Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Waspada di Tengah Tahun Naga

Emas tetap berjaya ketika krisis Eropa memukul produk tambang mineral Indonesia. Tertolong pasar Cina-India dan Jepang-Korea.

12 Desember 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PETUGAS memeriksa para pengunjung dengan saksama. Selain pengemudi, semua penumpang mobil mesti berjalan memasuki kawasan tambang emas Pongkor, Desa Bantar Karet, Nanggung, Bogor, Jawa Barat. Di luar gerbang area milik PT Aneka Tambang itu, belasan kendaraan mengular. Sebagian rombongan yang datang di siang terik itu adalah para gurandil. "Pemeriksaan memang sangat ketat," kata Ivan Ibeng, 42 tahun, seorang pengunjung, Senin tiga pekan lalu.

Menurut beberapa tokoh masyarakat setempat, para gurandil-sebutan untuk penambang emas liar-makin banyak yang datang dalam beberapa bulan terakhir. Semangat mereka menambang bertambah besar seiring dengan melejitnya nilai komoditas ini. Pada akhir bulan lalu, harga emas dalam negeri mencapai Rp 515 ribu per gram, tertinggi setelah pada Agustus menyentuh harga Rp 530 ribu. Pun di pasar dunia, harganya melambung dan fluktuatif di angka US$ 1.700-2.000 per troy ounce.

Walhasil, banyak penduduk setempat sukses mendulang emas dari Gunung Pongkor. Rumah-rumah berdiri mentereng. Mobil mewah, seperti Mitsubishi Pajero atau Lexus, berseliweran di pelosok kampung tersebut. "Punya gurandil yang bertugas sebagai tukang pahat emas atau penggali lobang tikus," kata Ivan.

Sayangnya, menurut Hari Widjajanto, Direktur PT Antam Unit Pertambangan Emas Pongkor, di tengah harga yang sedang melejit, produksi emas Gunung Pongkor sulit didongkrak. Jangankan menaikkan kapasitas produksi, mencapai target 2.007 kilogram pada akhir tahun ini saja berat. Pangkal soalnya: faktor teknis yang makin sulit.

Emas Pongkor diambil dengan cara ditambang di dalam tanah. Saat ini Antam sudah membuat terowongan hingga 10 kilometer. Untuk menembus urat emas, perusahaan pelat merah itu mesti menggali hingga 450 meter di bawah permukaan laut pada tiga titik: Blok Ciguha, Blok Kubang Cicau, dan Blok Ciurug. Untuk mengawasi keberhasilan usaha inilah belakangan Hari kerap menginap di Pongkor. "Sekarang kami siaga I operasional," kata dia.

Pergerakan nilai emas memang begitu membetot perhatian banyak kalangan. Masyarakat berbondong-bondong berburu hasil tambang itu untuk investasi. Saking tingginya permintaan, emas sempat menyumbang inflasi terbesar: 0,19 persen dari total inflasi 0,93 persen pada Agustus lalu. Pemerintah atau bank sentral pun tak mau kalah, rajin mengumpulkan dan menjadikannya sebagai cadangan devisa.

Tak aneh, pada krisis ekonomi yang dipicu oleh utang luar biasa pemerintah di Eropa saat ini, emas menjadi primadona. Keriuhan transaksinya bisa dilihat seperti pada awal bulan ini. Ketika enam bank sentral dunia-Amerika Serikat, Eropa, Kanada, Swiss, Jepang, dan Inggris-menurunkan suku bunga pinjaman hingga 50 basis point, para investor melepas dolar dan memborong emas. Dampaknya, dalam satu perdagangan, harga emas naik dari US$ 1.700 menjadi US$ 1.750 per troy ounce.

Lantaran besarnya permintaan, pada awal September lalu pemerintah memperingatkan para produsen untuk mengerem ekspor emas. Menurut Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Bambang Brodjonegoro, produksi nasional begitu terbatas. Karena itu, produsen harus mengutamakan permintaan dalam negeri agar cadangan nasional aman. Selama ini produksi emas nasional sekitar 120 ton per tahun, 80 persen berasal dari PT Freeport Indonesia. Namun hampir 70 persen diekspor dan hanya sepertiganya yang diserap pasar dalam negeri.

Apesnya, produksi emas tahun ini diduga akan turun. Pemicunya adalah kerusuhan karyawan PT Freeport bulan lalu. Akibatnya, produksi bijih besi perusahaan Amerika yang mengelola kawasan tambang Grasberg di Papua itu anjlok, dari 230 ribu ton per hari menjadi 11.500 ton.

Direktur Utama PT Aneka Tambang Alwinsyah Lubis tak menampik permintaan pemerintah. Selain karena selama ini produksi lebih banyak dilempar ke pasar domestik, harapan itu tak merugikan perusahaan. "Biarpun di dalam negeri, kami menjual dengan mengacu pada harga internasional," kata dia.

Nah, memanfaatkan harga yang menjulang, PT Antam berniat meningkatkan produksi. Menurut Alwinsyah, selain tambang Pongkor, perusahaan negara itu tengah menggenjot hasil bumi dari tambang Cibaliung, Pandeglang, Banten. Karena masih baru, emas yang digali anak usahanya, PT Cibaliung Sumberdaya, itu baru 1 ton per tahun. "Diharapkan terus meningkat di tahun-tahun mendatang," katanya.

Jika ini terlaksana, menurut pengamat pertambangan Priyo Pribadi Soemarno, langkah PT Antam sudah tepat. Ia memprediksi harga emas akan terus naik. Di antara faktor pemicunya adalah kebijakan berbagai negara yang menempatkan emas sebagai cadangan negara menggantikan minyak. "Pun di saat-saat perang," kata Priyo.

Karena sifat inilah analis pasar modal Lin Che Wei menggolongkan emas sebagai logam khusus yang tak bisa dikelompokkan di antara barang tambang mineral lainnya. "Ketika situasi ekonomi tidak pasti, banyak yang akan pegang emas," katanya.

l l l

MEMASUKI kuartal keempat, Alwinsyah Lubis makin mencermati gejolak krisis Yunani yang sudah merembet ke sebagian Eropa. Apa hendak dikata, walau harga emas tetap moncer, hasil tambang mineral lainnya tak demikian. Padahal Eropa merupakan pasar utama nikel, hasil tambang terbesar PT Antam. Sekitar tiga perempat produksi dikirim ke sana, setelah itu baru ke kawasan Asia-Pasifik. Hanya sebagian kecil untuk pasar dalam negeri.

Menurut Alwinsyah, saat krisis utang Yunani baru merebak awal semester kedua, permintaan dari Eropa belum ada perubahan. Namun, sejak Oktober lalu, beberapa negara tujuan ekspor mulai mengurangi pemesanan. "Tapi masih dalam batas ekonomi terkendali," kata dia.

Karena itu, Alwinsyah optimistis menghadapi tahun depan. Namun pertengahan Tahun Naga itu perlu diwaspadai. Jika permintaan pada kuartal pertama cenderung turun, dia memperkirakan akan berdampak buruk. Maka strategi mesti dirancang sejak jauh hari: penetrasi ke negara-negara Asia. Tujuan utamanya adalah Cina dan India. Selain tak terkena imbas krisis, pertumbuhan dua negara itu begitu fantastis.

Sekretaris Perusahaan PT Timah Abrun Abubakar menyatakan hal senada. Dari sekitar 40 ribu ton timah yang dihasilkan perusahaan milik negara ini, hanya sekitar 2 persen yang terpakai di dalam negeri. Untungnya, pasar utamanya bukan Eropa, melainkan Asia-Pasifik-India, Jepang, dan Korea Selatan. "Selama pasar Asia tidak terkena imbas, kita masih aman," kata Abrun. Perkiraannya, jika krisis Eropa terus berlangsung, dampaknya baru terasa pada semester kedua tahun depan.

Namun Alwinsyah dan Abrun menyatakan tidak selamanya akan bergantung pada pasar luar negeri. Mulai tahun mendatang, perusahaan akan serius mengembangkan industri turunan. Abrun mencontohkan konsentrasi PT Timah di industri hilir dengan membangun pabrik solder di Kundur, Batam, dengan kapasitas 2.100 ton. Selain itu, mendirikan pabrik pengolahan timah kimia di kawasan industri Krakatau, Cilegon. Adapun PT Antam membangun pabrik-pabrik smelter untuk pemurnian logam mulia.

Pengamat pertambangan Priyo melihat hal yang sama. Yang paling mempengaruhi sektor tambang Indonesia adalah jika Cina dan India bermasalah. Pada 2012, ada kemungkinan pertumbuhan dua negara itu turun sedikit, meski tidak berhenti. Sebab, industri rakyat Cina sangat besar dan memberi andil dalam pertumbuhan industri negara.

Tantangan Tahun Naga dalam industri tambang mineral adalah kurangnya industri di bisnis proses. Beberapa pabrik besar, kata Priyo, sudah mempunyai dari yang tingkat sederhana hingga berteknologi tinggi. Namun banyak perusahaan kecil yang belum memilikinya. Selain lantaran membutuhkan investasi cukup besar, teknologinya belum memadai. "Ini sangat perlu untuk meningkatkan nilai tambah," kata mantan Direktur Eksekutif Ikatan Asosiasi Pertambangan ini.


Ekspor Pertambangan Indonesia (US$ Juta)

  • 2007: 11.844,90
  • 2008: 14.966,16
  • 2009: 19.692,00
  • 2010: 26.655,50
  • 2011*: 25.229,30

    * (hingga September)
    Sumber: PDAT/Kementerian Perdagangan, diolah

    Harga Rata-rata Timah Dunia (US$ Ribu/Ton)

  • 2006: 8,763
  • 2007: 14,529
  • 2008: 18,512
  • 2009: 13,608
  • 2010: 21,818
  • 2011*: 31-32

    Ekspor Timah Indonesia

    TahunVolume (Ton)Nilai US$ juta
    2006-926,8
    2007-1.034,2
    200867.9001.993,5
    200990.7791.268,0
    201092.4861.734,6
    201195 ribu*1.119,3
    Januari7.334,65185,27 jt
    Februari6.181,42171,19 jt
    Maret9.051,46261,94 jt
    April9.708,45292,32 jt
    Mei7.013,28197,62 jt
    Juni10.875,25268,7 jt
    Juli9.316,20223,34 jt
    Agustus8.559,61197,74 jt
    September5.233.06-
    Oktober5.441,58-
    November4.000*-

    Sumber: PDAT/Kementerian perdagangan, diolah


    Produksi emas Indonesia (Kilogram)

  • 2001: 148,528
  • 2002: 140,246
  • 2003: 138,475
  • 2005: 86,855
  • 2006: 142,894
  • 2007: 138,992
  • 2008: 117,854
  • 2009: 64,390
  • 2010: 140,488
  • 2011: 111,000

    Sumber: BPS


    Produksi Konsentrat Tembaga
    (Ton Metrik)
    Ekspor (US$Juta)
    2006817,7961.904,4
    2007796,8992.731,7
    2008655,0462.202,5
    2009973,3472.367,1
    2010908,6453.305,8

    Produksi NIkel
    (Ton)
    Ekspor(US$ Juta)
    20063,869,8831.266,1
    20077,112,8702.355,6
    20086,571,7641.429,5
    20094,863,352584,1
    2010 1.435,9
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus