Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KUNJUNGAN itu didorong oleh sebuah mimpi. Syahdan, nun jauh di Jerman sana, bekas wakil presiden B.J. Habibie bermimpi bertemu Soeharto. Tak jelas benar bagaimana detail mimpi itu. Yang pasti, Habibie merasa perlu segera bertemu dengan bekas guru politiknya itu. Tergesa-gesa berangkatlah ia ke Indonesia. Dengan pesawat Lufthansa, berbelas jam ia menembus langit. Tapi di Jakarta inilah yang terjadi.
Di Rumah Sakit Pusat Pertamina, tempat Soeharto dirawat, ia diminta masuk lewat pintu belakang: dari Gedung F menuju ruang perawatan Soeharto di Gedung B. Dua gedung itu memang bersambung. Bergegas Habibie, istrinya Hasri Ainun, dan delapan anggota rombongan masuk ke lorong kiri rumah sakit itu. Dikawal pasukan pengaman presiden, mereka melewati kamar mayat, kantin, lalu memasuki lift di Gedung F.
Sejatinya ini lift khusus untuk barang. Saban hari yang masuk ke situ adalah selimut, bantal, kasur, obat, dan makanan para pasien. Hari itu seorang mantan presiden digiring masuk ke lift kumuh itu. Seorang anggota tim, kepada Tempo, mengeluh, ”Liftnya nggak enak. Bau.” Habibie, yang malam itu mengenakan baju batik cokelat dan kopiah, berusaha tenang.
Dari lift rombongan dibawa ke lantai enam—bukan lantai lima, tempat Soeharto terkulai sejak 4 Januari lalu. Di lantai itu, Habibie diminta menunggu di sebuah ruang. Dua puluh menit menunggu, Quraish Shihab, mantan Menteri Agama dan imam Masjid AtTien, datang menemui.
Mereka lalu diminta turun ke lantai lima. Di situ Habibie menunggu lagi di sebuah ruang beberapa meter dari kamar Soeharto. Para tamu disuguhi teh dengan cangkir kecil. Tiga orang dokter Soeharto menemui Habibie, menjelaskan keadaan kesehatan si pasien.
Habibie tak sabar: ia ingin segera melongok bekas atasannya itu. Tapi pintu masuk tertutup. Rombongan mulai gelisah. Salah satu dari mereka menggerundel, ”Tega banget. Kok Pak Habibie tidak bisa masuk.” Di tengah ketidakpastian itu, Suhardjo, adik ipar Tien Soeharto, datang membawa kabar tak enak: Habibie benar-benar tak diizinkan masuk.
Seorang sumber Tempo menuturkan bahwa pada saat Habibie menunggu, anak-anak Soeharto sempat berunding tentang boleh-tidaknya Habibie ditemui. Anak-anak Soeharto berbeda pendapat: empat orang mau menerima Habibie, dua anak lainnya keras menolak. Kabarnya, yang keras menolak adalah Titiek dan Mamiek. Tutut, putri sulung Soeharto, bahkan sempat memaksa ingin menemui Habibie, tapi dicegah seorang adiknya.
Di luar, rombongan sudah patah arang. Minuman yang disuguhkan tandas ditenggak. ”Ngelak banget (haus sekali), Mas,” kata seorang anggota rombongan kepada Tempo. Selanjutnya, mereka hanya bisa berdoa untuk Soeharto. Dipimpin Quraish Shihab, mereka menengadahkan tangan. Selanjutnya Habibie bergegas keluar.
Tapi..., tunggu dulu. Di bawah sana sekitar 200 wartawan berkerumun. Apa yang harus disampaikan kepada juru tinta jika mereka nanti bertanya? Patutkah cerita penolakan Keluarga Cendana itu diberitakan?
Rombongan berunding. Dokter kepresidenan memberikan solusi. Kata Pak Dokter, bilang saja bahwa Soeharto tidak bisa dijenguk karena sedang terjadi pergantian alat. Proses itu butuh konsentrasi tinggi. Jadi tamu tak boleh membezuk. Meski masuk akal, Habibie menolak usul itu. Sang profesor punya ide lain. Bilang saja, ”Pak Harto sedang istirahat, sedang tidur,” kata Habibie seperti ditirukan seorang anggota rombongan. Para dokter tersenyum setuju. Habibie turun lalu menggelar konferensi pers.
Dari rumah sakit, Habibie meluncur ke kediamannya di Patra Kuningan, Jakarta Selatan. Lapar mengetam. Semangkuk bakmi jawa yang sudah menunggu dilahapnya. ”Pak Habibie makannya banyak,” kata seorang teman dekatnya.
TAK sulit menduga mengapa Cendana menolak kedatangan bekas orang dekat Soeharto itu. Habibie adalah salah satu orang yang dianggap mengkhianati Soeharto pada hari-hari terakhir kekuasaan Orde Baru.
Habibie, yang pada 1998 adalah wakil presiden, dianggap membiarkan politik tak menentu hingga akhirnya Soeharto jatuh dan ia menjadi orang nomor satu di republik ini. Setelah Mei 1998, tak sedetik pun Habibie pernah bertemu Soeharto.
Habibie menolak tudingan itu. Dalam bukunya Detik-Detik yang Menentukan, ia menulis bahwa pada 20 Mei 1998 malam, Menteri Sekretaris Negara Saadilah Mursyid mengabarkan Presiden Soeharto akan mundur esok hari dan ia diminta bersiap menjadi presiden.
Habibie terkejut. Ia minta bertemu Presiden tapi ditolak. Ajudan presiden berjanji akan mempertemukannya dengan Presiden esok sebelum acara serah-terima kekuasaan.
Tapi pertemuan itu pun tak jadi dilaksanakan. Pagi-pagi sekali Habibie meluncur ke Istana. Di situ dia menunggu di ruang tamu bersama ketua dan beberapa anggota Mahkamah Agung.
Habibie menulis: ”Tiba-tiba protokol dan ajudan Presiden mempersilakan ketua dan anggota Mahkamah Agung masuk ruang Jepara (ruang Presiden). Saya langsung berdiri dan menyampaikan bahwa saya dijanjikan bertemu Presiden. Ajudan masuk lagi dan hanya sekejap kembali lalu mempersilakan ketua dan anggota Mahkamah Agung masuk ke ruang Pak Harto.”
Habibie, yang merasa diperlakukan tak wajar, berusaha masuk. Tapi sia-sia. Baru beberapa depa ia melangkah, pintu terbuka dan protokol mengumumkan bahwa Presiden akan memasuki ruang upacara. Maka, terperanjatlah putra Pare-pare itu. ”Saya tercengang Pak Harto melewati saya, terus melangkah dan ”melecehkan” keberadaan saya di depan semua yang hadir.” Hari itu Habibie dilantik menjadi presiden Indonesia yang ketiga. Sesudah itu, keduanya putus hubungan.
Tak hanya Habibie yang bernasib buruk. Harmoko, bekas Ketua MPR/DPR yang kerap memuji Soeharto sebagai ”Bapak Pembangunan”, juga ditolak membesuk.
Mantan Menteri Penerangan itu datang pada Rabu malam pekan lalu. Ia memang lebih beruntung dibanding Habibie, karena tak harus naik lift barang. Di rumah sakit ia langsung ke lantai lima, tapi tetap saja tak ditemui seorang pun anak-anak Cendana. Yang datang hanyalah Sudwikatmono dan istri Probosutedjo, adik tiri Soeharto. Kepada wartawan Harmoko menjelaskan, ”Saya tidak bisa bertemu. Cuma lihat dari kaca.”
Sebagai Ketua Umum Golkar, partai dan mesin politik pemerintah, Harmokolah yang dulu mengusulkan agar Soeharto dipilih lagi, lagi, dan lagi. Di layar televisi kerap terdengar ia memberikan pelbagai penjelasan dengan kalimat pembuka, ”Atas petunjuk Bapak Presiden.”
Ketika angin politik berubah pada 1998, Harmoko tak bisa mempertahankan loyalitasnya. Dalam sebuah konferensi pers ia menyatakan bisa memahami tuntutan mahasiswa agar Presiden mundur. Cendana kecewa. Maka, dibiarkanlah ia termangu di rumah sakit itu.
Wenseslaus Manggut, Arif Kuswardono, Sunudyantoro, dan Anton Septian
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo