Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

<font face=arial size=2 color=#ff9900>Hokky Situngkir</font><br />Berkat Teori Kompleksitas Terbit Hoki

Memadukan berbagai disiplin ilmu, ia menguak rahasia batik, lagu daerah, pergerakan saham, dan Candi Borobudur.

12 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada mulanya adalah rasa gundah. Sebagai aktivis mahasiswa Institut Teknologi Bandung yang ikut berdemo menjelang Soeharto mundur, Hokky Situngkir risau menyaksikan banyaknya kekerasan yang terjadi setelah pergantian pemerintahan. Konflik horizontal bermunculan di berbagai daerah. Antarkelompok masyarakat saling mengejek dan bertikai.

Hokky merasa, "Ada yang keliru dari segala macam teori sosial berikut ideologi yang dikupas setiap hari dalam diskusi."

Ia kemudian berselancar mencari referensi di Internet tentang konflik horizontal di berbagai negara. Saat itu tahun 2000. Pencarian lulusan Jurusan Teknik Elektro Institut Teknologi Bandung pada 2001 ini terfokus pada tulisan Elisabeth Jean Wood, pengajar ilmu politik Yale University, di salah satu seri buletin yang dikeluarkan Santa Fe Institute.

Wood memetakan konflik antaretnis yang melibatkan kelompok bersenjata di El Salvador dengan menggunakan game theory. "Kalau dilihat matriks­nya, tidak bisa dibilang itu sosiologi, ekonomi, atau antropologi. Semuanya ada di situ," kata Hokky.

Yang membuatnya kagum, latar belakang Wood adalah matematikawan. Ia menggarap kajian sosial dengan menggunakan pendekatan berbagai ilmu. Tulisan Wood itu membuatnya melakukan pencarian lebih dalam tentang teori permainan. Kebetulan, teori ini sangat matematis, sesuai dengan disiplin ilmu yang awalnya dipelajari Hokky.

Penelusuran lebih mendalam di Internet membuatnya bertemu dengan teori kompleksitas yang tengah dikembangkan Santa Fe Institute, lembaga riset independen di Santa Fe, New Mexico, Amerika Serikat. Teori yang lahir pada akhir abad ke-20 ini merangkul berbagai disiplin ilmu untuk menjelaskan suatu persoalan. Dia yakin teori lintas disiplin ilmu yang menggunakan model komputasi ini menawarkan perubahan fundamental dalam cara pandang melihat realitas sosial. Teori ini juga bisa dipakai untuk meneliti artefak-artefak arkeologi dan kebudayaan.

Di Arizona, Amerika, misalnya, lembaga ini memobilisasi ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk meneliti situs prasejarah Anasazi. Selama 20 tahun, dari fisikawan, ahli iklim, hingga ahli teologi meneliti gua purbakala yang tidak ada jejak penghuninya. Dengan dibantu komputer super, mereka berhasil membuat Anasazi Modeling, yang menggambarkan masyarakat yang mendiami gua Anasazi ribuan tahun lalu.

Begitu terpesonanya oleh teori ini, dia mendirikan Bandung Fe Institute, mengambil nama Santa Fe Institute. Riset awalnya adalah meneliti batik. Hokky ingin membuktikan bahwa batik bukan ornamen, melainkan lukisan yang bisa disejajarkan dengan karya agung Leonardo da Vinci, Raphael, atau Michelangelo.

Hipotesisnya itu berangkat dari pertanyaan sederhana: di mana karya lukis orang Jawa ketika mereka sanggup membuat Candi Borobudur, mahakar­ya seni tiga dimensi yang diakui memiliki bangunan yang sangat kompleks?

Dia mewawancarai akademikus dan pegiat seni rupa, lalu berburu aneka motif batik ke museum-museum. Ia yakin batik adalah karya lukis yang punya cerita. "Tak ada batik yang tak ada narasi di belakangnya," ucapnya. Ketika mengisi kain dengan cerita, kata dia, pembatik tak akan membiarkan lembaran kain itu kosong. Sang pembatik menggambar ibarat sedang memasang puzzle. Tanpa disadari, batik kemudian memiliki karakteristik fraktal—konsep matematika yang membahas kesamaan pola atau geometri yang berulang-ulang pada semua skala.

Nah, pola batik yang sudah diterjemahkan dalam rumus fraktal atau matematika ini lantas dimodifikasi dengan bantuan komputer, sehingga menghasilkan desain pola baru yang sangat beragam—baik dilihat dari grafis, warna, ukuran, sudut, maupun perulangannya.

Proses pembuatan motif batik fraktal dapat memecahkan masalah keterbatasan desain motif batik, bahkan dapat menghasilkan banyak motif secara cepat, dari yang sederhana sampai yang sangat unik dan modern. "Kami mendapati keunikan dalam dimensi fraktal batik dan menunjukkan bahwa batik adalah lukisan," ujar Hokky pada awal Juli lalu.

Menurut Hokky, pola-pola fraktal juga terlihat pada pigmentasi kerang, pola sulir cangkang kerang, bentuk-bentuk rumit bunga salju, atau pertumbuhan sel kanker. Termasuk beberapa pola pergerakan harga saham dan indeks dalam ekonomi.

Cara berpikir dengan pendekatan geometri fraktal, kata dia, juga digunakan para ahli Wangsa Syailendra ketika membuat Candi Borobudur pada 800-an Masehi. Ia membuktikannya dengan melakukan pengukuran di setiap sudut candi Buddha yang terletak di Magelang, Jawa Tengah, itu. "Ketika kami mengukur stupa, petugas sempat menuduh kami mau mengebom," ujarnya, tertawa.

Berbekal data dimensi candi dan algoritma fraktal, dia mendapati aturan sederhana untuk penempatan batu penyusun Borobudur, yaitu menempatkan satu batu di atas batu lain setelah ada lima batu. Dari model di komputer, Hokky menjelaskan bahwa Borobudur berada di antara dua dimensi dan tiga dimensi.

Model komputer juga dia terapkan ketika menganalisis lagu-lagu daerah. Dia menganalisis nada, sekuen, aksen, lirik, timbre, dan jarak dari penyanyi dan pendengarnya. Ternyata, kata dia, bukan nada, melainkan sekuen yang menjadi unsur elementer yang membedakan satu lagu dengan lagu lain sebagai abstraksi kognisi kolektif dari masyarakat daerah tersebut.

Batik, Candi Borobudur, lagu daerah, pergerakan saham, dan kini penelitian aspek arkeo-astronomi situs purbakala Gunung Padang di Cianjur merupakan contoh risetnya yang menggunakan teori kompleksitas. "Saya sedang menyiapkan model komputasi untuk mereka-reka situs tersebut," ujar Hokky.

Ketekunan Hokky mendorong penerapan teori ini mendapatkan hoki dan pujian. Business Innovation Center bersama Kementerian Riset dan Teknologi memberinya penghargaan. Tahun lalu, dia juga memperoleh Bakrie Award 2011 sebagai ilmuwan muda berprestasi. Profesor Yohanes Surya menggelari Hokky—yang lahir di Pematangsiantar, Sumatera Utara—sebagai "Bapak Kompleksitas Indonesia".

"Cara berpikir teori kompleksitas yang seharusnya kita rayakan hari ini," kata Hokky.


Hokky Situngkir

Tempat dan tanggal lahir: 7 Februari 1978

Pekerjaan:

  • Peneliti Bandung Fe Institute, Research Fellow di Surya Research International, dan editor di Journal of Social Complexity

    Pendidikan:

  • Lulusan Jurusan Teknik Elektro ITB, 2001

    Pendidikan:

  • Bakrie Award 2011 sebagai ilmuwan muda berprestasi
  • Penghargaan Business Innovation Center bersama Kementerian Riset dan Teknologi
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus