Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia menentang kewajiban melabeli galon air kemasan mengandung mikroplastik.
Rencana pelabelan bisfenol A pada galon berbahan polikarbonat dianggap hanya menguntungkan produsen air minum dalam kemasan yang memakai PET.
Studi BPOM menemukan kandungan mikroplastik dalam wadah air kemasan.
RUANG kerja komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Chandra Setiawan, riuh pada awal April lalu. Sejumlah pengusaha air minum dalam kemasan yang tergabung dalam Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia (Aspadin) bertandang ke sana. Mereka mengeluhkan draf peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tentang label pangan olahan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pengusaha menganggap pasal-pasal dalam draf tersebut diskriminatif terhadap industri air minum dalam kemasan polikarbonat. “Mereka melaporkan indikasi persoalan dalam proses penyusunan dan isi draf revisi tersebut,” kata Chandra pada Jumat, 29 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Draf itu adalah revisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018. Sejak tahun lalu lembaga ini membahas perubahan beberapa pasal yang mengatur industri makanan dan minuman. Salah satu poin penting dalam perubahan tersebut adalah kewajiban perusahaan air minum dalam kemasan yang memakai kemasan plastik polikarbonat mencantumkan tulisan “berpotensi mengandung bisfenol A atau BPA” pada galon produk mereka.
Bisfenol A adalah zat kimia aditif yang biasa digunakan untuk membuat botol atau kemasan plastik. Zat ini berfungsi mengeraskan botol atau kemasan plastik sehingga tidak mudah rusak. Bisfenol A jamak dipakai sebagai bahan pembuatan galon guna ulang untuk wadah air kemasan. Kandungan bisfenol A berpotensi luruh ke air dan berbahaya bagi kesehatan manusia.
Menurut Chandra, perwakilan Aspadin menilai kewajiban pencantuman label bisfenol A dalam galon guna ulang akan membuat masyarakat takut membeli air minum dalam kemasan. “Mereka mengklaim galon yang selama ini mereka pakai sudah sesuai dengan aturan,” ucap Chandra. “Batas maksimum migrasinya 0,6 bagian per juta yang dianggap aman bagi kesehatan.”
Soal lain: para pengusaha mengatakan rancangan aturan itu akan menguntungkan perusahaan air minum dalam kemasan yang menggunakan galon sekali pakai. Galon sekali pakai pada umumnya menggunakan bahan polietilena tereftalat atau PET, bukan polikarbonat, sehingga tidak mengandung bisfenol A. Padahal keduanya berpotensi mengandung zat berbahaya. “Ini bisa menimbulkan persaingan usaha tak sehat,” tuturnya.
Chandra berharap BPOM lebih terbuka menerima masukan dalam perumusan isi revisi aturan tentang label pangan olahan tersebut. Chandra meminta BPOM juga melibatkan KPPU. Selama ini, kata dia, KPPU tidak pernah diajak dalam perumusan aturan yang memiliki dampak pada kalangan usaha.
Ketua Umum Aspadin Rachmat Hidayat membenarkan adanya pertemuan perwakilan asosiasi dengan KPPU tersebut. Pertemuan itu merupakan permintaan Aspadin kepada KPPU sejak Februari lalu. Mereka meminta KPPU terlibat dalam pembahasan revisi peraturan BPOM tentang label pangan olahan.
Rachmat mengkonfirmasi keluhan mereka ke KPPU. Menurut dia, pencantuman label bisfenol A akan merugikan perusahaan air minum yang menggunakan kemasan berbahan polikarbonat. Di sisi lain, aturan itu akan menguntungkan produsen air minum kemasan yang memakai polietilena tereftalat. “Kami keberatan karena bisa menjadi persaingan usaha tidak sehat,” ujar Rachmat.
Menurut Rachmat, pada 2019 BPOM mengeluarkan peraturan tentang kemasan pangan yang mencantumkan batasan penggunaan zat kimia dalam bahan kemasan. Bisfenol A adalah satu dari ratusan bahan kimia tersebut. Rachmat menyatakan kewajiban mencantumkan label bisfenol A pada galon diskriminatif karena tak menyasar semua produsen.
Rachmat juga menuding BPOM tidak cukup mendengarkan masukan mereka dalam perumusan draf revisi aturan tentang label pangan olahan. Asosiasi menerima draf revisi aturan label pangan olahan dari BPOM pada 28 November 2021. Esoknya, BPOM mengundang Aspadin bersama sejumlah lembaga lain bertemu untuk membahas rancangan tersebut. “Pertemuan sekitar dua jam, kami hanya diberi waktu tiga menit bicara. Masukan tertulis kami juga tidak dipertimbangkan,” kata Rachmat.
Asosiasi lantas mengadukan persoalan itu ke 15 institusi, antara lain Kementerian Perindustrian, juga kepada Presiden Joko Widodo, sejak awal Desember tahun lalu. Laporan tersebut mendapat respons dari Kementerian Koordinator Perekonomian yang lantas mengundang KPPU memberikan pendapat pada Januari lalu.
Respons juga muncul dari Istana Negara. Pada Februari lalu, Sekretariat Kabinet mengembalikan draf revisi aturan label pangan olahan ke BPOM untuk diperbaiki. Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan BPOM Rita Endang membenarkan kabar pengembalian draf revisi itu. Namun ia membantah draf aturan itu diskriminatif. “Sekretaris Kabinet meminta kami mengkaji dan menganalisis sarana produksi hingga peredaran,” ucap Rita pada Jumat, 6 Mei lalu.
Menurut Rita, tujuan BPOM membuat aturan tentang label bisfenol A pada galon air minum kemasan adalah menjamin kesehatan masyarakat. Sebab, migrasi bisfenol A yang berlebihan pada minuman bisa memicu berbagai penyakit, dari obesitas, gangguan ginjal, gangguan kehamilan, hingga kanker.
Uji laboratorium galon dari pasar sepanjang tahun lalu menunjukkan sebanyak 34,81 persen sampel galon yang beredar memiliki tingkat migrasi bisfenol A 0,05-0,6 miligram per kilogram atau masuk kategori memerlukan perhatian. Selain itu, ditemukan 4,44 persen sampel galon yang tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi bisfenol A, yaitu 0,6 miligram per kilogram.
Saat ini sekitar 50 juta orang atau 20 persen penduduk Indonesia mengkonsumsi air minum dalam kemasan. Dengan data ini, Rita menjelaskan, BPOM hendak mengatur kemasan air minum untuk melindungi publik. “Bila tidak diantisipasi mulai sekarang, akan sangat besar dampaknya terhadap kesehatan masyarakat nanti,” ujarnya.
Rita mengakui BPOM tidak melibatkan KPPU karena revisi aturan tersebut condong pada unsur kesehatan, bukan industri yang menjadi tugas KPPU. “Kami tidak melihat potensi persaingan usaha tidak sehat dengan revisi ini,” kata Rita. “Justru kami mendorong jaminan perdagangan yang jujur kepada konsumen.” BPOM akan menyampaikan argumen kepada KPPU pekan depan.
Rita juga membantah kabar bahwa BPOM tidak memberikan cukup ruang kepada pengusaha air minum dalam kemasan. Menurut Rita, sepanjang 2021 BPOM mengadakan 27 kali pertemuan dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk asosiasi perusahaan air minum dalam kemasan. “Informasi bahwa kami hanya memberi waktu asosiasi bicara tiga menit itu saya rasa berlebihan,” tuturnya.
Meski terganjal di Sekretariat Kabinet, tampaknya revisi peraturan BPOM tentang label pangan olahan mendapat dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat. Anggota Komisi Pangan DPR, Ratu Ngadu Bonu Wulla, mengatakan Komisi Pangan mendukung aturan label bisfenol A pada galon kemasan air minum. “Aturan ini bagus untuk mendorong perusahaan bertanggung jawab pada kualitas kesehatan kemasan produk mereka,” ucap Ngadu.
Irma Suryani Chaniago, juga anggota Komisi Pangan, bahkan meminta BPOM tidak sekadar mewajibkan pelabelan. Ia juga meminta lembaga ini mengecek secara berkala kualitas galon air minum dalam kemasan. “Jika ada kandungan zat berbahaya dalam air minum kemasan, masyarakat yang akan menderita,” ujarnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dini Pramita berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Separuh Tangan Mengatur Galon"