Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Ancaman Prospek Eko nomi Indonesia 2012

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Anggito Abimanyu*
(www.anggitoabimanyu.com)

Beberapa minggu lalu, Badan Pusat Statistik mengeluarkan data kinerja perekonomian Indonesia kuartal kedua 2011 yang menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi melaju 6,5 persen dibanding kuartal yang sama tahun 2010, atau 3,5 persen dibanding kuartal pertama 2011. Dengan demikian, diperkirakan target 6,5 persen dan inflasi sekitar 5 persen akan tercapai.

Pada 2012 dicanangkan pertumbuhan ekonomi 6,7 persen. Yang tidak kalah penting adalah tingkat inflasi direncanakan menurun dari di bawah 6 persen (2011) ke 5 persen pada 2012. Sasaran pertumbuhan ekonomi 2012 tampaknya berat akan dicapai karena faktor menurunnya laju perekonomian global, sementara hambatan investasi di Indonesia juga belum diperbaiki secara signifikan.

Krisis Global dan Proyeksi 2012

Meskipun realisasi kuartal kedua 2011 menggembirakan, hingga kini belum dapat dipastikan adanya kontinuitas hingga 2012. Pertumbuhan perekonomian dunia 2012 cenderung stagnan, bahkan menurun, yakni di bawah 4 persen. Dan pertumbuhan ekonomi negara maju masih di bawah potensinya. Krisis utang di Eropa akan terus menjadi tanda tanya besar, terutama menyangkut proses dan upaya pemulihannya. Risiko gagal bayar surat utang dan meningkatnya risiko berusaha di Eropa terus membayangi.

Berbagai hal di atas mengakibatkan situasi global juga masih tetap belum stabil, sektor keuangan belum pulih, harga-harga komoditas dunia masih bergejolak, dan dolar masih tetap akan melemah dengan sesekali menunjukkan volatilitas yang tinggi. Investor pasar modal masih terus mencari tujuan yang aman, kadang di pasar uang, pindah ke pasar modal, bahkan bisa menyerbu pasar komoditas, atau kembali lagi. Investor jangka panjang cenderung konservatif, diam, bahkan tidak bertransaksi apa-apa.

Akhir-akhir ini, nilai tukar dolar terhadap rupiah menunjukkan kecenderungan pelemahan, sehingga rata-rata nilai tukarnya sangat mungkin berada di level Rp 9.000 atau bahkan lebih lemah daripada itu. Kebijakan Bank Indonesia untuk terus melakukan intervensi terhadap kisaran nilai tukar mampu menahan perlemahan kurs, tapi di sisi lain akan mendorong ekspektasi inflasi. Ini memang menjadi dilema bagi Bank Indonesia, yakni memilih stabilitas nilai tukar dengan tekanan inflasi atau sebaliknya.

Proyeksi inflasi pada 2011 memang rendah, yakni di bawah 5 persen, tapi tahun depan belum tentu dapat dicapai inflasi serendah ini. Penurunan inflasi global akibat menurunnya global demand membantu inflasi, sementara gejolak nilai tukar memperburuk inflasi. Keragu-raguan pemerintah dalam kebijakan stabilitas harga beras, pangan, dan energi (bahan bakar minyak dan listrik) turut menyumbang pada ekspektasi inflasi.

Kenaikan harga bahan bakar minyak dan listrik pada 2012 sebenarnya tidak bisa dielakkan lagi. Jika itu tidak dilakukan, beban anggaran akan berat. Namun pemerintah Susilo Bambang Yudhoyono dan Boediono rupanya cenderung mengambil kebijakan populis dengan dalih lemahnya daya beli. Hal ini menunjukkan pemerintah sekarang memberikan beban bagi pemerintah yang akan datang.

Dengan turunnya permintaan global, ekspor kita akan menurun. Namun, pada saat yang sama, impor akan turun karena lemahnya permintaan domestik dan turunnya harga bahan baku impor. Melihat kecenderungan tersebut, mau tidak mau pemerintah harus memperkuat produk dan pasar dalam negeri. Sayangnya, belum ada kebijakan konkret untuk mendorong perekonomian dalam negeri. Ekonomi biaya tinggi masih terjadi dan daya saing belum membaik. Penyerapan anggaran masih saja terlambat dan target tidak tercapai. Kerja sama kemitraan investasi dengan swasta juga masih mandek. Proyek-proyek infrastruktur besar terganjal oleh masalah struktural, seperti tanah, tumpang-tindih lahan, dan ego kebijakan sektoral.

Dengan berbagai faktor tersebut, pertumbuhan ekonomi pada 2012 diperkirakan akan berkisar 6 persen, masih di bawah target pemerintah 6,7 persen. Satu-satunya harapan ada pada faktor konsumsi. Faktor konsumsi rumah tangga tetap akan kuat. Penjualan berbagai produk retail akan tetap meningkat pesat. Penjualan mobil dan motor akan tetap naik, dan untuk pertama kalinya penjualan mobil diperkirakan dapat melampaui 1 juta unit.

Kesempatan untuk menuju pertumbuhan 7 persen masih tetap ada. Peluang itu muncul ketika kita menuju pasar tunggal ASEAN, di mana perusahaan elektronik dan mesin-mesin juga akan semakin meningkatkan kapasitasnya. Dengan derasnya penanaman modal asing serta tingginya impor barang-barang modal dan bahan baku, produk industri pengolahan akan kembali meningkat signifikan pada 2012. Syaratnya, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang responsif.

Demikian juga perkembangan daerah-daerah, yang semakin banyak menghasilkan koridor dan pusat pertumbuhan. Sekali lagi, yang sangat penting adalah percepatan pembangunan infrastruktur dan transportasi massal dalam kota serta interkoneksi antarpulau.

Faktor ketersediaan infrastruktur menjadi kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia di atas 7 persen. Kemacetan struktural sebagaimana yang terjadi di Jakarta (dan beberapa kota besar lain), Pelabuhan Merak, dan Tanjung Priok telah menghambat pertumbuhan ekonomi. Muatan manusia dan barang yang setiap tahun naik dua sampai lima kali lipat mensyaratkan penyediaan jalan, pelabuhan, dan bandar udara yang memadai. Jika tidak diperhatikan, buntutnya, kemacetan panjang berjam-jam semakin menjadi ­sumber ketidakpastian dan menghambat pertumbuhan ekonomi.

Faktor Kesenjangan dan Antisipasi

Yang tidak kalah pentingnya adalah pertumbuhan ekonomi harus mampu mengurangi kesenjangan antarkelompok pendapatan dan antardaerah. Yang terjadi justru sebaliknya: kesenjangan tidak membaik. Yang urgen juga adalah penyediaan sistem jaminan sosial yang terkoordinasi. Tidak seperti sekarang: begitu banyak program, seperti beras untuk rakyat miskin, jaminan kesehatan masyarakat, dan bantuan sosial di berbagai kementerian, tapi satu sama lain berjalan sendiri-sendiri. Program subsidi langsung juga tak kunjung tiba karena program pendataan tunggal penduduk belum tuntas.

Program desentralisasi fiskal juga tidak menghasilkan perbaikan kesenjangan antardaerah. Pemerintah merencanakan perubahan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 (pemerintahan daerah) dan UU 33/2004 (perimbangan pusat dan daerah) secara parsial. Pemisahan pemberian kewenangan (UU 32/2004) dengan perimbangan keuangan (UU 33/2004) akan memperlebar jurang kesenjangan antardaerah, perbaikan layanan publik, dan kesejahteraan masyarakat.

Ancaman krisis 2012 tampak nyata, bahkan banyak analis yang memperkirakan akan lebih buruk dibanding 2008 dan 2009. Berbeda dengan 2008 dan 2009, kali ini episentrum krisis berada di pemerintah. Krisis 2008 dan 2009 adalah krisis di institusi keuangan yang selesai dengan kebijakan bailout (talangan) pemerintah, tapi dengan krisis keuangan pemerintahan di beberapa negara, diperlukan ­bailout yang lebih besar dari bank sentral Uni Eropa (ECB) dan Dana Moneter Internasional (IMF). Dan krisis global sudah merambah ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Melemahnya rupiah, terjadinya aliran modal keluar, dan adanya hambatan ekspor ke Eropa adalah tanda-tanda dampak krisis.

Pemerintah menyatakan akan mengeluarkan (lagi) kebijakan tentang pencegahan dan dampak krisis global. Sebetulnya, dalam UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2012 sudah terdapat berbagai kebijakan antisipasi krisis. Pemerintah hanya tinggal menerbitkan kebijakan operasional. Tapi, entah mengapa, justru masalah itu tidak disentuh. Ditambah dengan kebijakan Bank Indonesia untuk stabilisasi makro, stress-test pada perbankan, serta UU Jaring Pengaman Sistem Keuangan, berbagai instrumen pencegah krisis itu untuk sementara sudah memadai. Tapi bagaimana jika datang krisis yang besar?

Agaknya, Presiden Yudhoyono ingin menunjukkan bahwa kualitas kepemimpinannya dalam mengatasi krisis berbeda dengan kejadian pada 2008 dan 2009. Dan Presiden sudah mengatakan akan mengubah gaya kepemimpinannya. Hasilnya akan kita lihat bersama pada 2012.

*) Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus