Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Partikel mikroplastik ditemukan dalam darah dan paru-paru manusia.
Masuk ke aliran darah melalui sistem pernapasan dan sistem pencernaan.
Partikel mikroplastik memicu peradangan kronis dan gangguan imunitas tubuh.
RASA bangga bercampur khawatir menyelimuti A. Dick Vethaak. Ahli ekotoksikologi dari Department of Environment and Health, Vrije Universiteit, Amsterdam, Belanda, itu bersama timnya menjadi peneliti pertama di dunia yang menemukan partikel mikroplastik di dalam darah manusia. “Hasil ini adalah sebuah terobosan,” kata Vethaak kepada The Guardian, Kamis, 24 Maret lalu. “Tentu masuk akal untuk khawatir. Partikel-partikel itu ada di sana dan diangkut ke seluruh tubuh,” tuturnya.
Dalam makalah ilmiah yang dipublikasikan di jurnal Environment International edisi online 24 Maret 2022 itu disebutkan bahwa partikel mikroplastik ditemukan pada 17 sampel darah dari 22 relawan. Memang sampel itu ukuran kecil. “Kita harus memperluas penelitian dan meningkatkan ukuran sampel, jumlah polimer yang dinilai, dan lainnya,” ujar Vethaak. Adapun jenis polimer yang ditemukan adalah poly methyl methacrylate (PMMA), polipropilena (PP), polymerized styrene (PS), polietilena (PE) dan polyethylene terephthalate (PET).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hasil penelitian yang dituangkan ke dalam makalah berjudul “Discovery and quantification of plastic particle pollution in human blood” itu menjelaskan sebanyak 50 persen sampel mengandung partikel PET, diikuti PS 36 persen, PE 23 persen, dan PMMA 5 persen. Sementara itu, rata-rata konsentrasi mikroplastik dalam darah relawan adalah 1,6 mikrogram per mililiter (mg/ml).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut peneliti dari Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional, Muhammad Reza Cordova, penggunaan polimer-polimer yang ditemukan dalam darah manusia memang sangat tinggi dalam kehidupan sehari-hari. “Mulai dari kemasan makanan dan minuman, tutup botol, tekstil untuk pakaian sehari-hari, sampai masker,” tutur Reza saat diwawancara pada Selasa, 19 April lalu.
Reza mengatakan PE dan PET merupakan jenis polimer dengan penggunaan tertinggi di dunia. Disusul dengan polimer yang mengandung styrene seperti polystyrene dalam styrofoam pembungkus makanan, pengemasan barang elektronik, dan untuk pelbagai wadah penyimpanan. Sementara itu, polimer jenis PMMA, meskipun tak diproduksi semasif PE dan PET, adalah jenis polimer yang kerap dimanfaatkan untuk membuat kaca jendela, kaca mobil, dan lensa kontak.
Reza yang juga berfokus meneliti mikroplastik menemukan keberadaan mikroplastik di dalam udara Jakarta. Penelitian yang dilakukan selama Maret 2018-Februari 2019 itu menemukan rata-rata 15 partikel mikroplastik per hari yang jatuh di permukaan seluas 1 meter persegi. Sebanyak 80 persen dari partikel tersebut berukuran 0,3-0,5 milimeter. “Sebagian besar berbentuk fiber dari pakaian berjenis poliester (PET),” ucapnya. Penelitian itu diterbitkan di jurnal Marine Pollution Bulletin volume 174 pada Januari 2022.
Berselang tiga bulan, para peneliti dari University of Hull, Inggris, untuk pertama kali menemukan partikel mikroplastik di dalam paru-paru manusia. Penelitian ini melibatkan 13 pasien yang menjalani pembedahan toraks di Castle Hill Hospital, Inggris. Dalam penelitian yang diterbitkan di Science of The Total Environment volume 831 itu disebutkan 11 dari 13 sampel mengandung mikroplastik yang mayoritas berjenis PP dan PET.
Para peneliti menemukan adanya 11 partikel polimer di paru-paru bagian atas, 7 partikel di bagian tengah paru-paru, dan 21 partikel di bagian bawah atau bagian terdalam paru-paru. “Kami tidak berekspektasi akan menemukan partikel di paru-paru bagian bawah,” kata Laura Sadofsky seperti dikutip dari The Guardian, Rabu, 6 April lalu. Ia agak terkejut oleh hasil penelitian itu karena berekspektasi partikel-partikel berukuran mikron tersebut akan disaring atau dikeluarkan dari paru-paru.
Menurut Reza, penelitian ini berkorelasi dengan temuannya yang menunjukkan adanya paparan lebih lanjut dari partikel-partikel mikroplastik di udara. Penelitian ini juga melengkapi penelitian sebelumnya yang menguji keberadaan mikroplastik di dalam paru-paru 20 jenazah di Brasil. Dalam penelitian pada 2021 itu ditemukan adanya partikel mikroplastik yang umumnya berjenis PE—kerap digunakan untuk kantong plastik—pada 13 jenazah.
Kepala peneliti Ecological Observation and Wetlands Conservation Eka Chlara Budiarti mengatakan yang berbahaya dari mikroplastik dalam tubuh adalah adanya polutan berbahaya yang menempel. “Karena sifat dasar plastik yang mengikat dan menempel. Ketika masuk ke tubuh manusia, bisa jadi mikroplastik keluar melalui feses, tapi polutan berbahayanya tidak keluar dari tubuh,” katanya.
Pada 2019, Eka menemukan partikel mikroplastik dalam 102 feses manusia dengan rata-rata berjumlah 17,5 partikel per 10 gram feses. Menurut dia, temuan ini dapat dimaknai dua hal, yaitu mikroplastik masuk ke tubuh manusia dan mengintrusi saluran pencernaan. Yang lain adalah kemungkinan mikroplastik dapat dikeluarkan lewat feses atau urine. Persoalannya, menurut Eka, besar kemungkinan ada polutan berbahaya yang telanjur diserap tubuh.
Raja Iqbal Mulya Harahap, dokter ahli patologi klinik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, menjelaskan, keberadaan mikroplastik di dalam tubuh bersifat antigenik atau dapat memicu peradangan kronis dan merusak organ. “Pada dasarnya mikroplastik adalah benda asing bagi tubuh,” ujarnya. Peradangan itu sendiri, ia menambahkan, adalah respons tubuh untuk mengeluarkan benda asing.
Meski mikroplastik dapat dikeluarkan dari tubuh melalui feses, tutur dia, hingga saat ini belum ada kajian yang menunjukkan secara pasti batas yang dapat dikeluarkan dari tubuh. Pada ambang batas tertentu, ia meyakini, mikroplastik tidak dapat dibuang dan cenderung mengendap di dalam tubuh. Akumulasi mikroplastik yang terendap di tubuh ini meningkatkan risiko peradangan kronis.
Raja menjelaskan, ada dua saluran utama mikroplastik ke dalam tubuh manusia, yaitu melalui saluran pencernaan dan saluran pernapasan. Kedua jalur itu, menurut dia, merupakan pintu masuk menuju aliran darah. “Dari alveolus paru-paru menempel ke dalam pembuluh darah lalu ikut ke dalam sirkulasi darah,” ujar Raja. “Kalau dari pencernaan, ia akan diserap seperti tubuh menyerap zat-zat makanan, lalu masuk ke pembuluh darah dan selanjutnya mengikuti sirkulasi darah ke seluruh tubuh.”
Penjelasan Raja serupa dengan penjelasan tim peneliti dari Belanda yang menyebutkan jalur masuknya mikroplastik ke darah sangat mungkin berasal dari kontak mukosa, baik tertelan maupun terhirup. Partikel plastik yang beterbangan di udara berukuran kurang dari 0,1 mikron itu dapat terakumulasi di paru-paru. Adapun partikel lebih besar yang seharusnya dapat dikeluarkan dari tubuh melalui batuk atau bersin justru tertelan dan diserap oleh sel epitel usus.
Bagi Reza Cordova, kekhawatirannya terhadap mikroplastik bak sejarah yang berulang. “Ini seperti bom waktu. Sama seperti pestisida pada 1960-an yang tak dianggap berbahaya, tapi saat ini terbukti sangat berbahaya bagi kesehatan.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bom Waktu Partikel Plastik"