Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meski berbeda, dua penangkapan itu memiliki persamaan, yakni pada timing. Polisi mengaku berhasil menangkap para tersangka ada waktu yang sepertinya diharapkan. Tersangka kasus BEJ tertangkap pada hari Kepala Kepolisian RI baru dilantik dan di tengah tekanan publik untuk mengungkapkan pengeboman keji itu. Tersangka skandal Bulog tertangkap hanya dua hari setelah DPR meminta kehadiran Presiden Abdurrahman Wahid untuk menjelaskan skandal yang menyeret-nyeret namanya itu.
Dan itu mencurigakan. Namun, kecurigaan terutama justru terletak pada persamaannya yang lain: bagaimana polisi kebingungan menjelaskan detail yang membawa mereka kepada tersangka. Pada kasus BEJ, masih menjadi misteri bagaimana polisi sampai kepada Iwan Setiawanorang yang kemudian menunjuk hidung para tersangka lain. Proses penangkapan Soewondo tak kurang misteriusnya.
Dalam konferensi pers akhir pekan lalu, Kepala Dinas Penerangan Polri Brigjen Saleh Saaf mengatakan pihaknya telah menangkap Soewondo di sebuah rumahnya yang mewah di Desa Tugu, Cisarua, Bogor. "Selama beberapa bulan, Soewondo mengaku bertapa di gua-gua tepi pantai, termasuk di arangtritis, Yogyakarta," kata Saleh Saaf, "Baru satu bulan terakhir, dia berada di rumah Cisarua itu."
Dari mana polisi memperoleh informasi itu? Dan kapan? "Pada hari Kamis, 12 Oktober, kami mendapat informasi dari masyarakat bahwa Soewondo bersembunyi di sebuah vila," kata Kepala Dinas Penerangan Polda Metro Jaya, Superintenden Nur M. Usman. Hari itu juga, kata Nur Usman, Polda membentuk tim beranggotakan empat orang yang dipimpin oleh Kepala Satuan Reserse Umum, Asisten Superintenden Tito Karnavian.
Sabtu, 14 Oktober, tim tersebut meluncur ke vila milik Soewondo. Dan benar, saat digerebek, tersangka yang dimaksud sedang dipijit oleh salah satu anggota keluarganya. Perlu dua hari untuk melakukan pengecekan sebuah informasi penting, yakni keberadaan buron kelas kakap.
Itu keanehan pertama. Keanehan lain datang dari pengakuan Dadang dan Ujangdua orang yang menurut polisi berjasa menunjukkan keberadaan Soewondo. Dadang, tukang ojek di Cisarua, dan Ujang, warga Rawasari, Jakarta Pusat, memperoleh penghargaan uang dari Alex Bambang Riatmodjo, mantan Kepala Direktorat Reserse Polda Metro Jaya, yang Mei lalu melontarkan sayembara "Rp 5 juta" bagi siapa saja yang bisa memberikan informasi tentang keberadaan Soewondo.
Dalam keterangannya di depan wartawan pekan lalu, Ujang mengatakan dialah yang datang ke Polda Metro Jaya setelah memperoleh informasi dari Dadangteman lamanyatentang Soewondo. Kapan datang ke Polda? Tanggal 8 Oktober, kata Ujang. Itu berarti ada selisih satu pekan dari informasi yang dikatakan Nur Usman.
Menurut keterangan beberapa penduduk di sekitar vila, sering ada wanita yang datang ke situ. "Sebulan terakhir, wanita itu kerap datang, biasanya pada hari Sabtu, dan pulang pada hari Senin," ujar Usa Sugandi, penjaga vila yang berdekatan dengan milik Soewondo. Wanita itu adalah Tety Nursetiati, istri Soewondo. Kepastian itu diperkuat oleh pengakuan Tety sendiri kepada wartawan. Dia mengaku berkunjung ke vila itu dua hari sebelum suaminya ditangkap. Soewondo, kata dia, ada di situ.
Fakta ini menunjukkan betapa tidak seriusnya polisi melacak Soewondo, orang yang pada Mei lalu secara gegap-gempita dinyatakan sebagai buron, dengan sayembara besar, dan bahkan katanya melibatkan Interpol segala. Bukankah kegiatan Tety semestinya menjadi sasaran pengamatan polisi?
Tidak hanya kurang serius. Pada Mei lalu, seperti dalam kor bersama Menteri Luar Negeri Alwi Shihab, Kepala Polri Rusdihardjokini sudah dipecatmencoba meyakinkan publik bahwa Soewondo telah kabur ke luar negeri. Polisi mengabaikan keterangan Sapuan, Wakil Kepala Bulog, yang mengatakan bahwa Soewondo menandatangani surat utang-piutang dengan Yanatera pada 24 Mei 2000. Polisi juga mengabaikan keterangan Farid R. Faqih, Koordinator Government Watch, organisasi partikelir yang dibentuk untuk menyidik kasus ini. Farid sempat melakukan kontak telepon dengan Soewondo yang diyakininya berada di dalam negeri.
Ada dua kemungkinan di sini. Polisi sudah mengetahui keberadaan sang buron, tapi menunggu waktu yang tepat untuk "dikeluarkan", atau polisi hanya menerima perintah dari lingkungan Istana bahwa kinilah saat yang tepat untuk "menangkap Soewondo" karena Presiden Abdurrahman Wahid berada dalam posisi terdesak.
Presiden Abdurrahman menepis kemungkinan adanya rekayasa dalam penangkapan Soewondo. Dia sendiri mengaku cukup gembira mendengar penangkapan itu, bahkan memerintahkan kasus tersebut diusut secara tuntas. "Hukum harus bertindak," katanya, "Dan saya tidak takut."
Justru kegembiraan Presiden itulah yang mencurigakan.
Johan Budi S.P., Upiek Supriyatun (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo