Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada uji terbaru terhadap air mineral dalam galon guna ulang didapatkan partikel mikroplastik dengan jumlah rata-rata 23 partikel per milimeter kubik.
Uji dilakukan pada dua kemasan PET dan didapatkan partikel mikroplastik dengan jumlah di atas 30 partikel per milimeter kubik.
Air minum dalam kemasan dikonsumsi lebih dari 10 persen rumah tangga di Indonesia.
BAGI Mohammad Nugraha, 32 tahun, air kemasan galon guna ulang memudahkan hidupnya. Warga Tangerang Selatan, Banten, itu sehari-hari memakai air galon lantaran praktis, tidak perlu memasak air. Selain itu, airnya terlihat lebih bersih dan aman ketimbang air dari perusahaan air minum atau sumur. Nugraha kaget mendengar kabar bahwa air galon guna ulang mengandung mikroplastik, tapi ia mengaku tak memiliki pilihan. “Yang penting cemaran mikroplastiknya bisa ditekan saja,” ujarnya saat dihubungi pada Sabtu, 7 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan sejumlah penelitian, diketahui bahwa mikroplastik atau potongan kecil plastik telah ditemukan di berbagai badan air dan sumber air yang dikonsumsi masyarakat, termasuk air minum dalam kemasan. Terakhir, Tempo melakukan pengujian terhadap sampel air minum dalam galon guna ulang di Laboratorium Kimia Anorganik Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia dan menemukan keberadaan partikel yang diduga sebagai mikroplastik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam pengujian yang dimulai pada 26 April hingga 4 Mei lalu itu ditemukan sebanyak 23 partikel mikroplastik per milimeter kubik atau 23 juta partikel per liter dengan konsentrasi sebesar 0,2 bagian per juta (ppm) dan massa atau bobot partikel sebesar 0,3 miligram dalam setiap 1,5 liter air. Ukuran partikel mikroplastik yang ditemukan berkisar 14,93-70,50 mikrometer (rata-rata 35,71 mikrometer). Mayoritas partikel mikroplastik tersebut berbentuk fragmen.
Selain menguji sampel air minum dalam kemasan yang terbuat dari polikarbonat, Tempo menguji dua merek air minum dalam kemasan polietilena tereftalat (PET) berukuran 600 mililiter. Hasilnya, pada merek A terdapat 37 partikel per milimeter kubik dan pada merek B ada 31 partikel per milimeter kubik. Konsentrasi mikroplastik pada merek A sebesar 0,33 ppm dan merek B sebesar 0,6 ppm. Adapun massa mikroplastik pada merek A sebanyak 0,5 miligram per 1,5 liter air dan merek B sebanyak 0,9 miligram per 1,5 liter air.
Pengujian terhadap air galon guna ulang ini untuk melengkapi pengujian terhadap dua merek air galon sekali pakai PET yang dilakukan Greenpeace Indonesia dan Laboratorium Kimia Anorganik UI pada September 2021. Hasilnya, pada air galon merek 1 yang berukuran 6 liter ditemukan 95 partikel mikroplastik per milimeter kubik. Sedangkan pada merek 2 yang berukuran 15 liter terdapat 85 partikel per milimeter kubik. Ukuran partikel yang ditemukan pada merek 1 berkisar 2,44-63,65 mikrometer. Sedangkan pada merek 2 ukuran partikelnya 2-152,72 mikrometer.
Agustino Zulys, Kepala Laboratorium Kimia Anorganik Universitas Indonesia, yang menjadi koordinator kedua pengujian tersebut, mengatakan ada beragam faktor yang diduga menyebabkan jumlah partikel di dalam galon guna ulang cenderung lebih sedikit dibandingkan dengan botol plastik sekali pakai PET. Yang utama, kata dia, adalah kekuatan polimer yang digunakan. “Galon (polikarbonat) memiliki ikatan yang lebih kuat dibanding PET sehingga jumlah partikelnya lebih sedikit yang terlepas,” ucapnya pada Kamis, 5 Mei lalu.
Baik pengujian Tempo maupun Greenpeace menggunakan metode Counting Chamber Improved Neubauer termodifikasi, yakni pengukuran jumlah sel atau partikel dalam cairan menggunakan mikroskop optis yang diposisikan dalam ruang dengan volume 1 x 1 x 0,1 milimeter. Instrumen spektroskopi inframerah transformasi Fourier (FTIR) juga digunakan untuk mengidentifikasi senyawa polimer sehingga dapat dibedakan dari senyawa lain. “Jika ada senyawa lain sudah dapat terlihat dan teridentifikasi,” tuturnya.
Menurut Agustino, ada banyak faktor yang memungkinkan perbedaan ukuran dan jumlah partikel antara jenis plastik satu dan lainnya. “Ada faktor plastik kemasannya itu sendiri, kualitas penyimpanan seperti kondisi paparan panas matahari dan lama penyimpanan, lalu ada juga faktor guncangan selama proses distribusi,” ucapnya. Agustino menggarisbawahi perlunya penelitian lebih lanjut untuk mengungkap perjalanan partikel mikroplastik hingga terlepas ke dalam air serta menjawab ihwal perbedaan antara satu jenis plastik dan yang lain.
Agustino mengatakan pengujian kandungan mikroplastik pada air minum dalam kemasan penting dilakukan seiring dengan tingginya tingkat konsumsi masyarakat. Berdasarkan “Studi Kualitas Air Minum Rumah Tangga di Indonesia” yang dilakukan Kementerian Kesehatan pada 2020, sebanyak 10,7 persen rumah tangga mengkonsumsi air kemasan. Jika dipilah lagi, air kemasan dikonsumsi 16 persen rumah tangga perkotaan. Angka itu lebih tinggi dari pengguna air leding atau perpipaan yang sebesar 14,4 persen.
Menurut survei Greenpeace terhadap 38 responden di Jabodetabek yang mengkonsumsi air galon sekali pakai, per hari mereka mengkonsumsi 1,89 liter air. Bila konsentrasi mikroplastik pada galon merek 1 sebesar 5 ppm dan merek 2 sebesar 0,2 ppm, konsumen terpapar mikroplastik sebanyak 9,450 dan 0,378 miligram per hari. “Tingkat ketergantungan yang tinggi ini berpeluang menimbulkan dampak berbahaya bagi kesehatan, seperti kerusakan jaringan dan risiko kanker,” kata Afifah Rahmi Andini, periset utama kampanye plastik Greenpeace Indonesia.
Ia juga menekankan perlunya industri lebih memperhatikan kemasan produk mereka. Pasalnya, berdasarkan penelitian Greenpeace itu, kandungan mikroplastik pada air minum dalam kemasan lebih tinggi dari sumber mata air. Artinya, keberadaan mikroplastik dalam galon sekali pakai dapat berasal dari degradasi plastik kemasan itu sendiri. “Industri harus meredesain ulang galonnya dan memikirkan kemasan selain plastik,” ujar Afifah.
Menurut peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation (Ecoton), Eka Chlara Budiarti, pencegahan penggunaan plastik perlu dilakukan untuk menekan pencemaran mikroplastik dalam air minum konsumsi rumah tangga. Ia mengatakan daur hidup mikroplastik akan terus ada mengikuti siklus hidrologi. “Mikroplastik bisa berpindah melalui awan yang kemudian diturunkan lewat hujan ke wilayah-wilayah yang menjadi sumber mata air, termasuk menjadi sumber utama air dalam kemasan,” tuturnya.
Eka menjelaskan, partikel mikroplastik bukan bakteri ataupun virus yang dapat mati pada suhu tertentu. “Sekali terlepas, ia akan tetap terus ada,” ujarnya. Pada air minum dalam kemasan, potensi pencemaran menjadi lebih besar dengan adanya proses degradasi plastik dari kemasan plastik yang menjadi wadah. Karena itu, kata dia, Ecoton juga mendesak adanya pengaturan ambang batas baku mutu dari ancaman mikroplastik di perairan yang mencakup sungai, danau, dan laut.
Soal ambang baku mutu juga menjadi perhatian Afifah. Menurut dia, hingga saat ini belum terdapat standar metodologi untuk menguji mikroplastik serta belum ada standar kesehatan mikroplastik pada air bersih dan air minum. Untuk menetapkan keamanan air minum, pemerintah mengandalkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 492 Tahun 2010 tentang baku mutu air minum. Di dalamnya ada 98 parameter, di antaranya memuat batas aman aluminium, klorida, dan logam berat. “Namun belum mengakomodasi mikroplastik,” ucapnya.
Afifah mengatakan pemerintah perlu segera memperbarui standar baku mutu air bersih dan air minum dengan menambah parameter uji mikroplastik. Maka dampak kesehatan dan lingkungan akibat kontaminasi mikroplastik dapat diantisipasi sesegera mungkin. “Sejak 2018, ketika pengujian mengenai kontaminasi mikroplastik dalam air kemasan PET ada, BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) seolah-olah belum bergerak. Kajian profil risiko mikroplastik pun hasilnya belum diungkap ke publik,” tuturnya.
Menurut Agustino Zulys, Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan batas paparan monomer stirena terhadap tubuh manusia, yakni 20 ppm. Stirena merupakan senyawa yang digunakan sebagai bahan dasar pembuatan polistirena (PS), yang kerap digunakan untuk pembungkus makanan hingga bahan pelapis kabel. “Jika mengacu pada ketentuan itu, temuan-temuan yang ada baik di galon guna ulang, sekali pakai, maupun PET masih di bawahnya,” katanya. Namun batasan baku mikroplastik yang aman untuk tubuh belum ada.
Ahli patologi klinik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Raja Iqbal Mulya Harahap, mengatakan mikroplastik pada dasarnya adalah benda asing bagi tubuh manusia. “Dalam sebuah penelitian disebutkan mikroplastik akan bersifat lebih toksik pada konsentrasi lebih dari 0,37 ppm,” ucap Raja. Ia menyebutkan akan lebih baik bila tak ada partikel mikroplastik yang masuk ke tubuh karena berpotensi mengendap dan meningkatkan jumlahnya di dalam tubuh.
Ketua Asosiasi Perusahaan Air Minum dalam Kemasan Indonesia Rachmat Hidayat mengatakan selama ini belum ada studi ilmiah yang secara kuat membuktikan bahaya mikroplastik bagi tubuh manusia. “The Joint WHO-FAO Committee on Food Additives selaku lembaga pengkaji risiko untuk keamanan pangan belum mengevaluasi toksisitas mikroplastik,” ujarnya dalam pesan tertulis pada Jumat, 22 April lalu. Karena itu, Rachmat menambahkan, batas aman untuk mikroplastik belum ditetapkan.
Ia juga menekankan bahwa pemerintah telah memastikan semua produk air minum dalam kemasan telah memenuhi Standar Nasional Indonesia serta memiliki izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan. Untuk mendapatkannya, kata Rachmat, sejumlah indikator keamanan dan kualitas yang ketat wajib dipenuhi produsen.
Deputi Bidang Pengawasan Pangan Badan POM Rita Endang menepis anggapan bahwa pihaknya tidak sigap dalam mengantisipasi ancaman mikroplastik pada minuman dan makanan. Menurut Rita, sejak 2020 BPOM telah menyusun makalah untuk ditinjau mengenai kajian profil risiko mikroplastik dalam air kemasan. Hanya, dia melanjutkan, dalam memperketat pengaturan mikroplastik, BPOM memerlukan benchmark dari sejumlah lembaga internasional, seperti WHO serta Badan Pangan dan Pertanian (FAO).
Menurut Rita, hingga saat ini persoalan mikroplastik belum menjadi isu prioritas WHO ataupun FAO. “Bukan BPOM berlambat-lambat, tapi memang belum ada metode dan model analisis yang menjadi standar baku untuk benchmarking,” ucapnya. Ia mengatakan BPOM telah merespons isu cemaran mikroplastik dalam air kemasan dengan melakukan evaluasi pre-market, di antaranya melakukan kajian menyeluruh dari air baku hingga proses produksinya.
Perihal kajian profil risiko mikroplastik dalam air kemasan, Rita mengatakan, ada tiga rekomendasi yang dikeluarkan. Pertama, melakukan pemantauan untuk menentukan batas cemaran. Kedua, melakukan pengurangan sampah dengan mengetatkan prinsip zero waste. Ketiga, rutin melakukan uji sampel pada air yang menjadi bahan baku obat dan air minum. “Prinsipnya BPOM adaptif dan responsif,” tuturnya. Namun ia menolak memberikan hasil kajian tersebut dengan alasan pengkajian masih terus berjalan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Retno Sulistyowati berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Luruh Mikroplastik ke Air Galon"