Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Minyak Oles Primadona Penangkal Virus

Usaha penyulingan minyak kayu putih di Pulau Buru bergeliat pada masa pandemi Covid-19. Penjualan hasil industri rumah tangga ini mulai merambah berbagai daerah di Indonesia.

17 Agustus 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Proses pengemasan produk minyak kayu putih Gosa. Dokumentasi Gosa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Usaha penyulingan minyak kayu putih di Pulau Buru untung berkali lipat di masa pandemi Covid-19.

  • Penyulingan minyak kayu putih merupakan industri rumah tangga di Pulau Buru.

  • Minyak kayu putih Gosa sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Indonesia.

ABDUL KADIR TAN, 55 tahun, masih ingat ketika ia pertama kali menjajakan minyak kayu putih buatannya, lima tahun lalu. Kala itu, warga Pulau Buru, Provinsi Maluku, ini menjajakan minyak kayu putih kepada penumpang kapal di Pelabuhan Namlea, Kabupaten Buru, serta kepada masyarakat sekitar pelabuhan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun penumpang kapal sangsi akan keampuhan minyak oles buatan Abdul. Kayu putih yang dinamai Gosa itu dianggap tidak murni dari pohon kayu putih, alias campuran. Sebagai penjual, Abdul putar otak untuk meyakinkan calon pembelinya. Ia lantas menantang calon pembeli itu dengan membandingkan minyak kayu putih Gosa dengan kepunyaan sang calon pembeli. Abdul meminta agar minyak kayu putih miliknya dan kepunyaan calon pembeli sama-sama dioleskan ke muka masing-masing. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya gosok ke muka dan dia juga gosok ke muka dengan minyak kayu putih lain. Dia gatal-gatal. Itu artinya ada unsur campuran,” kata Abdul kepada Tempo, Sabtu lalu. 

Meski itu terjadi lima tahun lalu, Abdul tak pernah melupakan pengalaman berharga ini. Dari pengalaman itu, ia belajar bagaimana cara meyakinkan calon pembeli terhadap minyak kayu putih Gosa buatannya serta pentingnya keaslian suatu produk. 

Lelaki paruh baya ini mulai memproduksi minyak kayu putih pada 2016 dengan modal awal Rp 15 juta. Ia memilih memberi nama Gosa pada minyak oles buatannya. Nama Gosa diambil dari bahasa asli penduduk Pulau Buru, yang berarti "bagus". 

Selama ini Pulau Buru memang dikenal sebagai penghasil minyak kayu putih berkualitas tinggi. Usaha penyulingan minyak oles menjadi industri rumah tangga di pulau ini. Rata-rata penduduk asli Buru bekerja sebagai penyuling kayu putih. 

Pohon kayu putih sangat berlimpah di Pulau Buru. Pohon dengan nama ilmiah Melaleuca leucadendra ini tumbuh secara alami di Pulau Buru, yang memiliki luas 8.473,2 kilometer persegi. 

Pada masa Orde Baru, Pulau Buru dikenal sebagai tempat pengasingan tahanan politik bagi orang-orang yang dituduh terlibat Gerakan 30 September 1965 serta oposisi terhadap Orde Baru. Tercatat sekitar 12 ribu orang tahanan politik diasingkan di pulau ini selama delapan tahun, dari 1969 hingga 1976. 

Penulis Pramoedya Ananta Toer juga pernah diasingkan ke pulai ini. Pramoedya dan para tahanan politik di Pulau Buru mulai dibebaskan secara bertahap pada 1977 karena desakan dunia internasional. Sebagian dari mereka memilih menetap di sana. 

Sejumlah produk minyak kayu putih Gosa. Dokumentasi Gosa

Abdul Kadir termasuk penduduk asli Pulau Buru. Ia mengatakan bekas tahanan politik sudah hidup berbaur dengan penduduk asli Pulau Buru. Tapi Abdul tidak mengetahui di antara mereka ada yang berprofesi sebagai penyuling minyak kayu putih. 

Abdul sendiri menggalang para penyuling minyak kayu putih dari penduduk asli pulau ini. Awalnya, Abdul bergerak memproduksi minyak oles setelah melihat peluang pasar di usaha ini. Ia melihat para penyuling minyak kayu putih hanya menjual produknya kepada perusahaan-perusahaan besar tanpa merek tertentu. Padahal nilai jual minyak oles itu pasti akan lebih tinggi ketika diberi merek dagang, lalu dipasarkan secara luas ke masyarakat. 

Pria yang awalnya menjadi distributor pupuk ini lantas memilih putar haluan menjadi pengusaha minyak kayu putih. Bermodalkan uang sebesar Rp 15 juta, Abdul menghimpun belasan penyuling minyak kayu putih di wilayahnya pada 2016. Ia juga bekerja sama dengan petani kayu putih. Dengan modal itu, Abdul memiliki enam ketel penyulingan minyak kayu putih dengan kapasitas produksi mencapai 80 ribu botol ukuran 30 mililiter selama enam bulan. 

Kayu putih buatan Abdul tidak hanya dikemas dalam botol ukuran 30 mililiter, tapi juga dalam ukuran 140 dan 275 mililiter. Ia membanderol satu botol kayu putih berukuran 30 mililiter seharga Rp 25 ribu dan satu botol ukuran 275 mililiter senilai Rp 160 ribu. Satu dus yang berisi enam botol ukuran 30 mililiter dijual seharga Rp 110 ribu. Lalu, satu dus minyak kayu putih yang berisi dua botol ukuran 140 mililiter dijual seharga Rp 175 ribu. 

Awalnya, Abdul memilih menjajakan langsung minyak oles buatannya itu di pelabuhan serta menitipkannya di toko oleh-oleh di Namlea. Tapi ia perlahan-lahan merambah penjualan secara daring. Ketika pandemi Covid-19 merebak di Indonesia mulai awal Maret 2020, Abdul semakin gencar memasarkan produknya lewat daring. 

Pada masa pagebluk, minyak kayu putih Gosa menjadi incaran masyarakat. Mereka mempercayai kandungan sineol dalam minyak kayu putih ampuh menangkal Covid-19. “Kondisi ini terjadi karena banyak selebriti yang juga menceritakan pengalamannya menggunakan minyak kayu putih untuk menangkal virus Covid-19. Apalagi kandungan sineol di produk saya 62,12 persen,” kata Abdul. 

Omzet Abdul naik berkali lipat selama masa pagebluk. Kondisi ini berbanding terbalik dengan beberapa jenis usaha kecil menengah lainnya yang justru merugi karena pandemi. Sebelum pagebluk, omzet Abdul biasanya hanya Rp 50-60 juta per bulan. Kini, omzetnya naik hingga Rp 200 juta per bulan. 

Terkadang Abdul juga kewalahan melayani permintaan minyak kayu putih. Ia bahkan menambah karyawannya, dari enam menjadi sembilan orang. Karyawan Abdul rata-rata merupakan keluarganya sendiri. Mereka adalah istri, empat orang anak, serta kerabatnya. “Kalau pemesanan lagi banyak-banyaknya, saya bisa panggil belasan orang menjadi karyawan tidak tetap untuk membantu,” ujarnya. 

Dua bulan lalu, Abdul membuka toko baru di Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Toko ini berfungsi sebagai gudang dan tempat distribusi produknya ke Pulau Jawa, Sumatera, dan sejumlah lokasi lain di Indonesia. Makassar dipilih karena ongkos kirimnya lebih murah dibanding ketika harus mengirim langsung produk dari Namlea. Ia juga bekerja sama dengan perusahaan ekspedisi untuk menekan biaya pengiriman barang. 

“Sekarang pemesanan dari Sumatera dan Jawa juga banyak. Produk ini sudah dipesan dari luar wilayah Maluku,” katanya. 

DIKO OKTARA

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus