Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menghadang Kedelai Amerika

25 Mei 2009 | 00.00 WIB

Menghadang Kedelai Amerika
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TUGAS Akhmad Muqowam di Senayan masih lima tahun lagi. Tapi wakil rakyat dari Partai Persatuan Pembangunan itu sudah punya rencana setelah ia pensiun: jadi pengusaha tempe. ”Saya dulu membantu nenek menanam, menuai kedelai, sampai membuat tempe,” kata politikus yang besar di Ngawi, Jawa Timur, itu.

Ini bukan sembarang tempe. ”Bahannya murni kedelai tanpa campuran bahan lain,” ujar anggota Komisi V bidang Infrastruktur itu. ”Kedelainya harus asli dari Indonesia, bukan impor,” katanya.

Silakan saja Akhmad bercita-cita memakai kedelai made in Indonesia. Tapi ia niscaya akan kesulitan. Menurut catatan Departemen Pertanian, produksi kedelai dalam negeri cuma 0,6 juta ton per tahun. Padahal kebutuhan kedelai Indonesia setiap tahun sekitar 2 juta ton. Sekitar 90 persen kekurangan kacang itu diimpor dari Amerika.

Jomplangnya neraca supply-demand itu menjadi perhatian Universitas Padjadjaran, Sumedang, Jawa Barat. Karena itu, kampus di Jatinangor ini giat berburu kedelai unggul sejak beberapa tahun lalu.

Perburuan itu merupakan bagian dari road map (peta jalan) penelitian di universitas yang berdiri sejak 11 September 1957 ini. Sudah menelurkan ribuan hasil penelitian, sejak 2006 riset di kampus ini dibikin lebih terarah dengan jangka waktu lima tahunan. ”Ini pertama kalinya kami mengeluarkan skema penelitian andalan Unpad,” ujar Sekretaris Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Padjadjaran Chay Asdak.

Pada lima tahun pertama, Universitas Padjadjaran menetapkan dua fokus riset tematik: energi dan pangan. Di bidang energi, universitas ini memfokuskan riset pada rekayasa genetika pohon jarak untuk energi berkelanjutan, biofuel, atau bioenergy. Di bidang pangan, itu tadi, mereka berburu kedelai unggulan. Kebetulan pula, ”Di bagian hulunya sudah ada kedelai yang dipatenkan atas nama Profesor Emeritus Ahmad Baihaki, peneliti dari Fakultas Pertanian Unpad,” ujar Chay.

Perburuan kedelai itu sudah mulai menampakkan hasil. Kini kampus ini telah menghasilkan beberapa kedelai unggulan yang siap diuji di lahan percobaan di seluruh Indonesia, untuk mendapatkan sertifikat layak tanam dari Departemen Pertanian.

Salah satu kedelai itu adalah ”si kuning” hasil penelitian Meddy Rachmadi, doktor bidang pemuliaan tanaman. Ini bukan kedelai biasa: dirancang tahan banting untuk kondisi musim kemarau. Selama ini, petani tak bisa menanam bahan baku tempe dan tahu itu di musim kering.

Si kuning yang belum diberi nama resmi itu merupakan hasil perkawinan sejumlah varietas kedelai, termasuk kedelai hasil penelitian Ahmad Baihaki dan kultivar kedelai dari Malang. ”Semua varietas itu hidup di Indonesia, bukan impor,” ujarnya.

Riset si kuning sudah berjalan dua tahun. ”Sekarang sudah masuk ke generasi kelima,” kata Meddy.

Satu generasi adalah satu kali masa tanam, yaitu sekitar tiga bulan. Karena kedelai itu baru ditanam pada musim hujan, dalam setahun Meddy hanya bisa menanam sebanyak dua generasi. Agar sifat si kuning stabil, termasuk produksinya, kedelai itu masih harus ditanam tiga kali lagi. ”Karena itu, pemuliaan memakan waktu lama,” katanya.

Sejauh ini, ujar Meddy, keunggulannya sudah terlihat. ”Jika terus berjalan seperti yang diharapkan, pelepasan bibit kedelai itu butuh dua tahun lagi,” katanya optimistis.

Rencananya, Juni-Juli ini kedelai kuning akan mulai dicoba ditanam pada musim kemarau di Jawa Barat. Setelah itu, masih harus diuji coba di 15 lokasi lain. Ini sesuai dengan aturan Departemen Pertanian, yang menyatakan tes kelayakan setiap tanaman pertanian dilakukan di 16 lokasi dengan kondisi lingkungan berbeda.

Meddy mengaku keberatan terhadap aturan itu. Soalnya, riset di satu lokasi selama satu musim memakan dana Rp 10 juta. Itu berarti ia butuh dana Rp 160 juta hanya untuk uji coba benih. Padahal penelitian Meddy hanya dibiayai Rp 100 juta per tahun.

Universitas Padjadjaran kini sedang meriset kedelai hitam. ”Ini riset varietas kedelai baru yang laku di pasar,” kata penelitinya, Agung Kurniawan.

Di pasar, si hitam tak selaku yang kuning. Konsumen kedelai ini terutama pabrik kecap. ”Tapi penyerapan pasarnya stabil,” ujar doktor pemuliaan tanaman itu.

Sebagian kedelai hitam untuk bahan kecap masih diimpor. Kedelai hitam yang dipasok petani dalam negeri, menurut Agung, kurang variatif. Padahal, untuk membuat kecap, kedelainya harus dioplos dari berbagai varietas. Di antaranya Malika milik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, dan Detam (singkatan dari kedelai hitam) 1 dan 2 hasil Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan Malang, Jawa Timur.

Agung bercerita, si hitam dari Universitas Padjadjaran—yang juga belum dinamai—berasal dari 10 jenis biji kedelai hitam. Sembilan di antaranya berasal dari Pulau Jawa, termasuk kedelai Cikuray. Satu varietas sengaja diambil dari Cina, yang berbiji besar. ”Kedelai impor itu sengaja dipakai agar hasilnya jadi bibit unggul,” kata Agung.

Kedelai hitam dari Cina memang berukuran besar. Sementara berat 100 butir biji kedelai hitam lokal hanya 10-12 gram, bobot kedelai Cina itu sampai 16 gram.

Berbeda dengan kedelai kuning, kedelai hitam tangguh ditanam di musim apa pun. Masa panennya berkisar tiga-empat bulan. Karena itu, Agung menyatakan persilangan si hitam sudah bisa diuji coba langsung di 16 lokasi berbeda pada tiga tahun mendatang. ”Saat ini baru di dua lokasi lahan Unpad, di ladang Ciparanje, seluas 1,5 hektare, dan lahan dekat Pusat Benih Unpad di daerah Arjasari, Bandung,” ujarnya.

Agung punya penelitian lain. Ia kini tengah mengutak-atik tanaman kacang-kacangan seperti kecipir dan kacang koro. ”Karena saya senang meneliti, kadang saya mengeluarkan dana sendiri untuk memulai riset tanaman pangan itu. Tapi saya rela,” ujarnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus