu jauh lebih murah ketimbang mesin serupa produksi luar negeri. "Saya jual cuma Rp 60 juta," katanya pendek.Â
Dengan mesin itu, Nurul bisa berkreasi lebih jauh. Bengkelnya di Serpong, tak jauh dari kantornya di Balai Inkubator Teknologi, Puspiptek, adalah bukti nyata bagaimana otak ayah lima anak ini tak pernah berhenti bekerja. Di sana dia menciptakan tinta spidol dengan teknologi nano. Bahan dasarnya arang kelapa. Â
"Lihat, tinta buatan kami tidak mengotori tangan," kata Nurul. Jika tak sengaja terciprat, gosok saja kuat-kuat dan tinta itu dengan cepat "hilang" seperti menguap. Tanpa zat kimia dan berbahan organik, tinta Nurul jadi ramah lingkungan. Produksi massal tinta nano itu mulai dipasarkan di sekolah-sekolah di Tangerang.
Itu baru satu produk. Dia juga bereksperimen dengan bijih besi dan bebatuan tambang. Nurul yakin nanoteknologi bisa membantu daya saing industri pangan, pertanian, kesehatan, sampai pertambangan. "Nilai ekonomi dari komoditas hasil bumi dan tambang kita bisa didongkrak dengan nanoteknologi," katanya.
Total Nurul punya 12 paten untuk beragam ciptaannya. Ada nanokopi, nanoherbal, nanosabun, nanosampo, pokoknya serba nano. Dengan teknologi nano, kualitas semua bahan pangan dan produk kosmetik memang melonjak berkali lipat.
"Semua paten saya sudah jadi produk dan sekitar 80 persen laku terjual," katanya. Sejak awal Nurul mengaku tak mau sekadar jadi ilmuwan. "Saya tak mau hasil riset saya hanya jadi tumpukan kertas," katanya.
Untuk itu, dia mendirikan PT Nanotech Indonesia untuk mengurus aspek bisnis dari semua risetnya. Pegawainya sekarang 40 orang. "Omzet dari penjualan mesin penggiling nanopartikel saja sudah Rp 1 miliar lebih," katanya.
Kegigihan Nurul tidak datang dari langit. Lahir dari keluarga sederhana, anak keempat dari lima bersaudara ini terbiasa bekerja keras sejak kecil. "Ibu saya guru agama di sekolah dasar," katanya.
Setiap hari Nurul kecil harus berjualan es lilin dan gorengan di kantin sekolahnya di Malang, Jawa Timur. Keuntungannya tak seberapa, tapi penting untuk menjaga asap dapur keluarga itu. "Saya belajar dari Ibu tentang keuletan untuk bertahan dan berjuang," katanya.
Ketertarikan Nurul pada ilmu pengetahuan datang dari buku-buku yang dibacanya. Ketika duduk di bangku sekolah menengah atas, dia mengidolakan ilmuwan gondrong Albert Einstein. Semua buku tentang Einstein dan teori relativitas dilalapnya.
Lulus SMA pada 1990, Nurul memperoleh beasiswa untuk belajar teknik mesin di Kagoshima University, Jepang. Padahal waktu itu dia sudah diterima di Teknik Industri Institut Teknologi Bandung. "Di Jepang, saya mulai belajar partikel sub-mikron sampai nano," katanya.
Tamat S-1 dengan nilai nyaris sempurna, beasiswa lain datang, susul-menyusul. Tak terasa waktu 15 tahun dia habiskan di Negeri Matahari Terbit. Nurul bahkan sempat bekerja sebagai konsultan di sebuah perusahaan di Kagoshima.
Di negeri itu, Nurul mendapat pelajaran berharga soal pentingnya riset untuk pengembangan industri. "Tapi untuk maju, selain berpikir strategis, kita dituntut bisa berpikir taktis dan pragmatis," katanya serius. Dengan kata lain, riset secanggih apa pun harus berpijak ke bumi. "Ada nilai ekonomisnya atau tidak," kata Nurul.
Dari seorang pengagum Einstein, Nurul kini bermetamorfosis menjadi ilmuwan yang bisa berpikir ala industriwan. "Seharusnya idola saya Thomas Alva Edison, ya?" katanya terbahak-bahak.
Nurul Taufiqu Rochman
Tempat dan tanggal lahir: Malang, 5 Agustus 1970
Pendidikan:
Penghargaan:
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo