Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG Mesir lebih suka mencemooh daripada memprotes," kata Ali Dasuki, sarjana ilmu politik Universitas Kairo. "Itulah cara mereka menekan penguasa. Semakin macet hubungan dengan penguasa, semakin doyan orang pada lelucon politik." Ini karena bagi orang Mesir hanya ada dua jenis manusia di dunia ini: yang periang, gampang menyesuaikan diri dengan kenyataan hidup, dan yang pemuram. Orang Mesir sendiri menganggap diri mereka periang, sedikit sinis, tapi pada dasarnya berhati baik. Kelakar atau olok-olok merupakan cara orang Mesir mengungkapkan diri atau mengecam penguasa. Terhadap Presiden Gamal Abdel Nasser, yang memerintah dengan tangan besi, olok-olok itu menyangkut sifat pemerintahannya yang diktatorial. Pada zaman Presiden Sadat, mereka berolok-olok tentang korupsi yang berkembang sekitar dirinya. Juga tentang istrinya yang suka menonjolkan diri. Tapi tentang presiden yang sekarang, Husni Mubarak, tidak ada - atau belum ada - olok-olok masyarakat, demikian tulis John Newhouse dalam The New Yorker edisi akhir Juli lalu. Mubarak jadi presiden bulan Oktober 1981 menggantikan Sadat, "Firaun pertama yang dibantai rakyat," kata orang Mesir. Mubarak, dalam pandangan Dasuki, membawakan diri sebagai orang Mesir yang sangat wajar, penuh toleransi terhadap banyak hal. "Jadi, tak banyak yang bisa diperolok-olokkan tentang dia," kata Dasuki. Salah Jahin, karikaturis politik koran Kairo terkemuka Al Ahram dan penulis sandiwara serta skrip televisi, mengakui lenyapnya lelucon politik sekarang ini. Yang muncul malah lelucon jenis lain yang absurd. Sasarannya: orang-orang Mesir yang dianggap "terkebelakang" - yang meninggalkan tanah air untuk cari makan dan mengumpulkan duit di negara lain. Di berbagai negara Timur Tengah saja ada empat juta orang Mesir - kebanyakan di Irak dan negara-negara Teluk Persia - dan kiriman uang mereka ke rumah penting artinya bagi perekonomian negara itu. Orang Mesir di dalam negeri, yang iri kepada mereka, menjadikan mereka sasaran olok-olok. Menurut Yusuf Idris, penulis novel, cerita pendek, sandiwara dan film, Mubarak luput dari sasaran olok-olok politik karena gaya politiknya yang sangat berbeda dengan para pendahulunya. Idris adalah salah seorang penulis yang paling dikagumi dan dihormati pada zaman Nasser dan Sadat. Di zaman Nasser ia pernah ditahan, kemudian direhabilitasi. Ia sempat disiksa, dan salah satu sandiwaranya dilarang, tapi kini ia sehat walafiat. Di zaman Sadat yang amat tak disukainya - ia menderita karena menggambarkan presiden itu sebagai diktator dalam wawancara dengan penulis Israel, Amos Elon. "Keadaan sekarang sangat berbeda," kata Idris. "Sadat selalu mau menang sendiri, tak peduli benar atau salah. Dan ini menjengkelkan orang Mesir. Tak ada olok-olok tentang Mubarak, karena ia benar-benar seorang presiden, bukan seorang 'bapak angkat' seperti Nasser atau Sadat. Mubarak melaksanakan tugasnya tanpa memaksakan kehendaknya kepada rakyat. Karena itu, tak ada yang membencinya. Tapi orang yang jatuh cinta kepadanya pun tidak ada. Orang sangat menghargainya - terutama ketulusannya dan netralitas politiknya. Apa lagi yang bisa kita harapkan dari seorang presiden? Kita tak menginginkan 'bapak angkat', bahkan 'bapak kandung' sekalipun." Mubarak, kini 56 tahun, menjabat panglima angkatan udara Mesir ketika diangkat sebagai wakil presiden pada 1975. Tapi tak seperti Nasser atau Sadat, yang juga bekas tentara, Mubarak adalah perwira karier yang tak banyak pengalaman dalam politik. Sebagai perwira muda, Nasser dahulu telah menunjukkan bakat politiknya dan Sadat, sebelum menggantikannya, sudah 25 tahun berkecimpung dalam politik. Tahun 1940-an Sadat dipenjarakan karena kegiatan terornya menentang Inggris. Sedangkan Mubarak, yang ada dalam dunianya hanyalah lapangan terbang, barak militer, dan rumah. Minatnya tertumpah pada pesawat terbang baru dan strategi perang melawan Israel. Sebagai wakil presiden, ia digambarkan sebagai tokoh lucu. Tapi setelah menjadi presiden, ia banyak berubah. Ketika ia masih menjadi wakil presiden, penduduk Kairo menjulukinya la vache qui rit - "sapi yang ketawa" - ungkapan Prancis yang populer di sana, karena Mubarak sering kelihatan dipotret dalam suasana tak ada pekerjaan lain kecuali tersenyum. Seorang pejabat Amerika di zaman Carter, yang beberapa kali bertemu Mubarak waktu Carter mengunjungi Kairo, mengatakan, "la membuat catatan, dan tak banyak bunyi kecuali jika Sadat meninggalkan ruangan untuk bicara berdua dengan Carter, Vance, atau siapa saja. Setelah atasannya berlalu itulah Mubarak baru akan ngoceh tentang kisah di medan perang, disertai sedikit kelakar. Tapi, setelah beberapa waktu kemudian ia beroleh pengalaman dalam urusan negara, kepercayaan dirinya mulai tumbuh, dan kepintarannya dalam berpolitik tampak jelas. Ia suka berterus terang dan blak-blakan dibanding Sadat yang jika bicara berbelit-belit, tak langsung pada pokok soal. Orang luar akan melihat reaksi rakyat Mesir yang tenteram - apa pun aliran politiknya - dengan munculnya Mubarak, sementara Sadat dianggap terlalu menekan mereka. Di tahun-tahun terakhir pemerintahannya, presiden itu dianggap tidak saja sudah jauh mengabaikan hati nurani rakyatnya, tapi juga salah mengerti. "Sadat adalah pemain panggung yang baik," kata Muhammad Sid Ahmad, bangsawan yang memikat dan seorang Marxis yang jadi kolumnis terkemuka harian kiri Al Ahali. "Tapi ia berbuat sesuatu yang tak pernah terjadi sebelumnya. Ia memenjarakan segala jenis pemimpin politik - orang-orang pintar dari segala lapisan dan aliran." Yang dimaksudnya ialah penangkapan politik besar-besaran pada bulan September 1981. Sid Ahmad sendiri sempat lari ke luar negeri tak lama sebelum terjadinya peristiwa itu. Penangkapan besar-besaran itulah yang membuat suasana bertambah tegang dan berakhir dengan terbunuhnya sang presiden beberapa minggu kemudian. Menurut orang Mesir sendiri, tindakan itu sebenarnya hanya mempercepat pematangan situasi. Makin merajalelanya korupsi di kalangan pemerintahan, dan keangkuhan Sadat yang tak mengacuhkan perasaan rakyat, melahirkan suasana yang mendorong lawan-lawannya berkomplot membunuhnya. Tapi waktu itu tak ada yang tahu seberapa luas komplotan itu atau apa yang ada di belakangnya. Mubarak, yang sekarang berkuasa, sebaliknya. Ia tidak memperketat tindakan pengamanan, malahan mulai memberi beberapa keleluasaan. Para tahanan politik dibebaskannya, kecuali mereka yang cenderung pada tindak kekerasan. Ia pun mulai mendekati unsur-unsur moderat di kalangan oposisi. Masalah korupsi ditanggulanginya pula - bukan dengan mencurigai tokoh-tokoh penting yang kaya mendadak, tapi menjelaskan kepada setiap orang bahwa zaman pemerintahan baru yang lebih berhati-hati telah dimulai. Sedemikian jauh, meskipun Sadat dianggap "kasar" - "terlalu kasar", bahkan - ada juga orang-orang di Kairo yang bersimpati kepadanya. Betapapun, Sadatlah yang mengusir para penasihat Soviet dari negeri itu dan memperbaiki hubungan dengan Amerika. Meski orang Mesir menganggapnya boneka Amerika, mereka menyukai hubungannya yang kuat dengan Amerika yang berhasil menggaet bantuan hampir US$ 2 milyar setahun dari sana. Tentu saja Sadat tetap dikenang sebagai orang yang mengakhiri perang dengan Israel. Banyak, atau mungkin sebagian besar, orang Mesir yang sadar politik yang memang kurang senang dengan syarat-syarat perdamaiannya dengan Israel. Terutama karena tak adanya konsesi Israel terhadap hal-hal yang selama ini didesakkan dunia Arab. Tapi sebagian besar orang Mesir tetap lebih menyukai "perdamaian dingin" Sadat daripada terus menghadapi ancaman perang dengan Israel. Singkatnya, dapat dikatakan, orang Mesir tak menyukai Sadat, tapi tak ingin apa yang sudah dicapainya tidak terselesaikan. Dalam pujian terhadap Mubarak, orang mendengar banyak hal tentang ketidaksetujuannya digunakan polisi rahasia untuk memata-matai penduduk. Ini hal yang baik, karena Mubarak mulai mengambil langkah untuk memperkukuh kebebasan rakyat. Di zaman Sadat pun, cara-cara memata-matai penduduk - dengan menyadap pembicaraan telepon mereka - sebenarnya sudah dibatasi. Sadat memilih Mubarak sebagai bakal penggantinya karena ia merasa memerlukan seorang tokoh militer lagi, tapi yang tidak akan menimbulkan iri hati di kalangan perwira lain. Mubarak, dengan angkatan udaranya, menunjukkan prestasi yang baik dalam perang melawan Israel, 1973, dengan dukungan peluru-peluru kendali pertahanan udara buatan Soviet, sehingga tentara Mesir bisa menyeberangi Terusan Suez dan menghantam musuh. Beberapa saingan Mubarak tak dapat diterima, karena sikap politik mereka atau karena dekat dengan golongan agama ekstrem. Kedua hal ini tak ada pada Mubarak. Sadat pun tahu, ia anti-Soviet - satu faktor plus lagi. Di antara politikus yang dekat dengan Sadat adalah Mansur Hassan, menteri negara urusan kepresidenan dan juga menteri kebudayaan dan penerangan. Ia sudah dicalonkan jadi perdana menteri, tapi batal karena Hassan menentang penangkapan politik. Ia terpaksa mengundurkan diri, dan kini jadi pengusaha yang sukses. Nasihat-nasihat politiknya masih didengarkan orang, dan kemungkinannya terjun kembali ke politik masih terbuka. "Rakyat Mesir sabar, penuh pengertian, dan siap membantu pemimpinnya yang baru," katanya. "Karena itu, Mesir sebenarnya gampang diurus." Mulanya Mubarak tampak mewarisi kesabaran dan kecenderungan Mesir untuk mengharapkan yang terbaik, meski ia berasal dari kalangan prajurit yang sifat-sifat kepemimpinannya - kalaupun ada tidak tampak. Kini ia tampil sebagai tokoh politik yang sama cerdas dan lihainya dengan Nasser ataupun Sadat. Para diplomat dan politisi di Kairo mengatakan, ia berpikir dan bertindak lebih mirip orang Mesir sejati. Tidak seperti Nasser, ia tidak mendiktekan atau menyalahgunakan opini umum. Tidak seperti Sadat, ia tidak menilai pendapat umum dengan keliru malah jauh lebih tanggap. Mungkin ia tidak memahami ekonomi lebih baik dari siapa pun di Mesir, tapi ia paham betul keterbatasannya, dan menyangsikan pendekatan secara radikal atau hebat-hebatan pada perekonomian negeri itu. Nasser berusaha melenyapkan sektor swasta dan menciptakan ekonomi sosialis. Sadat mencoba cara sebaliknya, dengan menganut politik infitah alias pintu terbuka. Tapi Sadat tak pernah mengacuhkan apakah modal yang masuk dari luar itu benar-benar bisa membantu perekonomian Mesir atau tak lebih dari hanya membuat yang kaya jadi lebih kaya dan dengan cepat menambah jumlah orang kaya baru. "Politik pintu terbuka Sadat mendorong petualangan dan korupsi," kata seorang bekas sekutu politiknya. Mubarak, sedemikian jauh, tak berusaha berbuat banyak untuk mengatasi masalah-masalah praktis Mesir: penduduk terlalu banyak, air terlalu sedikit, ekonomi tak rasional. Barangkali ia berpendapat, sebaiknya ia jangan mencobanya sebelum ia benar-benar lepas dari bayang-bayang Sadat dan menumbuhkan cirinya sendiri. Untuk sementara, Mubarak disukai karena apa yang tidak dilakukannya - tak ada lagak penguasa yang berlebih-lebihan, dan sikapnya yang merendah. Tapi kini mungkin ia mulai secara berani melepaskan diri dari gaya kepemimpinan Nasser dan Sadat - tahun-tahun sejak Juli 1952, ketika Nasser, bersama Sadat dan sejumlah perwira, menggulingkan Raja Faruk dan mengakhiri monarki. Untuk itu, Mubarak tidak hanya memperlonggar sistem yang mereka ciptakan ia tampaknya membawa Mesir menuju demokrasi - bukan demokrasi parlementer yang longgar menurut pengertian Barat, memang, tapi mendekati bentuk itu. "Revolusi Nasser sesungguhnya adalah kudeta yang mendahului revolusi rakyat yang seharusnya meletus," kata Yusuf Idris. "Nasser adalah diktator, dan terlalu diktatorial." Kecuali pada saat terakhir, Sadat memerintah lebih lunak dari Nasser, tapi rezimnya tak banyak memberi keleluasaan politik kepada rakyat yang, sebelum 1952, sesekali mempraktekkan demokrasi parlementer sejak 1860-an. Sadat memang memperkenankan beberapa partai politik, dan masing-masing punya surat kabar. Tapi ruang geraknya tidaklah besar, prosesnya pun tak lancar - dan Sadat mengambil terlalu banyak, dengan sebelah tangannya, apa yang diberikan oleh tangannya yang sebelah lagi. Seperti Nasser, ia memperpanjang masa jabatannya lewat pemilu yang diaturnya sedemikian rupa sehingga ia bisa menang paling sedikit 98% dari seluruh suara. Ketika mulai menjadi presiden, Sadat menganjurkan batas enam tahun untuk satu masa jabatan. Tapi sebelum ia terbunuh, ia mengubah undang-undang dasar yang membatasi hanya dua kali masa jabatan, dengan cara sedemikian rupa sehingga presiden Mesir bisa dipilih kembali untuk masa jabatan tak terbatas - untuk seumur hidup. Tindakannya ini tidak populer. Tak lama setelah Sadat meninggal, Mubarak mulai bertemu dengan para pemimpin oposisi. Pada masa awal kekuasaannya ia tak mengatakan atau berbuat suatu apa pun yang menunjukkan bahwa ia akan meninggalkan cara-cara lama, sementara tampilnya ia sebagai penguasa baru mendapat sambutan luas rakyat lewat plebisit. Tapi secara berangsur-angsur partai-partai dan pers mulai merasa diberi napas. Awal 1983, sedikit lebih dari setahun setelah ia jadi presiden, surat kabar bisa bebas mengecam pemerintah. Pada akhir tahun ada kabar tentang pemilihan anggota parlemen di musim semi, yang akan dilakukan secara bebas. Orang menyambutnya dengan ragu-ragu, bahkan partai-partai mengancam akan memboikot. Tapi keraguan mendadak lenyap dengan terlaksananya pemilihan untuk mengisi satu kursi parlemen yang kosong di Iskandariah, Januari lalu. Di situ, calon partai pemerintah, Partai Nasional Demokrat (NDP), terancam kalah oleh lawannya dari partai sayap kiri. Orang menduga pemerintah akan turun tangan waktu penghitungan suara untuk memenangkan calonnya. Tapi tampaknya Mubarak menolak campur tangan pemerintah, dan calon partai pemerintah pun kalah. Pemilihan parlemen baru Mesir dilakukan pada 27 Mei - dalam pemilu pertama yang bebas dan diikuti banyak partai sejak masa sebelum Nasser. Seperti diduga, NDP memenangkan mayoritas yang besar 391 dari 448 kursi yang diperebutkan. Menurut para ahli, rakyat memberikan dukungannya demi kesinambungan dan stabilitas - mendukung sesuatu yang sudah dikenal, dan bukan lawannya yang belum dikenal. Bukan mendukung NDP itu sendiri. Yang ikut pemilihan tidak banyak: sebagian besar orang Mesir belum yakin bahwa pemilihan akan berlangsung secara jujur. Lagi pula, pemerintah tak pernah berada di pihak yang bertahan. Larangan terhadap golongan ekstrem - komunis dan Ikhwanul Muslimin - yang dimulai sejak Nasser, tetap berlaku. Dua dari empat partai oposisi yang sah berhaluan konservatif, sedangkan dua lainnya berhaluan kiri. Hanya, yang paling kiri, Kelompok Kesatuan Nasional Progresif, memberikan alternatif jelas kepada para pemilih: garis yang lebih keras terhadap Israel dan Amerika Serikat, termasuk pembatalan Perjanjian Camp David dan perubahan drastis di sektor swasta. Ketiga partai oposisi lain mengecam pemerintah dalam koran mereka, tapi tak memberikan alternatif jelas. Dan ketiga partai ini tak melihat sesuatu yang tercela dalam politik luar negeri Mubarak, mungkin karena politik tersebut sangat populer. Dengan diplomasi yang cerdik, Mubarak berusaha mempertahankan apa yang diwarisinya sambil berangsur-angsur memperbaiki kerusakan akibat beberapa segi kebijaksanaan Sadat - terutama pengucilan Mesir dari Dunia Arab, setelah upaya perdamaian terpisahnya dengan Israel. Ringkasnya, Mubarak berhasil mempertahankan hubungan baik dengan Amerika Serikat dan berdamai dengan Israel, sambil berusaha mengembalikan Mesir ke lingkungan Dunia Arab dan merebut kembali peranan penting dalam masalah Dunia Ketiga. Ia tak mau repot mengaitkan sukses diplomatiknya dengan kampanye politik. Para pemilihlah yang melakukannya. * * * Mubarak agaknya seorang demokrat secara naluriah dan berdasarkan pilihannya sendiri, sebagaimana kesan orang yang mengenalnya. Ada pula yang mengatakan bahwa ia seorang ahli taktik yang baik, di bidang politik ataupun militer, dan merasa beruntung dapat melepaskan warga Mesir dari kekangan politik. Tapi ada yang menganggap ia seorang realis, yang sadar bahwa demokrasi - paling tidak untuk sekarang ini - adalah satu-satunya pilihan terbaik baginya dan bagi negerinya. "la lebih pragmatis daripada Sadat, yang terhanyut oleh mistiknya dan suka berlagak seperti Firaun," kata bekas duta besar Amerika di Kairo yang mengenal keduanya. "Mubarak adalah prajurit yang baik, yang jadi presiden dan bertekad berhasil." Sid Ahmad, yang korannya memusuhi pemerintah, berkata, "Pers lebih bebas sekarang dibandingkapan pun dalam sejarah Mesir. Sadat memang mengizinkan surat kabar terbit, tapi mempersulitnya. Koran saya demikian seringnya dibreidel, sehingga kami menghentikan penerbitan. Apa yang kini saya lakukan tak mungkin terjadi waktu dulu." Toh ada pembatasan kritik - kepada pribadi presiden. Memang tak ada ketentuan yang tegas, tapi seperti para pendahulunya - Mubarak tak dapat dikecam. Tapi ini pun bisa berubah nantinya, sesuai dengan proses demokrasi. Tentang pemilihan umum baru-baru ini, Mustafa Khalil - bekas PM di bawah Sadat, dan kini direktur sebuah bank besar - mengatakan bahwa pemilihan itu tak hanya dimaksudkan agar berlangsung bebas, tapi juga sejujur-jujurnya. "Sangat berbeda dengan pemilihan umum zaman dulu," katanya. "Pertamatama, akan ada perwakilan yang proporsional - tak ada pemenang mutlak - dan ini menguntungkan oposisi. Kedua, tak ada tokoh-tokoh independen yang diperkenankan mencalonkan diri, seperti pada masa lalu, ketika perorangan yang mewakili keluarga terkemuka atau lembaga setempat bisa menjadikan dirinya terpilih. Kini para calon harus anggota partai politik." Khalil berpendapat, ditolaknya perorangan dan keluarga terkemuka untuk hanya mewakili dirinya sendiri akan memperkuat partai politik, yang, katanya, "Harus memikul tanggung jawab besar jika ingin demokrasi berfungsi." Hingga kini partai-partai tidaklah mewakili kepentingan luas masyarakat, katanya. Partai-partai terlalu berat pada ideologi dan cenderung memusatkan perhatian pada koran-koran mereka atau pada beberapa unsur yang berpengaruh. Menurut Khalil dan beberapa tokoh politik Mesir lain, dalam kampanye di televisi partai-partai oposisi akan diberi waktu yang sama dengan partai pemerintah. Mereka yang menganggap Mubarak ahli taktik memuji pemilihan umum itu - karena caranya mereka diperlakukan, diplomasi jalan tengahnya yang berhasil, yang memberinya semacam mandat yang bisa dilanjutkannya selama sisa tiga tahun masa jabatannya. Tapi mereka yang memandangnya sebagai demokrat yang teguh atau seorang realis - atau kedua-duanya - kini mulai berbicara soal "partisipasi". Orang mulai bicara tentang rakyat - terutama kaum muda yang merasa harus diikutsertakan, karena 50 sampai 60 persen penduduk terdiri atas kaum muda di bawah usia 20 atau 15. Mereka berkeliaran di masjid, di jalan, di sekolah, di mana-mana. Jika mereka mendapat pekerjaan, gaji mereka Rp 30.000 sebulan. Tapi mereka sulit dapat pekerjaan. Karena itu, demokrasi, bagaimanapun juga, harus bisa berkembang. Judith Kipper, ahli Amerika mengenai Timur Tengah, berkata, "Kini masalahnya memang partisipasi. Rakyat Mesir sudah mengenyam pan-Arabisme, sosialisme Arab, Palestinianisme, dan Amerikanisme. Semuanya gagal. Kini mereka dibayang-bayangi fundamentalisme Islam. Seperti halnya anak-anak muda Amerika yang digoda Moonisme (sekte Kristen yang dipimpin pendeta Korea dan berpengaruh besar di kalangan generasi muda AS - Red.), anak-anak muda di kawasan ini pun dibayang-bayangi fundamentalisme Islam." Dengan memperlonggar sistem, Mubarak - dalam pandangan politisi moderat - berusaha membendung ekstremisme gerakan-gerakan keagamaan secara tegas. "Demokrasi pastilah merupakan benteng terhadap fundamentalisme dan daya tarik bagi sebagian besar rakyat kami," kata mereka. "Keikutsertaan mereka dalam proses bernegara akan menghasilkan sendi-sendi yang kukuh. Ekstremisme adalah semacam bentuk penolakan oleh masyarakat tumbuhnya rasa frustrasi." Cara Mubarak menanggulangi Partai Wafd Baru makin menjadikannya andalan sebagai pemimpin yang kreatif, lebih dari sekadar ahli taktik yang baik. Partai Wafd menduduki tempat kedua dalam pemilihan umum - merebut 57 kursi di Majelis Perwakilan, jauh meninggalkan partai oposisi lain. Partai ini merupakan reinkarnasi Partai Wafd yang tertua dan paling dihormati di Mesir. Nasser melarangnya Januari 1953. Tahun 1977, ketika Sadat bereksperimen dengan demokrasi dan memperkenankan dibentuknya partai politik, Wafd dihidupkan kembali. Sadat barangkali tak memperhitungkan ledakan kegembiraan orang menyambut kelahiran kembali partai itu dan pemimpinnya, seorang pasha, bernama Fuad Sirajuddin (Fuad Sarag al-Din), salah seorang pemimpin partai itu pada masa pra-Nasser yang tak pernah setuju dengan Orde Baru. Daripada mengubah prinsip atau arah politiknya, ia lebih suka dipenjarakan. Di pihak lain, merasa Partai Wafd sebagai ancaman, Sadat bertindak cepat dengan mengusahakan disahkannya apa yang dikenal sebagai undang-undang pengucilan, yang melarang seseorang - yang pada masa sebelum revolusi pernah menjabat menteri atau ketua partai - aktif berpolitik. Undang-undang itu memang ditujukan kepada Sirajuddin dan dua sekutunya, Wahid Ra'fa'at dan Ibrahim Farrag. Bahkan mencabut hak pilih mereka. Karena itu, mereka membubarkan lagi Partai Wafd. Kemudian, di bawah Mubarak, dengan iklim yang berubah, mereka mencoba bangkit lagi. Akhir tahun lalu sebuah pengadilan tinggi menetapkan keputusan yang mengesahkan Partai Wafd Baru. Dan pemerintah - dengan dalih undang-undang pengucilan - naik banding, dengan harapan akan didukung pengadilan. Tapi Mubarak campur tangan - mengatakan agar pengadilan dibiarkan menafsirkan undang-undang itu. Karena itu, pengadilan menolak naik banding pemerintah. Agaknya Mubarak bermain mata dengan musuh yang pernah dikuburkan Sadat. Tidak seperti halnya NDP yang diciptakan Sadat, Partai Wafd tak bisa digugat pertanggungjawabannya atas segala yang dialami Mesir selama 30 tahun ini. Partai itu menghidupkan kembali, atau mendapatkan nostalgia, Orde Lama - pada zaman yang lebih sederhana, ketika Partai Wafd, karena menentang Inggris dan monarki, merupakan imam perjuangan. Ada yang mengatakan, kelas menengah Mesir sudah letih: nostalgia dan Partai Wafd Baru merupakan refleksi keletihan itu. Kini di Kairo timbul mode menonton film-film lama, yang memperlihatkan Kairo dan kota-kota lain dengan jalan-jalannya yang bersih, pohon-pohon kurma yang terawat, dan berbagai ciri kehidupan beradab di Mesir yang sudah tak ada lagi. Nostalgia itu tidak hanya menggugah generasi yang masih bisa mengenangnya, tapi juga anak-anak muda. Mode ini menguntungkan Wafd: banyak orang yang sadar politik, dari segala usia, menganggap bahwa partai itu memadukan hal-hal terbaik di masa lampau dengan nilai-nilai kelas menengah dan nasionalisme yang agak kuno - dan menjadi satu-satunya partai yang autentik. Dalam beberapa masalah politik, Mubarak tidak sependapat dengan pemerintahnya. Sebagian besar pejabat seniornya adalah peninggalan zaman Sadat, yang akan segera turun. Perdana Menteri Fuad Muhyiddin, almarhum, yang juga wakil perdana menteri I pada zaman Sadat, berusaha mencegah munculnya kembali Wafd. Tapi Mubarak, yang berusaha mengambil jarak terhadap Sadat, menganggap Wafd lebih sebagai kawan daripada lawan bahkan mungkin sebagai penggerak stabilitas. "Sejak 1919 Wafd merupakan partai mayoritas di Mesir," kata Sid Ahmad. "Tapi partai itu sering dipakai Inggris untuk tugas-tugas yang tak populer.... Mubarak mungkin punya gagasan yang sama." Maksudnya, orang-orang yang - karena tak ada pilihan lain - bisa terseret oleh fundamentalisme agama, merasa lebih baik bergabung dengan Wafd. Demokrasi parlementer, berdasarkan kodratnya, memerlukan oposisi oleh satu atau beberapa partai politik. Dan di Mesir dewasa ini hanya Wafd yang memiliki kemampuan politik untuk itu. Partai yang oleh pengikut Nasser disebut "partai kaum feodal" ini tetap memperjuangkan adanya perekonomian yang bebas dan pemerintah yang bertanggung jawab, serta diakuinya hak pemilikan tanah, besar atau kecil. Para pemimpinnya kini menganggap Mubarak sebagai kawan, meski mereka belum begitu yakin. Farrag mengatakan, mereka akan membantu Mubarak dalam segala segi politik, dalam dan luar negeri. "Dia akan dapat keuntungan," kata Farrag, "karena Wafd mewakili rakyat dan dapat kepercayaan rakyat. Mubarak tahu akan hal ini" Tapi beberapa diplomat mengatakan, Partai Wafd tak ingin membuat khawatir pemerintah dengan "berhasil terlalu baik" dalam pemilihan Imum. Mereka masih ingin mencegah terulangnya nasib buruk yang mereka alami dalam eksperimen Sadat. Setelah merasa segala sesuatunya berjalan lancar dengan Mubarak, mereka akan mencoba merebut mayoritas dalam Pemilihan Umum 1989. Partai Wafd berkampanye hanya mengandalkan popularitas namanya - tanpa program. Ketika ditanya kenapa Wafd kurang mementingkan program, Farrag menjawab, "Kami setuju dengan politik luar negeri dan politik Arab Mubarak." Tentang kebijaksanaan dalam negeri, dikatakannya, "Kami tidak mengecamnya, karena kami terlalu sibuk berkampanye." Kampanye itu dipimpin tiga serangkai pemimpin Wafd sejak sebelum revolusi, yang kini sudah berusia lanjut. Ketuanya, Sirajuddin, yang sudah berusia 73 tahun, ketika itu harus istirahat di tempat tidur: kakinya patah dalam suatu kecelakaan. Tapi kampanye terus dilakukannya - lewat telepon di sisi tempat tidurnya. Sekjen partai, Farrag, dan wakil ketua partai, Ra'fa'at, yang usianya hampir 80, sibuk berkampanye keliling negeri. Seruan mereka sederhana saja: "Partai Wafd sudah muncul lagi. Demokrasi akan hidup kembali." Baru-baru ini Wafd mengambil langkah yang penuh risiko: bersekutu dengan Ikhwanul Muslimin. Kelompok ini sudah lama dinyatakan terlarang, tapi secara tak resmi bisa saja bergabung dengan atau mendukung partai yang ada. Keputusan Wafd yang sangat sekuler, dan banyak anggotanya beragama Kristen Koptik - menampung Ikhwanul Muslimin cukup mengejutkan dan menimbulkan ketidaksenangan banyak anggota dan pengagumnya. Mereka menganggap tindakan itu terlalu jauh, dan bisa mengakibatkan banyak orang Koptik (sekte Kristen di Mesir dan Etiopia) dan kelompok-kelompok lain menyingkir dari Wafd. Tapi seorang tokoh terkemuka Partai Wafd, Mona Makram Ebeid, menganggap persekutuan itu "akan memungkinkan suara Ikhwanul Muslimin didengar". Mona, yang mengajar sosiologi di Universitas Amerika di Kairo, adalah cucu Makram Ebeid, seorang pelopor Partai Wafd dan anggota delegasi ke Konperensi Versailles, 1919. Mona baru-baru ini gagal merebut kursi di parlemen sebagai calon Wafd. "Secara tradisional," katanya, "Wafd terdiri atas banyak unsur. Dan Ikhwanul Muslimin memang belum pernah merupakan salah satu unsur Wafd." Kenyataannya, meski dilarang, Ikhwanul membantu pemerintah untuk menetralisir ekstremisme Islam. Seorang tokoh politik yang disegani di Kairo mengakui, sesepuh Partai Wafd terdiri atas orang-orang yang punya reputasi baik, stamina, dan tekad tak tergoyahkan. Dan semua orang tahu akan hal itu. Yang tidak dipunyainya ialah program atau wawasan tentang masalah-masalah nyata yang dihadapi Mesir. Lapisan atasnya yang kedua terdiri dari orang-orang berusia empat puluhan dan lima puluhan umumnya ahli hukum - yang namanya belum dikenal luas. Generasi baru ini tak punya kaitan dengan masa lalu partai. Mereka orang-orang yang sudah jemu dengan keadaan selama 30 tahun ini. Dengan menghidupkan kembali masa lalu yang tak mereka kenal, mereka berharap bisa menemukan sesuatu yang lebih baik. Persamaan mereka dengan golongan tua: sama-sama masih samar apa sebenarnya yang hendak diperjuangkan Wafd. Tapi justru hal ini cukup untuk mendukung angan-angan kedua kelompok itu, rupanya. Bagi banyak politisi Mesir, bayangan masa lalu itu lebih mencemaskan daripada persoalan-persoalan nyata negeri itu. Bayangan itu bersifat eksplosif, dan sukar diatasi. Beberapa pihak khawatir kalau-kalau Mesir akan memboroskan energi politiknya dalam usaha memutuskan mana yang terbaik - masa sebelum revolusi 1952 ataukah masa setelah itu. Sistem politik mereka pun kini bagai suatu "hasil cangkokan": mencampuradukkan seorang presiden yang memegang kekuasaan penuh dengan parlemen yang dipilih secara bebas. Suatu saat mereka harus memilih. Hasilnya mungkin antara kembali pada kekuasaan oleh satu orang yang penuh karisma dan demokrasi parlementer penuh. Dengan selesainya pengalaman baru, berupa pemilihan bebas yang diikuti banyak partai, orang Mesir kini mulai menyadari ke mana Mubarak akan membawa mereka, dan siapa dia sesungguhnya. * * Daya tarik Kairo, sebagai kota yang terkenal indah, kini sudah pupus oleh perusakan. "Keadaan kacaubalau," kata Yusuf Idris. "Ini sudah bukan kota lagi." Sebagian jalan tempat pusat perbelanjaan dan kantor perdagangan masih bisa merawat diri - tapi banyak lingkungan, yang dulu terkenal karena cirinya yang khas, kini jadi berantakan. Dan proses ini terus berjalan. Misalnya Zamalek, sebuah pulau di Sungai Nil dan salah satu bagian Kota Kairo yang terkenal. Gedung-gedungnya yang anggun dan istana-istananya yang megah kini dalam proses kerusakan. Karena sewanya sangat rendah, para pemilik gedung tak punya uang untuk merawat dan memperbaikinya. Mencari apartemen di salah satu daerah permukiman yang baik tidaklah mudah. Uang sewanya demikian rendah sehingga penghuninya tak mau pergi-pergi - dan jika ada apartemen yang kosong, pemiliknya memasang tarif tinggi, yang disebut uang kunci. Jadi, hanya orang berduitlah yang bisa membayarnya. Kairo kini sedang mengalami "proses pendesaan": orang desa semakin membanjir, dan merekalah yang membuat kota kotor dan rusak. Berapa sebenarnya penduduk Kairo? Tak ada yang tahu. Siang hari bisa mencapai 15 juta, dan malam hari 12 juta - karena sebagian pulang ke desa atau kota-kota kemah. Dan aliran penduduk terus berdatangan, meski Kairo tak bisa lagi menampungnya. Di bagian kota tertentu ada kalanya listrik mati dan air leding tak mengalir. Meski demikian, makna Kota Kairo tetap tak berubah: mercu suar peradaban bagi orang-orang Arab di mana pun, malahan juga bagi orang Israel. Tak banyak orang Mesir yang mengunjungi Israel (kurang dari 4.000 setahun), tapi orang Israel yang datang ke Kairo tahun lalu berjumlah lebih dari 35.000. Dan jumlah ini terus naik. Orang-orang Yahudi itu senang berada di Kairo, dan penduduk pun sebenarnya menerima mereka dengan ramah. Seorang diplomat Israel di Kairo mengatakan, sejak 1981 seratus ribu wisatawan Israel datang ke kota itu, dan tak ada yang mengeluh - kecuali sesekali, tentang tukang copet. Diplomat itu sendiri merasa betah di kota itu. Ia sering mendapat undangan dari orang-orang Mesir, dan tak merasa dikucilkan. Ia tinggal di sebuah flat dekat Sungai Nil dan senang di rumahnya itu. "Saya menyukai orang Mesir, dan selalu sependapat dengan mereka mengenai masalah-masalah di luar politik. Secara pribadi, saya pun tak punya keluhan terhadap diplomat-diplomat mereka. Negeri ini merupakan teladan besar tentang ketahanan budaya dalam sejarah manusia," katanya. Mereka yang mampu - dan jumlah mereka lumayan banyaknya - masih bisa menikmati gaya hidup enak, yang sebelum revolusi hanya terdapat di kalangan tertentu dan orang asing. Ada yang mengembangkan peternakan kuda dan olah raga berkuda di daerah dekat tempat piramid, ada yang tinggal di apartemen mewah di kota, atau berlibur lama pada musim panas di Eropa. Di Zamalek dan daerah permukiman kelas atas lainnya masih dijumpai penduduk yang berbicara dalam tiga bahasa: mengurus usha dengan bahasa Arab dan Inggris, dan di rumah berbahasa Prancis. Seorang bekas diplomat Amerika di zaman Nasser, yang masih sering berkunjung ke Kairo, menggambarkan orang Mesir sebagai memiliki humor dan kelihaian politik luar biasa. Seorang diplomat lain mengatakan, orang Mesir bukanlah bangsa yang selalu diancam ketakutan seperti orang Israel, Yordan, atau Saudi. "Orang Mesir tahu siapa mereka," katanya. "Negeri ini memang agak brengsek, dan sebagian mulai bobrok. Tapi ada rasa kepastian yang tak akan Anda jumpai di mana pun di Timur Tengah ini. Masyarakat Israel selalu dihantui kecemasan, demikian pula masyarakat Yordan dan Palestina. Tapi Mesir tidak." Tapi beberapa orang Kairo sebenarnya mulai merasakan hilangnya rasa kepastian itu. Mereka mencium adanya krisis identitas, dan bertanya-tanya siapa mereka. "Kami bukanlah bagian dari Dunia Arab," kata Sid Ahmad. "Kami terikat dengan Amerika Serikat, tapi pengaruh kami tak berarti bagi AS.Dengan Israel kami mengadakan perjanjian perdamaian, tapi kami tak punya pengaruh pada mereka. Siapa kami ini? Apa yang kami inginkan, dan apa yang tidak?" Setiap orang yang bicara tentang krisis identitas tampaknya tahu tentang dua wanita bersaudara: yang seorang mengenakan cadar, yang lainnya celana jin biru. Dan dalam masyarakat yang beberapa juta penduduknya beragama Kristen Koptik dan bergaya agak sekuler, ancaman ekstremisme agama menimbulkan kekhawatiran. Memang, menurut beberapa kalangan, kekhawatiran itu "terlalu besar" Seperti kata seorang Amerika yang ahli kebudayaan Mesir, meski punya rasa keagamaan yang dalam, negeri ini tidaklah anti-Barat dan pro-Khomeini. "Dan tidak akan," katanya. "Kaum teroris sudah dikuasai. Memang ada gerakan kebangkitan kembali agama, tapi mereka bukan ekstremis, melainkan arus besar yang melanda masyarakat." Dan, meskipun minoritas Koptik cukup besar di Mesir, kerusuhan antaragama di Mesir boleh dikatakan jarang terjadi . Beberapa penduduk Kairo memperolok-olokkan adanya "krisis identitas" itu. Kalaupun ada, kata mereka, usianya sudah 7.000 tahun. Tapi mereka juga merasa bahwa pembicaraan mengenai hal itu, bersamaan dengan nostalgia akan masa lalu dan keasyikan mengenai kaum fundamentalis, hanya mengalihkan perhatian dari kesukaran yang nyata: terlalu banyak penduduk, sedangkan lapangan hidup terlalu sempit. Pada umumnya, golongan menengah Kairo tidak khawatir akan Israel atau masalah Palestina atau perang Irak-lran. Yang mereka cemaskan ialah anak-anak mereka - apa yang bisa dilakukan anak-anak itu dengan hidup mereka apakah masalah-masalah yang dihadapi Mesir, yang tampaknya "liat" itu, akan memupuk ekstremisme dan, akhirnya, revolusi? Mubarak tak banyak membuat janji seperti Sadat. Pendahulunya itu biasa bicara tentang "memadukan tanah, sungai, dan rakyat menjadi suatu perekonomian yang makmur" sedangkan modal - unsur yang tidak mereka miliki - jarang disinggungnya. Sadat mudah tergoda oleh rencana-rencana hebat tapi sesungguhnya tak berarti - dan kadang-kadang lucu. Ini cocok dengan pembawaannya yang impulsif dan penuh lagak. Contohnya Proyek Oasis Piramid, yang mengimpikan sebuah lapangan golf berbentuk ankh, lambang kuno Mesir tentang hidup sebuah perkampungan tenis, empat hotel mewah, kasino judi, dan sejumlah vila. Semua ini harus dibangun di sebuah dataran dekat Piramid Agung - kawasan yang dianggap sebagai warisan nasional. Proyek ini menimbulkan keributan, dan Sadat terpaksa membatalkannya. Sadat tak mengacuhkan ledakan penduduk yang mencemaskan. Istrinya anggota Dewan Urusan Penduduk, tapi Sadat sendiri tak banyak berbuat. Mubarak pun tak banyak berbuat, tapi ia mau membicarakannya, dan, tidak seperti Sadat, ia mendorong keluarga berencana. Dengan pemilihan umum yang sudah berada di belakangnya, Mubarak mungkin lebih berani. Ini berarti mendesak pemerintahannya - dan birokrasi yang bengkak dan tidak tanggap itu - supaya bergerak. Masalah-masalah yang dihadapi Mesir adalah bagaikan daerah beranjau, dan sudah lewat tujuh tahun sejak orang hanya berputar-putar saja di sekelilingnya. Januari 1977 pemerintahan Sadat diperingatkan dengan keras oleh masyarakat keuangan dunia untuk menghentikan cara-caranya yang boros dan mendorong inflasi. Karena upah di Mesir yang rendah, harga bahan makanan pokok, seperti beras dan gula - juga pakaian, bahan bakar, dan kebutuhan pokok lainnya - diusahakan tetap rendah, tapi dengan subsidi yang besar dari pemerintah. Terhadap peringatan itu pemerintah Sadat menyatakan bisa mengurangi subsidi itu, dan membiarkan harga barang-barang tersebut melonjak tinggi. Puluhan ribu penduduk turun ke jalan dengan amarah. Polisi kewalahan menghadapinya, dan tentara terpaksa dikerahkan untuk memulihkan ketertiban. Kerusuhan berlangsung selama dua hari. Menggunakan tentara terhadap rakyat jelata (dari kalangan ini pulalah banyak yang jadi prajurit) merupakan tindakan berbahaya, di Mesir - dan tak seorang pun menguranginya lagi. Sadat membatalkan keputusan mengurangi subsidi. Dan setelah itu tak mengacuhkan pembaruan ekonomi. Mesir sesungguhnya punya dua ekonomi: sektor negara yang luas tapi mandek, dan sektor swasta yang boleh dibilang kecil tapi menonjol dan terus berkembang. Politik pintu terbuka Sadat melahirkan satu kelas orang kaya baru yang jumlahnya besar. Yang dihasilkan mereka ialah ini: vila-vila mewah, klub malam, mobil mewah, dan lambang-lambang kekayaan lain. Para diplomat Barat, yang berada di Kairo waktu huru-hara bahan pangan itu, masih ingat dengan jelas bagaimana massa tidak mengusik kantor kedutaan mereka, membiarkan mereka tanpa diganggu, tapi memporakperandakan kasino dan klub malam dalam perjalanan ke Piramid, tempat orang kaya baru Mesir bersama orang Saudi dan negara-negara Teluk Persia berfoya-foya. Toko-toko yang menjual barang mewah, dan mobil-mobil Mercedes Benz, jadi sasaran perusakan. Kemarahan massa jelas ditujukan kepada benda-benda atau lambang-lambang yang dirasakan menjadikan bobrok negeri itu. * * Pada zaman Sadat, hubungan antara Mesir dan Amerika mencapai puncaknya. Bagi orang Amerika, Sadat adalah pahlawan sejati yang tak bisa berbuat salah atau dipersalahkan. Rakyat Mesir pun memahami kepopulerannya di AS, tapi orang Amerika tak mengerti mengapa ia begitu tidak populer di negerinya sendiri. Sesungguhnya sebagian besar orang Amerika tak menyadari bahwa rakyat Mesir bahkan semakin benci kepada pemimpin mereka itu. Camp David merupakan sedikit banyak penyebabnya. Korupsi di kalangan istana merupakan penyebab yang lebih penting. Sadat mengambil alih rumah dan istana untuk kepentingan sendiri. Ia tampaknya memang seorang presiden yang suka berleha-leha. Surat-surat resmi membosankannya, dan lambat laun ia bertingkah seperti Firaun. Setelah melepaskan diri dari bayang-bayang Nasser dan menjadi tokoh dunia, ia pun makin banyak lagak. Ia sering mengenakan seragam kebesaran dalam upacara resmi dan membawabawa tongkat yang berlapis emas. Ketika meninggal, jenazahnya tetap mengenakan seragam kebesaran dengan selempang dan sepatu botbeenkap yang tertutup sampai lutut. Sedangkan Mubarak, sebagaimana selalu diingat orang di Kairo, hidupnya sederhana. Ia tinggal di rumah yang diperolehnya waktu masih jadi wakil presiden. Istrinya, Susan, seperti juga Jihan Sadat, adalah orang Mesir peranakan Inggris. Tapi, tidak seperti Jihan, ia jarang kelihatan. Sebagian besar waktunya digunakan untuk mencapai gelar master dalam sosiologi di Universitas Amerika di Kairo. Hubungan antara Mesir dan AS masih tetap kuat, meski agak berlainan. Lebih tepat disebut "normal". Di Washington, Mesir berhasil merebut hati Kongres yang berkuasa menyetujui atau menolak program bantuan, yang besarnya hanya ditandingi oleh apa yang diterima Israel. Sadatlah yang telah merebut hati mereka. Tapi Mubarak harus berhati-hati: ia tak bisa membiarkan rasa tak puas rakyat Mesir terhadap kebijaksanaan AS di Timur Tengah merusakkan hubungan itu. Yang jadi masalah besar ialah program bantuan. Banyak pejabat Mesir menganggapnya tidak sesuai dengan yang mereka perlukan. Mereka menginginkan diberikan lebih banyak uang tunai, dan dikurangi pembatasan cara menggunakannya. Mereka mengatakan terlalu banyak orang Amerika mengatur mereka. Beberapa pejabat Amerika sependapat, misi bantuan Mesir - misi bantuan Amerika yang terbesar di dunia - terlalu besar. Pegawainya terlalu banyak, pengkajian yang dilakukannya juga terlalu banyak. Ini membuat kehadiran Amerika di Mesir terlalu mencolok. Orang Mesir merasa terganggu karena Amerika terlalu dekat mengamati program mereka. Untuk sebagian, ini disebabkan karena bantuan AS kepada Israel hanya berupa transfer uang tunai belaka tanpa syarat. Empat kali dalam setahun ceknya dikirim kepada pemerintah Israel. Perlakuan yang berbeda ini merupakan bagian masalah yang lebih besar yang menyangkut program bantuan, dan berpangkal pada perundingan Camp David. Mesir, Israel, dan AS masing-masing merasa bahwa kedua pihak lainnya tidak memenuhi berbagai kewajiban yang ditetapkan dalam persetujuan itu. Meski sengketa paling tajam ada antara Mesir dan Israel, antara AS dan Mesir pun ada beberapa perbedaan paham. Mesir, misalnya, merasa Presiden Carter menjanjikan Sadat bahwa bantuan ekonomi dan militer AS kepada Mesir akan sama dengan yang diterima Israel. Tapi para pejabat AS yang ikut dalam perundingan mengatakan tak ada catatan mengenai hal itu. Padahal, mereka mengakui kemungkinan Presiden Carter menyatakannya dalam pembicaraan pribadi. Dan inilah yang menyebabkan Sadat beranggapan Mesir dan Israel akan diperlakukan sama. Menteri negara urusan luar negeri Mesir adalah Butros Ghali - salah seorang anggota keluarga Kristen Koptik terkenal. Ketika bicara tentang Camp David dan berbagai masalah luar negeri, ia tiba-tiba mengalihkan pokok soal. "Ingatlah, masalah nomor satu ialah terlalu banyak penduduk," katanya. "Persoalan nomor dua ialah terlalu banyak penduduk. Persoalan nomor tiga, nah, air terlalu sedikit. Inilah yang terutama kami khawatirkan - bukan Israel, Libya, atau yang semacamnya."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo