Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Jumlah pekerja informal mencapai 60,12 persen dari total angkatan kerja.
Banyak pekerja informal yang bekerja di luar ruangan dan pada malam hari.
Pemerintah merencanakan subsidi iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi pekerja informal.
JAKARTA – Dua tahun sudah hari-hari Afryanto akrab dengan aspal jalanan Ibu Kota. Pria 36 tahun itu terpaksa beralih profesi menjadi pengemudi ojek daring setelah pada 2021 terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dari sebuah perusahaan perjalanan yang kehabisan napas akibat pandemi Covid-19.
Harus menghidupi istri dan dua anaknya, Afryanto kehabisan pilihan karena usianya tak lagi memungkinkan untuk mendapatkan pekerjaan formal. “Saya sudah mencoba mencari lowongan sebagai staf administrasi seperti pekerjaan saya dulu, tapi selalu terbentur syarat umur,” ujarnya kepada Tempo pada Rabu, 8 November 2023.
Afryanto merasakan perbedaan signifikan antara pekerjaannya dulu dan yang digelutinya sekarang. Perbedaan yang paling terasa adalah pendapatan yang tidak menentu. Kini pendapatannya tak lagi pasti setiap bulan lantaran bergantung pada pesanan ojek yang masuk, baik dari jasa mengantar penumpang maupun makanan. “Rata-rata sehari membawa pulang Rp 100-150 ribu, kalau lagi beruntung bisa sampai Rp 200 ribu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejumlah warga berjalan di trotoar saat berangkat kerja di kawasan Sudirman, Jakarta, 8 November 2023. Tempo/Tony Hartawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Perbedaan berikutnya adalah risiko kesehatan dan pekerjaan yang kini harus dia tanggung sendiri. Tak seperti dulu ketika bekerja di kantor yang memberikan manfaat asuransi kesehatan dan tabungan pensiun, kini hal itu tak lagi dimilikinya. Saat ini ia harus menyisihkan dan menabung sendiri, kecuali untuk jaminan kecelakaan kerja yang ditanggung oleh perusahaan.
Kehidupan keluarganya pun tak lagi bisa leluasa seperti dulu. Sebab, selain untuk kebutuhan pokok harian dan biaya sekolah anak, dia mesti menyisihkan tabungan untuk dana darurat. “Dari sisi kesejahteraan memang lebih nyaman dan lebih baik saat bekerja kantoran. Sekarang sering waswas karena serba tak pasti,” ia menuturkan.
Afryanto hanya satu dari puluhan juta pekerja informal di Indonesia. Jumlah pekerja sektor informal terus mendominasi jumlah angkatan kerja Indonesia dari tahun ke tahun. Merujuk pada data Survei Angkatan Kerja Nasional Badan Pusat Statistik (BPS) pada Februari 2023, jumlah pekerja informal mencapai 83,34 juta orang atau setara dengan 60,12 persen dari total angkatan kerja sebanyak 146,62 juta orang. Sedangkan pekerja sektor formal berjumlah 55,29 juta orang.
Minimnya jaring pengaman sosial menjadi persoalan utama yang membayangi pekerja sektor informal. Mereka masuk ke segmen kelompok pekerja bukan penerima upah (BPU) yang sering tak tersentuh manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), dan Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan.
Direktur Riset Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia Jahen Fachrul Rezki mengatakan kelompok pekerja informal masuk kelompok pekerja rentan. Jika mengalami kecelakaan kerja, kondisi rumah tangga kelompok ini bakal terpengaruh. “Hal ini akan menjadi masalah di kemudian hari dan berpotensi membebani negara. Di sisi lain, sektor informal yang besar juga akan menurunkan pendapatan pajak,” ujarnya.
Bekerja di Lingkungan Berisiko Tinggi
Berdasarkan survei yang dilakukan LPEM UI bekerja sama dengan BPJS Ketenagakerjaan pada tahun ini, diketahui bahwa hampir 50 persen dari pekerja BPU bekerja di luar ruangan dan 28,1 persen bekerja pada malam hari. Temuan ini sejalan dengan karakteristik pekerja informal yang memiliki ketergantungan besar terhadap usaha yang dijalankan sebagai sumber pendapatan utama.
Pekerja menyelesaikan pembangunan gedung bertingkat di kawasan Tanah Abang, Jakarta, 10 Februari 2022. Tempo/Tony Hartawan
Apabila terjadi kecelakaan kerja atau kematian, usaha pekerja informal tak dapat lagi berjalan sehingga sumber keuangan rumah tangga utama hilang dan menimbulkan beban tanggungan. Risiko lain membayangi pekerja informal ketika memasuki usia pensiun, yaitu terancam rentan miskin karena tidak memiliki jaring pengaman hari tua.
BPJS Ketenagakerjaan menyatakan terus berupaya meningkatkan partisipasi aktif para pekerja informal. Deputi Bidang Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun menuturkan pekerja di sektor informal wajib terdaftar dalam dua program jaminan, yaitu JKK dan JKM, dengan besaran iuran dari Rp 16.800 per bulan. Sebagai pelengkap jaminan, pekerja juga dapat mendaftarkan diri dalam program JHT dengan iuran tambahan sebesar Rp 20 ribu per bulan.
“Manfaat ketiga program tersebut sangat banyak, dari perawatan tanpa batas biaya hingga sembuh. Kalau dalam masa pemulihan peserta tidak dapat bekerja untuk sementara waktu, kami juga akan memberikan santunan,” kata Oni kepada Tempo. Santunan yang dimaksudkan adalah santunan sementara tidak mampu bekerja sebesar 100 persen upah yang dilaporkan selama 12 bulan dan selanjutnya 50 persen upah hingga sembuh.
Adapun bagi peserta yang meninggal karena kecelakaan kerja, BPJS Ketenagakerjaan memberikan santunan sebesar 48 kali upah yang dilaporkan serta beasiswa untuk dua anak, dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi, maksimal Rp 174 juta. Adapun pada tahun ini, BPJS Ketenagakerjaan telah membayarkan manfaat sebesar Rp 40 triliun kepada 3,4 juta pekerja dan ahli waris, serta menyalurkan beasiswa pendidikan dari jenjang taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi senilai Rp 309 miliar kepada 72 ribu anak pekerja.
Menurut Oni, jumlah pekerja yang dapat menjadi peserta BPJS Ketenagakerjaan sebanyak 99 juta orang. Sebanyak 40 persen atau hampir 40 juta di antaranya telah menjadi peserta aktif. BPJS Ketenagakerjaan menargetkan, pada 2026, akan ada 70 juta peserta aktif. “Kami berfokus meningkatkan kepesertaan di sektor pekerja informal serta usaha kecil dan mikro lewat strategi retensi, intensifikasi, dan ekstensifikasi,” ucapnya.
Strategi itu antara lain difokuskan pada ekosistem desa, pasar, e-commerce dan pelaku usaha kecil-menengah, serta pekerja rentan. BPJS Ketenagakerjaan menggunakan berbagai cara, seperti mengembangkan sistem keagenan, menggandeng tokoh masyarakat, mendorong perusahaan besar untuk mengikutsertakan seluruh ekosistem perusahaannya, memberikan berbagai kemudahan pembayaran iuran, serta berkolaborasi dengan berbagai pihak untuk meningkatkan pengawasan dan kepatuhan peserta.
Bantuan Iuran bagi Pekerja Informal
Dalam melindungi pekerja informal, tantangan terbesar yang dihadapi adalah membangun pemahaman mereka ihwal pentingnya pelindungan jaminan sosial ketenagakerjaan. “Kami mulai membangun kesadaran tersebut melalui kampanye Kerja Keras Bebas Cemas,” ucap Oni.
Pada saat yang sama, pemerintah menggulirkan wacana program Penerima Bantuan Iuran (PBI) BPJS Ketenagakerjaan, seperti yang sudah berjalan di BPJS Kesehatan dengan alokasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Perihal wacana ini, Oni menuturkan BPJS Ketenagakerjaan masih menunggu kebijakan pemerintah.
Merujuk pada White Paper LPEM UI yang bertajuk "Agenda Ekonomi dan Masyarakat Indonesia 2024-2029", tingkat kepesertaan segmen BPU di BPJS Ketenagakerjaan baru sekitar 9 persen dengan angka kepesertaan aktif kurang dari 1 persen. Kondisi tersebut sangat jauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2024 yang sebesar 30 persen.
Penerapan skema PBI dalam jaminan sosial ketenagakerjaan untuk segmen BPU dinilai sangat mungkin dilakukan dalam waktu dekat karena anggaran yang dibutuhkan relatif terjangkau, yaitu Rp 935 miliar per tahun. Hitungan ini mengacu pada data Survei Ekonomi Nasional 2022 yang menyebutkan terdapat 3,11 juta pekerja dengan status berusaha yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Rincian anggaran yang dibutuhkan adalah Rp 627 miliar per tahun untuk program JKK dan JKM, serta Rp 307 miliar untuk program JHT. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding anggaran program bantuan sosial lainnya. Namun tantangan utama penerapannya adalah basis data yang diperlukan untuk mengidentifikasi penerima manfaat dan sumber pembiayaannya.
Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menuturkan pemerintah sedang mengkaji usulan skema PBI jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja sektor informal. “Terutama yang tingkat pendapatannya memang rendah bisa ditutupi oleh pemerintah,” ujarnya.
Muhadjir mengatakan, selain pengkajian, kebijakan ini membutuhkan dukungan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menerbitkan regulasi pendukung. “Kalau memang disepakati nanti, paling tidak harus ada aturan berupa peraturan pemerintah yang melibatkan DPR,” ucap Menteri Muhadjir.
Sementara itu, pemerintah juga diharapkan dapat mendorong percepatan transisi pekerja informal menjadi pekerja formal. Kepala Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengungkapkan jumlah pekerja sektor informal harus ditekan sehingga komposisi pekerja dapat berbalik dikuasai oleh sektor formal.
“Saat ini ada isu mismatch antara keterampilan yang dimiliki tenaga kerja dan tuntutan industri,” ucap Josua.
Kondisi tersebut juga dapat diartikan bahwa kenaikan jumlah penduduk usia kerja lebih cepat dibanding laju penciptaan tenaga kerja. Salah satu strategi yang dapat dioptimalkan adalah meningkatkan efektivitas program-program inkubator bisnis untuk mentransformasi sektor informal menjadi sektor formal.
Program lainnya adalah memasukkan sektor informal ke rantai pasok domestik atau menjadikannya mitra usaha sektor formal. “Karena itu, kemudahan usaha dan perizinan yang disertai pendampingan dari pemerintah juga menjadi solusi penting.”
GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo