Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wawancara

Barnabas Suebu: "Mereka Hanya Ingin M (Merdeka)"

22 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI Wamena, di jantung provinsi Irianjaya, dua pekan silam, 40 orang tewas. Sebagian tertusuk panah, sebagian terhunjam lembing.

Mereka adalah korban puncak kemarahan warga Papua terhadap "Jakarta" yang tersulut kala polisi melarang pengibaran bendera Bintang Kejora. Padahal, sebelumnya, Presiden Abdurrahman Wahid mengizinkan panji "perjuangan kemerdekaan Papua" itu dikerek.

Tewasnya ke-40 warga Wamena itu, tak pelak lagi, menambah beban Barnabas Suebu, Duta Besar RI untuk Meksiko yang kini ditugasi Presiden Abdurrahman Wahid sebagai penengah dialog antara pemerintah dan kelompok pendukung kemerdekaan Papua. Pria kelahiran Ifale—pulau kecil di tengah Danau Sentani, Irian— 54 tahun silam ini dinilai bisa diterima kedua belah pihak.

Bas --begitu ia biasa disapa -- meniti karir politik sejak muda, lewat organisasi Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI). Karir politik Bas terus menanjak hingga menjadi Ketua DPRD I Irianjaya. Selain berpolitik, Bas dikenal sebagai pengusaha. Ia pernah mengetuai Kamar Dagang dan Industri Irianjaya.

Ketika menjadi Gubernur Irianjaya (1988-1993), lulusan Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih ini mampu memimpin Irian hampir tanpa gejolak. "Saya sering berkunjung ke daerah-daerah," katanya.

Meski demikian, suatu ketika Bas pernah hampir mati ditikam rakyatnya sendiri, seorang warga Wamena yang mengaku frustrasi karena sengketa tanahnya di Irian tak kunjung selesai. Belakangan, setelah memahami keputusasaan warganya itu, Bas meminta polisi melepas si penyerang. Bahkan ia memberinya uang. "Kini, ia sahabat baik saya," katanya tergelak. Berikut ini keterangan Barnabas Suebu tentang Irian, otonomi daerah, dan kekecewaan rakyat Papua terhadap Jakarta kepada wartawan TEMPO Edy Budiyarso dalam percakapan melalui hubungan internasional, Jumat pekan lalu.


Bagaimana Anda bisa ditunjuk Presiden Wahid sebagai negosiator antara pemerintah dan Presidium Dewan Papua?

Setelah Kongres Rakyat Papua, Mei 2000 lalu, Presiden Wahid menunjuk beberapa orang sebagai negosiator. Yakni, Izaac Hindom (bekas Gubernur Irianjaya), Manuel Kaisiepo (Menteri Muda Urusan Percepatan Pembangunan Kawasan Timur), Agus Kafiar (mantan Rektor Universitas Cenderawasih), Simon Morin (anggota DPR RI), Pendeta Dr. Chil Perari (Persekutuan Gereja Indonesia), dan Prof. Dr. Nazarudin Syamsudin (Universitas Indonesia). Tapi mereka ditolak Presidium Dewan Papua. Lalu, Presiden memanggil saya, Izaac Hindom, dan Acub Zainal (ketiga-tiganya mantan gubernur). Tapi Pak Acub mengaku belum kuat karena baru selesai operasi. Sedangkan Pak Izaac menyatakan mundur karena sudah ditolak.

Apa alasan Presiden memilih Anda sebagai mediator?

Saya satu-satunya orang yang diterima kedua belah pihak.

Anda langsung menerima tawaran itu?

Saya berpikir cukup lama karena situasi Irian semakin panas. Saya merasa ingin berada di tengah-tengah rakyat yang mungkin dapat sedikit mengatasi masalah sekaligus mencegah sesuatu yang buruk terjadi.

Anda dekat dengan tokoh-tokoh Presidium?

Saya dan Theys Hiyo Eluai (Ketua Presidium) berasal dari Sentani, Jayapura. Kami ada hubungan keluarga. Ini faktor yang dapat membantu terciptanya dialog. Tapi saya tidak punya hubungan dengan tokoh-tokoh Papua Merdeka di luar negeri. Saya ingin bertemu mereka untuk mengetahui keinginan mereka.

Ketika Irian bergolak, Anda justru diangkat Presiden Habibie sebagai duta besar. Anda merasa disingkirkan?

Saya tidak tahu. Tapi, pada Februari 1999, 100 kepala suku Irian menghadap Habibie dan mengatakan orang Irian tidak ada yang menjadi menteri. Jabatan tertinggi hanya gubernur. Tidak lama, saya pun ditawari Menteri Sekretaris Negara Akbar Tandjung sebagai duta besar. Jangan-jangan karena omongan itu saya diangkat menjadi duta besar.

Ketika Anda menjadi gubernur, kondisi Irian relatif stabil, ya?

Waktu itu, kedamaian relatif lebih terasa, karena saya selalu bekerja sama dengan semua pemimpin daerah dan aparat keamanan. Saya sering pergi ke desa-desa untuk menanyai masyarakat apakah mereka merasa aman atau takut. Kalau takut, siapa yang mereka takutkan. Jika aparat mengatakan situasi aman tapi rakyatnya tidak tenang, itu berarti masih ada rasa takut.

Tapi serangan dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) kan sudah ada?

Itu terjadi di perbatasan Irianjaya dan Papua Nugini. Yakni, konflik senjata sporadis antara aparat dan gerombolan yang berasal dari hutan.

Menurut Anda, apa akar persoalan Irian itu sebenarnya?

Masalahnya komprehensif. Tapi, kalau disederhanakan, akarnya adalah ketidakadilan. Sewaktu menjadi gubernur, saya meminta kepada PT Freeport agar masyarakat Irian bisa memiliki saham di perusahaan itu melalui pemerintah daerah. Hal ini saya sampaikan kepada (bekas) Presiden Soeharto dan sejumlah menteri. Tapi mereka tidak memperhatikannya.

Freeport mengatakan telah membagi satu persen dari keuntungan setiap tahun?

Itu bisa diperoleh lewat perjuangan panjang dan terus-menerus.

Dalam soal Freeport, kabarnya, Anda sempat bentrok dengan pemerintah pusat?

Saya membicarakannya dengan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita. Perlu waktu lama untuk meyakinkannya. Konsesi satu persen keuntungan itu baru dapat tercapai ketika Ginandjar menjadi Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Itu pun setelah rakyat Papua menyerbu Freeport hingga perusahaan itu tutup selama beberapa hari. Akhirnya, disepakati, Freeport memberikan keuntungan satu persen per tahun dengan nilai sekitar US$ 5 juta. Lumayan untuk meningkatkan pendidikan dan kesehatan rakyat.

Apa alasan penolakan Ginandjar ketika itu?

Kata dia, pemberian keuntungan satu persen kepada rakyat Irian akan menjadi preseden bagi daerah lain. Ini jalan pikiran yang aneh. Bukankah kalau rakyat berontak, usaha Freeport justru akan berhenti?

Bagaimana tanggapan Soeharto?

Ada kata-katanya yang masih saya ingat dan membuat saya bingung. Katanya, Irian itu pusatnya daerah dan daerahnya pusat. Soal Freeport, dia cuma mengatakan jatah untuk daerah sudah dibagi-bagi.

Ketika menjadi gubernur, kabarnya, Anda pernah ribut dengan Soeharto?

Itu berkaitan dengan masalah hak pengusahaan hutan (HPH). Di Irianjaya, para pemegang HPH, selain menguasai hutan, juga merusak lingkungan. Semua kayu yang besar diambil, yang kecil dibuang. Hal yang sama terjadi di Biak. Padahal, Biak itu pulau karang tempat tanaman sulit sekali tumbuh. Ini yang membuat saya marah.

Selain Freeport dan HPH, ketidakadilan apa lagi yang Anda rasakan ketika memimpin Irian?

Kebijakan fiskal yang ada tidak adil buat Irian. Uang hasil pajak pertambangan lebih banyak lari ke pusat. Penghasilan pemerintah daerah diperoleh dari pajak motor, mobil, televisi, dan retribusi pasar. Bagi banyak provinsi di Jawa yang berpenduduk padat, pajak seperti ini memberikan banyak uang. Tapi, di Irian, berapa jumlah mobil, motor, radio, dan televisi?

Hal lain?

Misalnya pengadilan atas kasus tanah. Sering kali hingga sampai di Mahkamah Agung, konflik tanah dimenangi pemerintah, misalnya dalam kasus Hanok Obe Ohe, yang kontroversial. Di MA, Hanok sempat menang. Tapi, belakangan, Ketua MA membatalkan putusan itu, sehingga memicu demonstrasi besar. Padahal, MA adalah benteng terakhir untuk memperoleh keadilan—sebelum orang akhirnya meminta keadilan kepada Tuhan. Ketika menjadi gubernur, saya merasakan hal ini sebagai bagian dari kekerasan negara terhadap masyarakat. Hal ini terjadi di Tanah Kampung Harapan, Jayapura. Juga di Biak ketika masyarakat terlibat konflik dengan Angkatan Laut.

Situasinya seperti api dalam sekam, ya?

Benar. Reformasi itu membuka tutup sekam dan menghasilkan banyak asap. Tapi, yang menjadi masalah, banyak orang yang sampai hari ini masih mempermasalahkan asapnya saja.

Pengibaran bendera Bintang Kejora baru lalu juga Anda anggap sebagai asap?

Bendera dan lagu cuma asap karena keduanya adalah simbol. Apinya adalah ketidakadilan tadi. Melarang pengibaran bendera cuma mengusir asap. Artinya, hanya menunda persoalan, bukan menyelesaikannya.

Jika keadilan bisa diwujudkan, Anda yakin Orang Papua tetap mau menjadi bagian dari Indonesia?

Yang penting, rakyat Papua harus merasa diperlakukan sama, sederajat, dan adil. Jika rasa kebersamaan itu tidak ada, mereka akan merasa sebagai orang lain. Sejarah telah menunjukkan, akibat penjajahan Belanda, kita merasa senasib dan sepenanggungan serta memiliki keinginan bersama untuk menjadi satu bangsa. Proses ini berlanjut hingga era Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969. Tapi perkembangan selanjutnya ternyata lain, sehingga muncul pertanyaan untuk apa kita bersatu. Dulu sama-sama menderita dalam penjajahan. Tapi, setelah merdeka, yang satu senang, yang satu susah.

Papua berkeras untuk merdeka, tapi Jakarta menolak. Lalu, bagaimana negosiasi bisa dilakukan?

Kongres Papua menginginkan perjuangan mereka berjalan damai. Presiden pun membuka diri untuk dialog. Dialog kerap buntu karena masing-masing berkeras pada pendiriannya. Presidium Dewan Papua hanya ingin merdeka dan pemerintah meminta otonomi khusus. Sekarang ini sedang dicari formulasi yang memungkinkan tercapainya win-win solution. Saya rasa nilai-nilai perjuangan yang diinginkan rakyat Papua itu bisa dicapai melalui otonomi khusus. Sebab, otonomi khusus berarti dipegangnya hak-hak dasar dan kekuasaan oleh daerah.

Sejauh mana pemahaman rakyat Irian terhadap ide otonomi?

Mereka tidak menerima otonomi. Mereka hanya ingin M atau merdeka. Saya katakan otonomi dan merdeka itu adalah dua hal yang berhubungan satu sama lain. Otonomi adalah bagian dari kemerdekaan yang mereka perjuangkan. Kesulitan muncul karena ada perbedaan persepsi, wawasan, pengalaman, dan tingkat pendidikan. Apa yang saya jelaskan tidak mudah untuk diterima, apalagi disetujui.

Lalu, bagaimana sosialisasi otonomi itu dilakukan?

Itu tugas Presidium Dewan Papua. Kesulitannya, sosialisasi itu harus dilakukan saat masyarakat sangat menghendaki kemerdekaan. Jadi, Presidium Dewan Papua takut dinilai mengendur semangatnya jika memberikan pengertian tentang otonomi khusus kepada rakyat. Rakyat memang sudah merasa alergi dengan huruf O atau otonomi.

Elite Presidium sendiri kompak dalam melihat tawaran otonomi khusus?

Tidak juga. Pandangan mereka beraneka ragam.Tapi, yang penting, suasananya sudah tidak lagi emosional.

Jika dilakukan jajak pendapat, rakyat Irian akan memilih otonomi atau merdeka?

Berdasarkan pengamatan ketika ke Jayapura, saya memprediksikan pilihan merdeka itu lebih kuat. Jadi, masalahnya serius.

Dalam negosiasi yang Anda lakukan, apakah ada tawaran jabatan tertentu kepada tokoh Presidium Dewan Papua?

Tidak ada deal-deal seperti itu. Mereka juga tidak mau membicarakan masalah itu karena takut dianggap hanya memperjuangkan kepentingan pribadi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus