Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelas tahun sudah Purwanto dan keluarga menghuni bantaran rel kereta api di kawasan Pejompongan, Jakarta Pusat. Penghasilan sebagai sopir bemo yang hanya Rp 300 ribu per bulan memaksa lelaki 32 tahun ini tinggal di kawasan kumuh itu.
Sebelas tahun penuh perjuangan, akhirnya Purwanto menyerah juga. Memanfaatkan program pemulangan gratis dari Kementerian Sosial, pada Agustus lalu ia memutuskan memboÂyong istri dan kedua anaknya kembali ke Kendal, Jawa Tengah. "Rindu kampung. Mau bangun kampung halaman juga," ujarnya. Dia berharap, setibanya di Kendal, pemerintah daerah sudi memberikan bantuan kursus menjahit atau membuat kue bagi istrinya. "Saya ingin membangun kehidupan yang lebih baik di Kendal."
Bagi Purwanto dan 24 keluarga lain yang menyesaki bedeng-bedeng di bantaran rel Pejompongan, kehidupan yang lebih baik adalah impian. Kemiskinan bagi mereka bukan sekadar garis Rp 233 ribu per orang per bulan yang dipatok Badan Pusat Statistik, melainkan keniscayaan.
Celakanya, kelompok masyarakat seperti Purwanto masih banyak di negeri yang katanya kaya ini. Sampai Maret 2011, jumlahnya ditaksir sekitar 30,02 juta orang dari 240 juta penduduk. Itu artinya, ada 12,5 persen orang yang berpenghasilan di bawah Rp 7.770 per hari.
Padahal batas garis kemiskinan itu saja sudah banyak dicerca karena dinilai tak wajar. Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Didik Rachbini, mengatakan standar yang berlaku tak bisa menjadi tolok ukur tingkat kemiskinan lantaran terlalu rendah. "Itu hanya mengukur super-kemiskinan, yang paling melarat," katanya seusai seminar "Proyeksi Ekonomi Indonesia 2012", Rabu dua pekan lalu. Didik yakin kemiskinan yang berputar di sekitar garis kemiskinan jauh lebih banyak. "Itu salah kalau dipakai untuk mengukur tingkat kesejahteraan."
Didik membandingkan data kemiskinan versi pemerintah, yang menyebutkan jumlah penduduk miskin tersisa 12,5 persen saja, dengan data Bank Indonesia, yang menunjukkan bahwa 62 persen rumah tangga tak punya akses terhadap perbankan. "Ini kan kontras, berarti banyak yang dapat duit, makan, dapat duit, makan," katanya.
Indef menganalisis penyebab utama kemiskinan adalah politik yang oligarkis. Banyak hasil sumber daya alam, seperti tambang dan hutan, yang habis buat mengenyangkan pengusaha, pejabat, serta politikus.
Ekonom Indef lainnya, Ahmad Erani Yustika, berpendapat standar yang dipakai pemerintah dalam mengukur kemiskinan sangat politis. Sebab, jika standar itu dinaikkan sedikit saja, angkanya akan mendadak besar sekali. Erani berpandangan, sektor pertanian dan industri mestinya mendapat porsi anggaran yang memadai.
Nyatanya, tahun ini alokasi anggaran untuk sektor pertanian hanya Rp 17,8 triliun. Padahal peningkatan alokasi anggaran pertanian dinilai lebih efektif ketimbang Bantuan Langsung Tunai dan Kredit Usaha Rakyat. "Sekitar Rp 70 triliun yang dialokasikan bagi program-program seperti itu lebih baik disalurkan ke sektor (pertanian dan industri)," kata Erani.
Indef menghitung, kalau anggaran pertanian dan industri bisa digenjot tiga kali lipat menjadi Rp 50-60 triliun, pelaku ekonomi bisa semakin banyak dan mutu pertumbuhan akan bagus. "Diambil dari subsidi bahan bakar minyak saja bisa meningkatkan tiga kali lipat," ujarnya.
Sebenarnya pemerintah bukan tak punya rencana. Saat memberi kuliah umum di gedung Magister Manajemen Universitas Gadjah Mada pada Oktober lalu, Wakil Presiden Boediono menyebutkan empat cluster yang diintervensi pemerintah untuk memangkas kemiskinan menjadi 8-10 persen hingga 2014. Pertama, cluster berbasis rumah tangga dengan skema jaminan kesehatan masyarakat dan beasiswa bagi mahasiswa miskin. Kedua, cluster berbasis pemberdayaan komunitas lewat Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri. Ketiga, cluster berbasis usaha mikro dan kecil. Cluster keempat berbasis spasial, seperti pembangunan di desa pesisir dan permukiman kumuh.
Nyatanya, sejauh ini tingkat kemiskinan belum juga jauh berkurang. Menurut Ketua Dewan Pembina HimpunÂan Pengusaha Muda Indonesia Â(Hipmi) Erwin Aksa, hal ini terjadi karena pembangunan yang kurang merata. Ia mengkritik pemerintah karena hanya berfokus pada pembangunan di kota-kota yang kaya sumber daya alam. Sementara itu, masih banyak daerah tertinggal yang mayoritas masyarakatnya miskin.
Saat ditemui seusai pelantikan pengurus pusat baru Hipmi pada Senin pekan lalu, Erwin juga mengusulkan agar subsidi bahan bakar minyak pada 2012 dicabut dan dialihkan bagi pembangunan infrastruktur. Dengan infrastruktur yang baik di seluruh Indonesia, pembangunan bisa merata.
Bukan hanya ekonom dan pengusaha yang mengkritik. Pegiat lembaga swadaya masyarakat pun melihat bolong besar dalam upaya pemberantasan masyarakat dari kemiskinan. Kemakmuran rakyat dikhawatirkan semakin sulit tercapai mengingat postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012. Belanja pegawai tahun depan ditetapkan Rp 215,7 triliun. "Anggaran ini lebih tinggi empat kali dari anggaran kemiskinan, yang hanya sebesar Rp 50 triliun," kata Sekretaris Jenderal Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) Yuna Farhan. Padahal penerimanya 30 juta orang, jauh lebih besar ketimbang jumlah pegawai negeri yang 4,7 juta orang.
Pencapaian kemakmuran rakyat juga sulit tercapai karena anggaran kemiskinan kerap diselewengkan. Pada 2011, dianggarkan Rp 86 triliun, bagi 30,02 juta penduduk miskin. Secara sederhana, tiap penduduk miskin mendapat alokasi sekitar Rp 2,8 juta per tahun atau sekitar Rp 238 ribu per bulan. Angka ini lebih tinggi dari garis kemiskinan. "Harusnya tidak ada orang miskin, tetapi pada kenyataannya biaya ini kerap tidak sampai," kata Yuna.
Tantangan yang dihadapi bangsa ini bertambah pelik dengan hadirnya krisis ekonomi. Budi Hikmat, Kepala Ekonom Bahana TCW Investment, memproyeksikan pertumbuhan ekonomi selama 2012 sebesar 6,2 persen. Angka ini lebih rendah dibanding target pertumbuhan ekonomi 2011 sebesar 6,7 persen. Alasannya, ekspor dan investasi akan melambat seiring dengan meningkatnya risiko krisis global. "Demikian juga penurunan harga komoditas akan menghambat kemakmuran daerah di luar Jawa," ujarnya.
Ekonom Bank Dunia, Enrique Blanco Armas, melalui surat elektronik kepada Tempo pada Senin pekan lalu, menyoroti pola pembangunan dan perbaikan infrastruktur. Meski terdapat peningkatan dalam pembangunan infrastruktur, hasilnya tak seragam. "Pemerintah masih kesulitan mengeksekusi total anggaran," ujar dia. Akibatnya, pembangunan infrastruktur di daerah juga menunjukkan hasil yang beraneka ragam. Beberapa daerah menunjukkan kinerja yang baik, sedangkan sejumlah daerah lainnya tidak begitu baik.
Bank Dunia mengingatkan perlunya penyiapan sistem perencanaan keuangan secara lebih modern. Dengan begitu, diharapkan perencanaan dan penyerapan anggaran bisa tepat waktu dan sasaran.
Dalam catatan Bank Dunia, penyerapan anggaran Indonesia pada 2010 masih di bawah 90 persen dan lebih banyak untuk belanja modal. Apalagi, kebiasaan di Indonesia, penyerapan anggaran baru optimal pada akhir tahun.
Mengenai hal itu, Direktur Jenderal Perbendaharaan Agus Supriyanto mengatakan pemerintah sesungguhnya sudah melakukan evaluasi dalam hal penyerapan anggaran. Namun persoalannya masih sama, yakni kultur masyarakat Indonesia yang terbiasa menyelesaikannya pada detik terakhir.
Jumlah dan Persentase
Daerah/Tahun | Jumlah (Juta Orang) | Persentase |
Perkotaan | ||
Maret 2010 | 11,1 | 9,87 |
Maret 2011 | 11,05 | 9,23 |
Pedesaan | ||
Maret 2010 | 19,93 | 16,56 |
Maret 2011 | 18,97 | 15,72 |
Total | ||
Maret 2010 | 31,02 | 13,33 |
Maret 2011 | 30,02 | 12,49 |
Komoditas Penyumbang Garis Kemiskinan (Persen)
Komoditas | Kota | Desa |
Beras | 25,44 | 32,81 |
Rokok | 7,7 | 6,23 |
Telur ayam | 3,41 | 2,47 |
Gula pasir | 2,84 | 3,89 |
Mi instan | 2,73 | 2,33 |
Tempe | 2,39 | 1,88 |
Daging ayam | 2,15 | 1,12 |
Tahu | 2,06 | 1,54 |
Perkembangan Kemiskinan 2004-2011
Periode | Jumlah (Juta) | Persentase |
Februari 2004 | 36,1 | 16,66 |
Februari 2005 | 35,1 | 15,97 |
Maret 2006 | 39,3 | 17,75 |
Maret 2007 | 37,17 | 16,58 |
Maret 2008 | 34,96 | 15,42 |
Maret 2009 | 32,53 | 14,15 |
Maret 2010 | 31,02 | 13,33 |
Maret 2011 | 30,02 | 12,49 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo