SEJAK Konperensi Asia Afrika pertama di Bandung, 1955, antara Kota Bandung dan Kota Braunsweigh, Jerman Barat, diamdiam terjadi hubungan erat. Keduanya sering bertukar-tukaran misi kebudayaan dan kesenian. Tari jaipongan, antara lain, cukup diminati di Braunsweigh. Belum lama ini, utusan dari sana tiba-tiba merasa kecewa. Seperangkat peralatan mesin potong hewan yang diberikan wali kota Braunsweigh beberapa tahun lalu ternyata tak pernah digunakan di Bandung. Sumbangan itu menumpuk begitu saja, menjadi besi tua. Padahal, utusan yang datang itu sebenarnya hendak mengecek kalau-kalau ada suku cadang mesin yang harus diganti atau direparasi. Mesin potong elektronis itu sebenarnya tergolong modern. Sehari bisa memotong 2.500 ekor sapi atau kerbau. Dilengkapi pula dengan alat menguliti dan memotongmotong tubuh binatang yang baru disembelih, lengkap dengan lemari pendingin segala. Untuk memboyong peralatan yang berton-ton itu pihak Pemda Bandung sudah mengeluarkan biaya Rp 100 juta. Sewaktu diangkut, beberapa bagiannya terpaksa dicopot atau dipotong. Tapi setibanya di Bandung, peralatan itu tak bisa diapa-apakan. "Kami tak bisa memasangnya kembali. Juga sarana seperti gedung dan listrik belum disiapkan," kata Nadi Wirakusumah, sekretaris Lembaga Persahabatan Bandung-Braunsweigh, kepada TEMPO. Soalnya lagi, bila dioperasikan, kerugian akan menumpuk. Mesin potong itu kapasitasnya kelewat besar. Padahal, kebutuhan hewan potong untuk penduduk Bandung dan sekitarnya paling hanya 25 ekor sapi dan kerbau sehari - hanya seperseratus kemampuan mesin. Belum lagi hambatan dari segi agama - sebab mesin itu tak bisa baca bismillah. Mulanya, hadiah itu memang tak akan diambil. "Tapi sebagai orang Timur, kami tak enak. Walau mesin tak bisa digunakan, kami tetap mengucapkan terima kasih kepada warga Braunsweigh," kata Nadi. Persahabatan ternyata memang bisa menghasilkan hal yang mubazir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini