Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUSILO Bambang Yudhoyono sebetulnya bukan orang baru dalam penyelesaian kasus Soeharto. Delapan tahun silam, ketika menjadi Menteri Pertambangan dan Energi, ia mengemban misi damai dari Presiden Abdurrahman Wahid: meminta Keluarga Cendana menyerahkan sebagian harta mereka. Seperti sekarang, kala itu, usaha tersebut juga memancing kontroversi.
Ada dugaan bahwa Yudhoyono dipilih karena dianggap dekat dengan Tutut, panggilan akrab Siti Hardijanti. Keduanya pernah sama-sama menjadi anggota panitia ad hoc dalam Sidang Umum MPR 1997. Tutut mewakili Golkar dan Yudhoyono mewakili TNI. Tapi Yudhoyono menampik soal kedekatan ini. Terus terang, saya sendiri tidak tahu alasan penunjukan itu. Saya tidak punya (sejarah) kedekatan dengan Pak Harto dan keluarga,” kata Yudhoyono kepada Tempo, Juni 2000.
Menurut Abdurrahman Wahid, Yudhoyono piawai berunding. Ia merujuk pada penyelesaian kasus perusakan lingkungan oleh perusahaan tambang Newmont di Sulawesi Utara. Yudhoyono berhasil memaksa perusahaan Amerika itu membayar ganti rugi US$ 4 juta kepada pemerintah setempat. ”Orang lain mana ada yang bisa bekerja begitu?” kata Presiden.
Marzuki Darusman, yang saat itu Jaksa Agung, mengatakan bahwa keputusan untuk menempuh jalan damai—termasuk memilih Yudhoyono sebagai juru runding—tidak dibahas dalam sidang kabinet. ”Itu kreativitas Gus Dur,” kata Marzuki kepada Tempo, Jumat pekan lalu. ”Alasan sebenarnya memilih Yudhoyono, misteri buat saya.”
Yudhoyono mengaku mendapat penugasan itu seusai sidang kabinet, 24 Mei 2000. Abdurrahman menjelaskan pandangannya tentang penyelesaian kasus yang membelit Soeharto. Saat itu, bekas penguasa Orde Baru ini menjadi tersangka korupsi dan kasusnya dalam penyidikan Kejaksaan Agung. Abdurrahman mengatakan, penyelesaian masalah ini memerlukan multi-pendekatan: hukum, politik, dan kemanusiaan. ”Saya diberi tugas menyampaikan pandangan Gus Dur agar keluarga (Cendana) bisa menyumbangkan sebagian hartanya kepada negara,” kata Yudhoyono.
Pertemuan pertama digelar pada awal April 2000 di Jalan Cendana, Jakarta. Yudhoyono menyampaikan proposal yang ditawarkan Abdurrahman Wahid. ”Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa Keluarga Cendana memiliki harta yang sebagian patut disumbangkan kepada rakyat,” kata Yudhoyono. Tawaran itu tak bersambut. Keluarga Cendana, yang diwakili Tutut, malah bertanya, ”Kekayaan mana yang mau diserahkan?” Pertemuan kedua, sekitar dua minggu berselang, juga tak membuahkan hasil.
Membentur tembok, pemerintah malah sesumbar. Ketika berada di Teheran, Iran, Abdurrahman mengatakan sekarang sudah mulai tampak adanya tanda-tanda kesepakatan antara pemerintah dan keluarga Soeharto. ”Harta benda yang beliau ambil dari negara secara tidak sah akan dikembalikan kepada negara,” kata Abdurrahman, dalam dialog dengan masyarakat Indonesia di Teheran, 15 Juni 2000.
Tutut menampik sinyalemen Abdurrahman Wahid itu. Ia mengakui telah bertemu Yudhoyono, tapi tidak pernah ada komitmen untuk menyerahkan kekayaan Soeharto. ”Selama ini disampaikan bahwa Bapak tidak mempunyai uang satu sen pun di luar negeri. Bapak menyampaikan, kalau ada yang dapat menemukan harta itu, silakan diambil untuk dibagikan bagi kesejahteraan rakyat,” kata Tutut. M. Assegaf, pengacara Soeharto saat itu, mengaku tak mendapat laporan soal proses perundingan tersebut.
Negosiasi memang tak ke mana-mana. Lima bulan setelah mendapat mandat, Yudhoyono memastikan proses perundingan tak berlanjut. ”Soal ini menjadi sumber kontroversi yang tajam di masyarakat,” kata Yudhoyono. Pemerintah khawatir, negosiasi itu mengganggu jalannya proses hukum.
Abdul Manan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo