ADA dua figur putih berangkulan. Ada dua bentuk boneka tinggi besar dari lempeng tembaga. Lalu ada enam belas kayu berbentuk mirip pedang dideretkan empat-empat, ditaruh dalam rumah-rumahan. Inilah, antara lain, patung-patung warga baru DKI Jakarta, yang ditempatkan di Taman Surapati, di pinggir Jalan Diponegoro, sekitar 2 km arah timur Hotel Indonesia. Itulah hasil Simposium Seni Patung ASEAN III (yang pertama di Singapura, 1981, yang kedua di Bangkok, 1983). Yakni, sebuah acara membuat patung bersama-sama, yang diselenggarakan oleh Komite Kebudayaan dan Informasi ASEAN. Mengambil tempat di Jakarta, persisnya di Taman Ismail Marzuki, enam pematung ASEAN mulai bekerja pada 6 November lalu. Dan 44 hari kemudian, Kamis pekan lalu, patung-patung bertema pokok "semangat seni ASEAN" disahkan jadi milik Jakarta. Berbeda dengan patung-patung yang kini menghias Jakarta, warga baru ini tak bermegah-megah. Dibandingkan misalnya patung Dirgantara di perempatan Pancoran, Jakarta Selatan, atau patung Pembebasan di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, yang menjulang di udara, enam patung belakangan terasa "kecil". Paling tinggi sekitar 6 m, hanya berdiri pada landasan kurang dari 1 m. Bahkan patung pelat besi "telanjang kaki" langsung berdiri di tanah berumput. Tapi dengan begitu, karya para pematung pilihan ASEAN itu memberikan suasana lain. Tak ada imaji berteriak, menambah gaduh hiruk-pikuk Jakarta. Muncul di antara pohon-pohon asam, akasia, dan pohon kelapa di Taman Surapati, karya-karya itu menjadi teman bersantai. "Patung yang intim bisa didekati, disentuh. Patung yang manusiawi," kata G. Sidharta, pematung Indonesia, salah seorang panitia Simposium. Tak berarti keenamnya tegak sempurna. Patung dua belas tiang besi, yang berjudul Serasi, misalnya. Apa boleh buat, H. Awang Latief Aspar, 27, pematung dari Brunei, memang membebani patung ini dengan simbol-simbol. Misalnya, dua belas tiang melengkung yang dibagi menjadi enam mencuat ke atas, enam ke bawah, adalah simbol ASEAN. Di tengahnya ada bentuk tong. "Ini simbol kekuatan ASEAN, yaitu minyak," katanya. Begitu terasa simbol-simbol itu menjadi bahasa mati. Eloknya, sang pematung mengakui, karyanya tidak hebat. Di Brunei, katanya, tradisi menghias taman dengan patung langka. Selain itu, ia sendiri tak sempat mengasah kreativitasnya. "Waktu saya habis untuk bekerja, tutur pegawai pameran Museum Nasional Brunei Darussalam ini. Serasi ditempatkan di sisi barat Taman Surapati (sekitar 50 x 50 m), kira-kira di bagian tengah. Di seberangnya, di sisi timur, itulah tugu beton tegak, berjudul Semangat ASEAN. Berbentuk pilar empat persegi, di bagian atas ditambah balok empat persegi melintang di tiga sisi. Wee Beng Chong, 46, pencipta karya ini, dari Singapura, sudah menylapkan minlatur karyanya sebelum datang ke Jakarta. Patung ini memang kaku, tegar, miskin imaji. Chong sendiri mengaku, sebenarnya ia lebih banyak membuat lukisan dan kaligrafi. Adalah Liee Kian Seng, seni rupawan Malaysia, yang terjun dalam hampir semua cabang seni rupa. Di Jepang, suami berusia 36 tahun ini belajar melukis, mencetak grafis, mencelup kain, mematung. "Seniman mestinya terus menerus berlatih dan riset," katanya. Ia menggunakan materi pelat besi, yang bisa ditekuk, dilubangi. Jadinya, sebuah perpaduan seni dua matra dan tiga matra. Ini merupakan perwujudan dari yin dan yang, negatif dan positif, dari filsafat Tao yang dipelajarinya. Menyatukan dua kekuatan alam, itulah muara semua karyanya, katanya. Perdamaian, Serasi, dan Satu, judul karya Kian Seng, ditempatkan di sisi selatan Semangat ASEAN. Permukaan pelat yang dibrons memantulkan cahaya matahari begitu menyilaukan, seolah menteror penonton, bila hari panas. Tapi, bila hari teduh, ketika matahari belum tinggi, atau sudah condong ke barat, karya ini pun ikut teduh. Jangan melawan alam, mungkin itulah pesan yang hendak digaungkan. Di sisi utara, berdiri karya Sunaryo dari Indonesia. Dua bentuk boneka setinggi 6 m terbuat dari lempeng tembaga. Seandainya taman ini sebuah rumah, patung berjudul Perdamaian ini adalah seorang tamu. Alas itulah, pada hemat saya, yang menjadikan patung ini tak akrab dengan sekeliling. Dua boneka itu seperti takut kotor oleh tanah dan rumput. Sementara itu, komposisi menjulang ke atas, bidang dan garis menyampingboleh dianggap tak punya kekuatan. Mungkin, Sunaryo, 41, agak salah hitung. Pada mulanya, patung ASEAN direncanakan ditempatkan di kawasan pantai, di Taman Impian Jaya Ancol. Komposisi menjulang dimaksudkan oleh ketua Studio Patung Seni Rupa ITB ini sebagai imbangan ombak laut yang horisontal. Tapi, adakah patung untuk sebuah lokasi harus memperhitungkan suasana sekitar ? Bukankah lingkungan tumbuh, dan itu berarti suasana akan selalu berubah? Benar. Dan tampaknya, mengamati patung-patung di Jakarta - baik yang sudah terpasang maupun dalam ruang pameran - sedikit sekali pematung yang menyadari hal ini. Adhie Moersid, seorang arsltek - antara lain ia menciptakan monumen Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta - punya teori. Untuk menyatu dengan lingkungan, sebuah patung harus bisa menjadi titik fungsional dari ruang. Karena patung bukan sebuah meja yang bisa diduduki, makna fungsional di situ berarti ikut menjadi unsur pembentuk ruang. Tapi sebelum itu, tentu, patung itu sendiri diminta menyelesaikan masalah dirinya sendiri. Yakni, mengatasi masalah teknis elementer, dan kebisuan ekspresi. Dilihat dari itu, Karya Chandhanaphalin 38, dari Muangthai hampir pas. Dua figur dari fibreglass yang berangkulan memberi kesempatan lingkungannya untuk merangkumnya. Celah dan lubang pada patung itu membentuk ruang, berpadu dengan taman. Masalahnya, bentuk figur yang digelembungkan bagian-bagian tertentu, hingga menon)ol dalam komposlsi keseluruhan, terasa sebagai hal yang klise, tak orisinil. Karena itu, menarik bila karya Luis E. Yee, 42, orang Filipina, ditaruh di bawah rumah-rumahan. Enam belas kayu jati berbentuk mirip pedang yang dideretkan empat-empat - ya, ini patungnya - justru didalam rumah ia menyatu dengan lingkungan. Memang, kemudian terasa, melihat patung ini mirip meninjau tempat keramat. Seolah ini sebuah kubur. Soalnya, adakah Anda melihat patung dan rumah sebagai satu kesatuan atau tidak? Apakah Anda merasakan bidang kosong antara keempat tiang sebagai kosong, atau itu pun merupakan elemen dari patung dan rumah? Bila itu merupakan bagian pula dari patung, maka yang muncul adalah sebuah sosok segi empat, dan bilah-bilah pedang itu adalah ornamen yang memancarkan imaji. Maka, seolah, ada cahaya, atau angin, atau apa, yang keluar masuk rumah itu, menyentuh pohon, menyentuh daun. Sebuah alam yang indah. Tapi, lepas dari semua itu, sekali lagi, Taman Surapati memang menyuguhkan gejala baru: lahirnya patung-patung tanpa jarak dengan para penontonnya. Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini