Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SERATUS TAHUN HAJI AGUS SALIM Oleh: Hazil Tanzil et al. Penerbit: Sinar Harapan, Jakarta, 1984, 484 halaman. AGAK sulit menilai buku ini. Sebuah biografi? Sebuah autobiografi? Kumpulan karangan terpilih Hajl Agus Salim? Ketiganya, bukan. Lalu apa? Ada sesuatu yang tampaknya mendorong kehadiran buku seperti ini. Dalam rangka pembudayaan keteladanan seorang tokoh sejarah. Keteladanan dalam iman, hidup merdeka, hidup melarat, menuliskan gagasan, serta kemampuan pemikiran dan kejenakaan. Banyak yang diungkapkan secara menarik mengenai peri laku "sinterklas dari Indonesia" ini. Misalnya, kesan seorang gadis kecil Belanda terhadap pendekatan manusiawi Agus Salim. Bagaimana ia, dengan "bahasa kambing", melumpuhkan cemoohan Sjahrir dan pemuda lainnya, yang mengganggunya dalam suatu ceramah. Sjahrir dan kawan-kawannya memang tak dapat diyakinkan Agus Salim. Tetapi, sejak itu, mereka tidak lagi mencemoohkan orang yang kemudian dijuluki sebagai "the grand old man of Indonesia" tersebut. Sebagai orang besar, Agus Salim juga pernah mendapat fitnahan. Antara lain, saat menjadi anggota sarekat Islam (l9l5) waktu membantu berdirinya Jong Islamieten Bond (1925), dan ketika dituduh Mr. Singgih mengkhianati pergerakan rakyat (1927). Tokoh Agus Salim dikenal memiliki pikiran kritis. Ini terlihat dari banyak sikapnya. Ia bersikap mandiri dalam mematahkan adat-istiadat yang tidak sesuai lagi dengan zaman. Selama hayatnya, Agus Salim tidak pernah mendapat tanda jasa dari pemerintah. Tetapi kepemimpmannya diakui kelompok-kelompok masyarakat, baik seagama maupun tidak. Agus Salim mendapatkan penghargaan dari pemerintah berupa Mahaputra Kelas I, Satyalencana Peringatan Perjuangan Kemerdekaan, dan kemudian dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional - selang beberapa tahun sesudah berpulang pada 4 November 1954. Suka duka Agus Salim itu terbaca dalam sambutan dan karangan yang bersifat biografis, terutama dari tulisan orang-orang yang dekat dengannya. Tujuh karangan mereka, yang tergolong anak didik di bidang politik, sangat menarik, dan berguna sebagai tambahan detail Bab I ("Agus Salim Manusia Bebas"). Bagian kedua buku ini berisi karangan Agus Salim sebagai pemimpin politik dan pemikir agama. Ada 35 karangan yang dipilih, termasuk surat-surat. Dari judul karangan itu saja, seorang penulis, terutama penulis sejarah, akan mendapat petunjuk bahan yang berguna. Bagi yang ingin memikirkan kembali pengalaman bangsa kita di waktu lalu, akan terasa betapa karangan Agus Salim masih ada yang relevan dengan masa kini. Misalnya karangan "Ketuhanan Yang Maha Esa", yang ditulis pada 1953, perlu dibaca oleh mereka yang telah mengikuti penataran P-4. Sedangkan bagi mahasiswa IAIN, perlu dibaca ulang ceramah Agus Salim pada pertemuan The Indonesia-Pakistan Cultural Association. Akhirnya, alangkah baiknya bila karangan-karangan Agus Salim ini mendapat catatan tambahan, baik mengenai peristilahan maupun pernyataan-pernyataan tempo dulu, yang telah terkejar oleh proses sejarah. Di antaranya, karangan "Soal Yahudi dan Palestina". Kekurangan lain, ternyata tidak ada transkripsi kuliah Agus Salim di Universitas Cornell, walau ikhtisar yang penting-penting saja. Padahal, pita rekamannya, konon, masih ada. Ini penting, karena merupakan pendapat ilmiah Agus Salim tentang Islam. Abdurrachman Surjomihardjo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo