Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Nasser dan uni soviet

Mesir, dibawah Nasser, kalah perang dengan Israel dan tak ada pilihan lain kecuali minta bantuan Uni Soviet. Negara Arab lainnya cerai berai. Kini pasukan tempur Mesir cukup tangguh.(kl)

22 Desember 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU hari, Juni 1967, tanpa angin tanpa hujan, abang saya Chalis melompat-lompat kegirangan. Di tangannya harian Berita Yudha. "Kemasukan setan apa pula dia ini?" pikir saya. "Mesir menghancurkan Israel," teriaknya. "Nasser memang hebat. 70 pesawat Israel hancur." Jingkrakan itu mengundang rasa ingin tahu. Di headline, saya baca berita tentang kemenangan Mesir itu. Entah "politik berita" apa yang berlangsung di Indonesia waktu itu, tidak terlalu jelas. Yang pasti, justru sebaliknya: Israel menghancurkan Mesir. Puluhan pesawat MiG dan Sukhoy bantuan Rusia rontok. Rusia bukan kecewa, tapi marah. "Bagaimana mungkin, senjata-senjata yang begitu hebat bisa jatuh ke tangan Israel? Ini 'kan gila," ujar Podgorny, akhir Juni 1967, ketika berkunjung ke Mesir setelah perang. Dalam benak Podgorny telah terbayang bagaimana Amerika akan mempereteli senjata-senjata Soviet lewat tangan Israel. Tapi dongkol Podgorny impas. Sebab, Nixon tidak kalah dongkolnya ketika Vietnam Selatan jatuh ke tangan komunis. Bukan hanya senjata, tapi juga pangkalan perangnya jatuh ke tangan Rusia. Setelah perang, pamor dunia Arab runtuh. Israel terkekeh-kekeh seraya meningkatkan serangan udaranya. Oktober 1967, Nasser terpaksa mengungsikan penduduk Port Said, Ismailiah, dan Suez karena dibom. Lebih dari 400.000 berjubel-jubel di Kairo. Toh Israel tidak puas juga. Sistem irigasi Mesir, Nag Hammadi, dan Barrage pun tidak luput dari sasaran bom Moshe Dayan. Terhadap ini semua Mesir tidak bisa berbuat apa-apa. Strategi defensif Nasser bukan kebetulan, tapi terpaksa. Akibatnya, beberapa prajurit dihadapkan ke mahkamah militer, karena membalas sengatan Israel. Pokoknya, Mesir diharuskan memilih diam. Walau dipancing-pancing. Tapi keprihatinan Mesir tetap menjadi milik Mesir. Dunia Arab umumnya memilih jalan sendiri. "Mengapa seratus juta orang Arab masih bercerai-berai?" keluh Nasser sedih. Dan Raja Hussein melaporkan, Arab Saudi tidak sungguh-sungguh membantu dunia Arab. Ganjalannya memang ada: Nasser bersedia menerima Raja Suud diam di Kairo. Padahal, ia sudah disingkirkan Faisal yang kemudian menggantikannya. Dalam situasi gencarnya tekanan Israel, mandeknya misi Yarring, dan terpecahnya pendapat dan kesungguhan bertindak dunia Arab, Nasser tidak punya pilihan lain - kecuali menggelantung di lengan Soviet. Bagi Nasser, Arab akan selamanya tenggelam dalam kehinaan bila angkatan bersenjata Mesir tidak dibangun. Dan pembangunan ini berarti menarik Uni Soviet ke dalam masalah Timur Tengah sedalam-dalamnya. Itulah sebabnya ia bolak-balik ke Moskow. Di sana dijelaskan bahwa peningkatan serangan-serangan Israel yang kini terus berlangsung mempunyai dua sasaran: menggagalkan pembangunan "dinding missile" dan menghancurkan moral garis belakang Mesir. Nasser memang beralasan. Sebab, sekujur Mesir telanjang tak terlindungi. Beratus pekerja sipil dan militer terbunuh. Dan Bendungan Aswan pun telah diincar Israel. Bagaimana Nasser harus melindungi rakyatnya dari kekejaman Israel ini? Tambahan lagi, pelabuhan yang tersisa tinggal satu: Iskandariah - setelah Port Said berantakan. Andai Iskandariah dibom juga, Mesir tak punya harapan. Usaha Nasser menarik Soviet tidak tanggung-tanggung. Ini terbukti ketika Soviet ragu-ragu, Nasser punya alasan untuk marah: "Baiklah, jika Mesir tidak memperoleh yang diminta, maka semua orang tahu, satu-satunya keputusan ada di tangan Amerika. Saya akan bilang pada rakyat Mesir bahwa sudah tiba saatnya bagi saya untuk mundur. Dan tempat saya akan digantikan orang yang pro-Amerika." "Kamerad Nasser," seru Brezhnev tersentak bangun. Dan sejak itu, persoalan bantuan persenjataan rada beres. Dengan itu pula Nasser berhasil membangun angkatan bersenjatanya. Suatu pembangunan yang tidak kecil artinya bagi Mesir dalam Perang Yom Kipur. Suatu perang yang menggetarkan dan menghancurkan kedigdayaan dan keangkuhan Israel. Inilah fungsi hubungan Nasser dengan Soviet. Nama Arab kembali muncul dari lumpur kehinaan. Dan, setelah perang, Mesir di bawah Husni Mubarak tampak kembali menjalin hubungan dengan Soviet, meski dengan teramat hati-hati. Akankah persiapan perang dimulai lagi, di belakang hari?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus