Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARYAWAN gerai cakram padat (CD) di lantai 1 Sarinah itu ingat. Suatu hari, pada 2005, ada petugas bagian pemeliharaan gedung yang akan mengecek blower penyejuk udara (AC) dan panel listrik Sarinah. Ini pekerjaan rutin petugas maintenance. Ruangan tempat instalasi panel listrik tersebut persis bersebelahan dengan tembok belakang toko musik tempat dia bekerja saat itu, yang letaknya di sisi kanan belakang restoran McDonald’s.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk masuk ke ruangan itu, petugas maintenance harus melalui pintu di belakang gerai tersebut. Pintu itu sehari-hari dikunci. Hanya petugas yang bisa masuk. Junanto—sebut saja begitu namanya—ingat, karena terdorong rasa ingin tahu, ia meminta izin kepada petugas itu untuk ikut masuk. “Saya kaget ketika melihat di salah satu bagian dinding ruangan itu terdapat relief patung berukuran besar dan tinggi. Patungnya gede-gede banget. Tingginya lebih dari 2 meter,” ucapnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Junanto mengungkapkan, saat itu ia menduga relief tersebut bagian dari hiasan pusat belanja Sarinah lama. Junanto mengatakan bukan hanya dia yang tahu tentang relief itu, tapi juga rekan-rekan kerjanya. Gandung—bukan nama sebenarnya—salah satunya. Seperti Junanto, karena penasaran setelah mendengar cerita temannya, lelaki yang bekerja di Sarinah sejak 2011 itu meminta izin ikut masuk bersama petugas pemeliharaan gedung. “Ukurannya besar-besar banget dan tinggi-tinggi. Biasanya kan kalau patung yang gede begitu adanya di halaman atau taman,” tuturnya.
Baik Junanto maupun Gandung memperkirakan bukan hanya mereka dan kawan-kawannya yang tahu. Sekitar 2015, toko tempat mereka bekerja pindah ke sudut lain Sarinah. Tempat lama diisi gerai sepatu dan pakaian. Bukan tidak mungkin karyawan gerai baru itu juga mengetahui keberadaan patung tersebut. Bahkan bisa jadi pegawai gerai lama, sebelum toko musik itu bertempat di belakang McDonald’s, pun tahu.
Betapapun beberapa karyawan Sarinah dan petugas pemeliharaan sudah lama mengerti akan keberadaan relief berukuran 3 x 12 meter itu, kabar tentang temuan tersebut baru meledak pada awal Januari 2021. Sarinah ditutup pada Mei-Juni 2020 karena renovasi. Para pekerja kemudian diberitakan “menemukan” patung era Sukarno di ruang tersembunyi. Pada Oktober tahun lalu, manajemen baru Sarinah sudah mengundang Tim Ahli Cagar Budaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memeriksa “relief misterius” tersebut. “Ruang tempat relief patung itu kemungkinan besar sebelumnya ruangan besar Sarinah yang disekat menjadi keperluan ruang mechanical. Disekat dengan struktur bata tembok. Saya masuk ke situ agak sulit karena sela-sela untuk masuk hanya 50-60 sentimeter (lebarnya),” kata Candrian Attahiyat, anggota Tim Ahli Cagar Budaya.
Lukisan Koesnan yang berjudul Kehidupan di Bali, menggunakan cat minyak di atas kanvas, pada 1960-an. Koleksi Istana Kepresidenan RI/Mikke Susanto
Relief itu memang lain daripada yang lain. Wujud beberapa relief timbul secara tiga dimensional sehingga seperti patung yang menempel di dinding dan bisa dilihat dari samping. Relief itu menampilkan potret kerakyatan: petani bertelanjang dada mengenakan caping dengan otot-otot kekar memikul barang; perempuan berkebaya membawa keranjang, menyunggi tampah, dan sebagainya; serta kerbau-kerbau. Relief itu berbahan semen. Segera timbul pertanyaan: apakah relief itu berasal dari zaman Sukarno yang mengalami “desukarnoisasi” di era Orde Baru, dibuang karena penampilannya cenderung “kekiri-kirian”? Ataukah memang relief itu disingkirkan oleh pihak Sarinah sendiri lantaran pada suatu waktu dianggap tidak sesuai dengan modernisasi Sarinah?
“Menurut informasi, pada 1966-an, relief itu diletakkan di bagian muka gedung Sarinah dan bisa dilihat publik. Tapi, karena pada 1984-1985 ada perkembangan bisnis Sarinah, terjadi perubahan layout sehingga posisi relief menjadi seperti sekarang,” ujar Fetty Kwartati, Direktur Utama Sarinah. Fetty tidak bisa menjelaskan lokasi persis relief itu dulu karena ia sendiri tak pernah melihatnya langsung dan Sarinah sama sekali tidak memiliki arsip foto atau data lain mengenai relief tersebut. “Seluruh arsip Sarinah sebelum 1980-an ikut musnah saat Sarinah terbakar pada 1984,” ucapnya.
•••
PENELUSURAN atas kemungkinan tentang siapa pembuat relief itu dan di mana posisi tepatnya dulu melahirkan berbagai versi analisis. “Saya mengarah ke anggota Pelukis Rakyat pembuatnya,” kata Yuke Ardiati. Sejak Oktober tahun lalu, arsitek tersebut diminta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melacak pembuat relief patung itu. Yuke dikenal sebagai ahli sejarah bangunan yang diprakarsai Sukarno. Adapun Pelukis Rakyat yang disebut Yuke adalah sanggar yang didirikan Hendra Gunawan dan Affandi pada 1947.
Anggota Pelukis Rakyat, seperti Edhi Sunarso, Trubus, Rustamadji, Djoni Trisno, dan Batara Lubis, memang dikenal banyak terlibat mengerjakan monumen publik pada zaman Sukarno. Edhi Sunarso (wafat pada 2016), misalnya, bersama teman-temannya di sanggar Pelukis Rakyat, adalah pembuat Monumen Selamat Datang di depan Hotel Indonesia dan Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, Jakarta. Ia juga menjadi koordinator pembuatan sejumlah diorama, termasuk di Monumen Nasional.
Lukisan Koesnan berjudul Keluarga Tani (A Farmer’s Family), 1962. Katalog Pameran Lukisan Koleksi Istana Kepresidenan RI
“Saya sudah lama mengenal Pak Edhi Sunarso. Saya ingat pada 2010 Pak Edhi pernah selayang bilang kepada saya bahwa dia punya relief di Sarinah. Saat itu saya tanya, ada tidak dokumentasinya? Pak Edhi menjawab tidak ada,” Yuke berkisah. Yuke lalu berusaha mencari keberadaan relief setiap kali datang ke Sarinah. Ia kemudian mendapat informasi bahwa di lantai 14 Sarinah dulu terdapat “night club”, Miraca Sky Club, yang terbakar pada 1984 dan di sana terdapat relief. Dari Dewi Motik, Yuke mendapat sebuah foto pengusaha itu saat muda di depan sebuah relief perempuan berbahan perunggu di Miraca pada 1968. “Saya jadi membandingkan gestur di gambar itu dengan karya Pak Edhi. Menurut saya, memang ada kesetaraan,” tuturnya.
Saat Kementerian Pendidikan meminta Yuke meneliti relief misterius di Sarinah yang baru ditemukan, ia segera teringat pada Edhi. “Saya pernah diberi segepok tulisan oleh Pak Edhi. Isinya semacam biografi dia. Di situ di antaranya dia bercerita, setelah patung Pembebasan selesai, ia dipanggil membantu merampungkan diorama Monas. Nah, dalam tulisannya itu, Pak Edhi menyebutkan anggota tim diorama sebelumnya menginap di Sarinah. Apakah ada di antara mereka yang mengerjakan relief Sarinah? Bisa ya, bisa tidak,” ujar Yuke.
Persoalannya, putri Edhi Sunarso, Titiana Irawati, 59 tahun, tidak pernah mendengar dari bapaknya perihal relief di Sarinah. “Enggak pernah. Saat saya dewasa diajak Bapak jalan-jalan ke Jakarta melihat semua karya Bapak, patung Selamat Datang, Pembebasan Irian Barat, Dirgantara, diorama Monas, Satriamandala, Lubang Buaya, tapi tak mampir ke Sarinah,” ucapnya. Menurut Titiana, Edhi adalah pematung yang pertama kali membikin patung berbahan perunggu. “Kalau relief itu dari perunggu, mungkin ada campur tangan Bapak.” Adapun menurut keterangan Yuke, relief itu berbahan semen dan terdapat anyaman kawat untuk konstruksi rangka patung.
Asisten Edhi Sunarso, Mon Mudjiman, 79 tahun, yang tergabung dalam kelompok pematung Keluarga Artja—pematung yang selalu membantu Edhi melaksanakan proyek-proyeknya—juga sama sekali tak pernah mendapat informasi bahwa Edhi membuat relief di Sarinah. “Tahun 1962 saya terlibat dalam tim Pak Edhi menggarap sudut empat Monas. Bung Karno meminta empat sudut tersebut diberi patung. Patung itu memang tak jadi dipasang. Namun saya sempat satu tahun tinggal di barak Monas. Selama itu, saya sama sekali tak mendengar soal relief Sarinah,” katanya.
Patung Woman Gymnast karya Manizer. russianartdealer.com
Menurut Mon, pada 1966, Edhi juga diminta menyelesaikan diorama Monas. Semula yang menjadi koordinator pelaksana lapangan pembuatan diorama adalah pematung Saptoto. Krunya berasal dari banyak sanggar. Namun, seusai peristiwa 1965, pekerjaan terpaksa dihentikan. Edhi sebagai bagian dari tim baru diminta melanjutkan penggarapan adegan diorama yang belum selesai. “Sebagian tim Pak Toto lalu masuk ke tim Pak Edhi,” tuturnya. Mon mengaku tahu sebelumnya tim Saptoto memang menginap di kawasan Sarinah. “Jadi bukan di lantai bawah Sarinah, tapi di gedung belakang Sarinah yang kemudian menjadi Gedung Sensor Film. Di situ sebelumnya Pak Saptoto melakukan studi diorama.”
Selama terlibat dalam pembuatan diorama itu, Mon juga tak mendengar sama sekali kabar tentang pembuatan relief di Sarinah. “Kan, biasanya kami dengar isu, dari mulut ke mulut,” ujarnya. Sejauh amatannya terhadap relief di Sarinah dari foto yang beredar, Mon juga tak menganggap itu karya Edhi Sunarso. “Pak Edhi selalu bekerja dengan pakem-pakem didikan ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia). Saya tahu persis itu. Menurut saya, relief di Sarinah tersebut bergaya freelance. Itu dibuat tim seniman yang tak berpakem. Gayanya bebas.”
Suasana dalam restoran New Miraca di Jakarta. TEMPO/Ed Zoelverdi
Titiana Irawati menambahkan, bapaknya selalu bekerja berdasarkan riset, dan riset itu selalu ada dalam arsip. “Misalnya Bapak bikin diorama Perang Diponegoro, dilacak sama Bapak. Pertempurannya di mana, tebingnya seperti apa, gunungnya seperti apa, lembahnya, itu di-sketch. Dibuat desain, baru dibuat dioramanya. Jadi tidak asal-asalan. Dan semua ada catatannya. Tapi tak ada catatan Bapak tentang relief Sarinah.”
•••
TAK banyak orang yang pernah melihat lokasi persis relief itu di Sarinah dulu. Tak banyak pula yang tahu apakah benar sejak 1960-an sampai 1980-an, sebelum Sarinah mengalami perubahan layout besar-besaran karena terbakar, relief itu masih bisa disaksikan orang. “Pada 1966, beberapa minggu seusai peresmian Sarinah, umur saya 19 tahun saat itu, saya datang ke Sarinah. Rasanya saya melihat relief itu,” kata Tossin Himawan, kolektor seni yang juga mantan Vice President PT Astra Honda Motor. “Saya ingat dari relief langsung ke tempat penjualan cita (kain gelondongan) tak usah naik eskalator.”
Rahandono W.S., dekorator, ahli taman, dan penyusun sejumlah buku pertamanan, juga ingat, saat mengunjungi Sarinah pada 1968, ia melihat relief itu. “Yang saya ingat jelas figur kerbau, petani, pohon-pohon dengan dekorasi khas Bali, bersusun ke atas,” ucapnya. Ia juga ingat relief itu dipasang di pintu masuk dari arah Jalan Thamrin. “Sejak dulu Sarinah ada tiga pintu masuk, dari arah Jalan Thamrin, Jalan Wahid Hasyim, dan Jalan Sunda. Dulu, kalau kita masuk dari pintu depan Jalan Thamrin, letak relief sejajar di sisi kiri. Satu sisi saja. Di depan relief itu ada display tanaman hias dan akuarium.” Rahandono menjelaskan, lobi Sarinah itu berada di lantai 2. Di bagian depan terdapat dak terbuka. “Jadi relief itu di dak terbuka gitu. Open air. Pada 1983, sebelum kebakaran, masih ada, kok, daknya. Dak itu berbentuk L, memanjang dari arah Wahid Hasyim ke Jalan Sunda. Kalau sekarang, saya rasa posisi relief itu di lantai Gerai Indosat.”
Menteri BUMN Erick Thohir meninjau lokasi penemuan relief di gedung Sarinah, Jakarta, 14 Januari lalu. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Perancang busana Sonny Muchlison juga mengaku pernah melihat relief itu. “Saya lihat pada 1982-1983. Waktu itu saya kerja untuk Batik Keris Menteng. Saya sering menggambar batik di tempat Harry Darsono di Jalan Kesehatan. Jadi saya kerap ke Sarinah. Tempat relief itu kalau enggak salah di lobi. Relief menempel ke dinding, ada sedikit tiga dimensinya, di depan relief ada taman-taman kecil,” ujarnya.
Sama dengan kesaksian Rahandono, Sonny menyatakan relief itu terlihat apabila orang masuk ke Sarinah dari pintu Thamrin. “Pas kita masuk, relief itu berada lurus di dinding belakangnya. Reliefnya dua kali ukuran manusia biasa. Kalau kita masuk dari Jalan Wahid Hasyim dan Jalan Sunda memang jarang ketemu. Sebab, kalau masuk dari pintu samping, orang langsung ketemu elevator.”
•••
BILA memang saat itu terpasang di dak—atau dinding luar lobi—artinya memang relief berbau kerakyatan tersebut dimaksudkan Sukarno untuk menjadi hiasan visual pertama saat pengunjung masuk dari pintu utama Sarinah. Lisya van Sorren, 54 tahun, putri Djoni Trisno, meski tidak memiliki data dan tak pernah mendapat cerita langsung dari orang tuanya, yakin pembuatan relief itu melibatkan ayahnya serta Trubus dan Rustamadji. “Bukan dibuat Edhi Sunarso. Tapi tak ada keraguan apa pun dari saya bahwa itu karya sanggar Pelukis Rakyat. Satu hal yang membuat saya yakin adalah wajah perempuan berkebaya di relief tersebut ada yang mirip wajah ibu saya, Tina Sutina,” katanya.
Tina Sutina, istri Djoni Trisno, dikenal sebagai model dalam pembuatan patung Selamat Datang yang berada di Bundaran Hotel Indonesia. “Ya. Modelnya ibu saya dan seniman Gambir Anom,” ucap Lisya. Tina pada masa itu dikenal sebagai aktris teater dan peragawati asal Yogyakarta. Tina lulusan Akademi Seni Drama dan Film. Tina juga merupakan atlet renang gaya dada 100 meter dan pernah mengikuti SEA Games pada 1960-an. “Ibu saya badannya bagus. Pinggangnya kecil. Dadanya montok banget. Keturunan Arab-Jawa. Rambutnya kruel-kruel. Semua alami,” ujar Lisya. Lisya menduga, saat menjadi model patung Selamat Datang, ibunya juga diminta menjadi model untuk relief di Sarinah. “Biasanya seniman kan wes, nganggo Tina wae (sudah, pakai Tina saja). Relief Sarinah itu saya kira satu paket dengan patung Selamat Datang. Ibu pernah cerita saat itu sering bolak-balik Yogyakarta-Jakarta. Sedangkan Bapak total tetap di Jakarta bersama teman-teman,” tuturnya.
Proses konservasi patung Tugu Tani di Jakarta, November 2013. Dok.TEMPO/Dian Triyuli Handoko
Menurut Lisya—dari risetnya—Rustamadji, Trubus, dan Djoni Trisno sering bersama dalam mengerjakan proyek. “Biasanya satu grup berlima. Pemimpin proyek Hendra Gunawan. Dia yang melobi Sukarno. Dia yang meng-handle segala macam hal, pengeluaran, pemasukan. Lalu yang membikin konsep dan mengkoordinasi seniman adalah Trubus, dan di dalam tim ada bapak saya, Rustamadji, dan teman lain,” katanya. Lisya menambahkan, dalam pembuatan relief, mereka menggunakan keahlian masing-masing. Ada yang khusus membuat sosok petani atau nelayan, ada pula yang mengerjakan lanskap langit. “Di Tugu Muda, Semarang, bapak saya pegang panel kelima, panel akhir seperti sayap. Bapak saya kerja sama dengan Rustamadji,” ucapnya.
Lisya, yang tinggal di Yogyakarta, ingin diundang Sarinah untuk dapat memastikan dugaannya lebih cermat. “Saya harus datang ke Sarinah. Saya harus melihat sendiri, menyentuh relief tersebut, agar makin yakin ada keterlibatan Trubus, bapak saya, dan Rustamadji.” Menurut Lisya, biasanya Trubus piawai dalam membuat dedaunan dan bunga. Adapun Rustamadji kuat dalam membikin wajah. Sedangkan Djoni Trisno jago dalam soal gerak torso yang membikin sosok hidup. “Bapak saya itu kalau rapat Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) suka menyanyi bertiga dengan Batara Lubis dan Rahmat Samson. Trio ini ngetop banget zamannya rapat-rapat Lekra.”
Betapapun Lisya demikian yakin, anak Rustamadji dan Trubus tak berani memastikan bahwa ayah mereka terlibat dalam pembuatan relief di Sarinah. “Pada tahun-tahun itu memang Bapak tinggal di Jakarta. Tapi saya dan kakak saya tak pernah mendapat cerita dari bapak atau ibu saya tentang relief Sarinah,” tutur Karang Sasongko, putra Rustamadji. Begitu pula putri Trubus, Monica Sri Sudaryati, 69 tahun. Dalam foto relief tersebut, dia tak melihat sosok perempuan dan laki-laki di sana bertolak dari gambar ayahnya. “Kayaknya kok enggak. Saya hafal gambar dan goresan Bapak. Bapak kalau menggambarkan sosok manusia itu proposisinya betul-betul naturalis. Mirip sekali. Pernah melukis Bu Hartini Sukarno, rasanya lebih cantik dari beliau (sosok aslinya).”
Tina Sutina. Dok. Lisya van Sorren
Menurut Monica, Trubus adalah seniman yang membuat maket Monumen Selamat Datang. “Bikinnya di belakang rumah Bapak di Karangwuni (Dusun Karangwuni, Desa Condongcatur, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, berdekatan dengan rumah Edhi Sunarso). Saya ingat, sekitar 1962, saat patung masih setengah jadi, Bung Karno dengan tim dari Istana datang meninjau ke Karangwuni.” Monica juga ingat, saat bapaknya diminta Bung Karno membuat patung di Istana Bogor (patung Si Dhenok, Putri Kodok, dan Penjaga), semua anggota keluarga diboyong ke Bogor. “Waktu itu saya kelas II sekolah dasar. Dua bulan kami sekeluarga tinggal di mes karyawan di Istana Bogor,” ujarnya. Ia selama ini tak pernah mendapat informasi bahwa bapaknya terlibat dalam pengerjaan relief di Sarinah. “Kalau Pak Trubus tinggal ikut natah-nya saja mungkin bisa terjadi. Tapi, menurut saya, relief Sarinah itu dibuat tidak berdasarkan sketsa Trubus.”
Pelukis anggota Sanggar Bumi Tarung, yang berafiliasi dengan Lekra, Djoko Pekik, 84 tahun, juga sama sekali tak berpikir bahwa pembuat relief di Sarinah adalah Djoni Trisno atau Trubus saat melihat foto-fotonya. “Bukan. Ciri mereka enggak ada di sana. Modelnya juga bukan istri Djoni Trisno. Memang istri Djoni cantik sekali, tapi bukan dia,” katanya. Menurut Pekik, ekspresi relief memang menggambarkan ekspresi politik Bung Karno pada masa itu. “Tapi, perasaan saya, lihat bentuk kayak gitu, yang membuat tampaknya bukan seniman yang sudah punya nama. Sebab, kasar bikinannya, dari semen langsung. Mungkin yang perempuan pakai model. Tapi yang laki-laki tidak.”
Pekik bercerita, pada 1960-an, banyak sekali seniman Yogyakarta yang pro-Sukarno mendapat proyek di Jakarta. “Tiap 17 Agustus di Jakarta kan ada pawai kemerdekaan di depan Istana, karnaval di hadapan Bung Karno. Proyek menghias mobil dan etalase saat itu duitnya besar. Seniman dari Yogyakarta, dosen-dosen ASRI, juga makanya datang ikut cari makan,” tuturnya. Pekik juga saat itu datang ke Jakarta. “Saya Lekra waktu itu. Orang-orang Lekra diminta Bung Karno menghias Jakarta kalau ada kepala negara asing datang. Bikin dekorasi, poster meriah, biar rakyat tahu ada tamu negara.” Pekik ingat, pada 1965, ia tinggal bersama sejumlah seniman lain Lekra di Gedung Pendidikan dan Kebudayaan, Jalan RA Kartini Nomor 10, Gunung Sahari, Jakarta, untuk membuat dekorasi kota. Pekik menduga pembuat relief di Sarinah bukan seniman sekelas Trubus ataupun Djoni Trisno. Sebab, jika mereka yang menggarap, pasti Pekik dan teman-temannya di Lekra mendengar.
Bagian dari relief yang ditemukan di gedung Sarinah, Jakarta, 14 Januari lalu. ANTARA/Dhemas Reviyanto
Anggota lain Bumi Tarung, Misbach Thamrin, 80 tahun, saat melihat foto relief di Sarinah, juga tak yakin itu garapan Edhi Sunarso, Djoni Trisno, atau Trubus. Misbach tidak pernah mengetahui ada perupa Lekra yang mengerjakan relief di Sarinah. “Memang dulu saya pernah dengar ada anak buah Pak Edhi Sunarso dan Trubus, mahasiswa-mahasiswa ASRI, yang membantu pengerjaan patung dan diorama di Jakarta mengerjakan order sampingan.” Menurut Misbach, mereka antara lain Jan Mingkit dan Budiani. Keduanya pematung.
Di Istana Bogor, sebuah patung perunggu lelaki tua karya Jan Mingkit terlihat menjadi bagian dari koleksi Sukarno. Wajah lelaki tersebut menderita dengan posisi berjongkok. Patung itu diletakkan tepat di depan gedung induk. Adapun Budiani pernah dikirim ke Jepang oleh Bung Karno pada 1962-1964 untuk mempelajari boneka modern di Sakurakai Doll Making School, Tokyo. “Setelah melihat foto-foto patung Sarinah itu, anatominya jelas bukan gaya Jan Mingkit atau Budiani. Malah saya kira juga bukan buatan anak-anak ASRI lain,” kata Misbach.
Akan halnya pengamat seni rupa, Agus Dermawan T., mengatakan, siapa pun pembuat relief di Sarinah, bisa jadi ia sangat terpengaruh Tugu Tani yang dibikin pematung Rusia, Matvey Manizer dan Ossip Manizer. “Gaya atau style petani bercaping dengan lengan kekar itu malah cenderung serupa dengan lengan kekar patung Tugu Tani,” ujarnya. Menurut Agus, Istana memiliki dua koleksi patung wanita buatan mereka. “Bentuk oval dan kelembutan kedua wajah perempuan itu mirip dengan wajah relief perempuan Sarinah.” Agus tertarik mengamati bagaimana relief di Sarinah itu memiliki gaya tiga dimensional. “Setahu saya, ini tak lazim, karena kebanyakan relief kita datar dan dekoratif.”
Agus menambahkan, bentuk relief tiga dimensional semacam itu sangat umum di Rusia. “Saya saksikan langsung di St. Petersburg, banyak relief bergaya tiga dimensional di bangunan publik,” ucapnya. Bisa jadi Sukarno, atau siapa pun yang mengorder pembuatan relief di Sarinah, menginginkan gaya seperti itu. Tapi dugaan bahwa Matvey dan Ossip Manizer pembuatnya, menurut Agus, kurang beralasan. “Sebab, belum pernah ada data Manizer membuat patung di Indonesia. Patung Tugu Tani dibuat Manizer di studionya di Moskow, setelah selesai dibawa ke Jakarta.” Betapapun demikian, Agus pernah mendengar kabar bahwa mereka cukup lama mengunjungi Jakarta pada 1962. “Waktu di Ancol saya sering ketemu Pak Harijadi Sumodidjojo. Samar-samar dia bercerita bahwa dulu ia memiliki studio di belakang Hotel Indonesia. Di situ Harijadi suka menerima tamu pematung asing, termasuk Manizer bersaudara itu.”
•••
HARIJADI Sumodidjojo memang salah satu seniman yang diduga berada di belakang pembuatan relief di Sarinah. Harijadi pembuat relief terkenal. Ia tergabung dalam Sanggar Seniman Masyarakat dan Seniman Indonesia Muda di Yogyakarta pada 1946. Pada 1957, bersama Sudjojono dan Surono, ia membuat relief di Ruang VIP Bandar Udara Kemayoran, Jakarta. Relief Harijadi berjudul Flora dan Fauna di Indonesia. Pada 1958, Harijadi mendirikan Sanggar Selobinangun di Yogyakarta. Bersama Selobinangun, pada 1958-1959, Harijadi membuat relief di Ruang VIP Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, berjudul Bandung Bondowoso. Setelah itu, pada 1964, ia membuat relief Pesta Pura di Bali di Hotel Indonesia. Pada 1965, Harijadi merampungkan karya relief batu granit di Ambarukmo Palace Hotel, Yogyakarta, bertema Untung Rugi di Lereng Merapi dan di Samudra Beach Hotel, Sukabumi, Jawa Barat, berjudul Ombak Sepanjang Pantai. Harijadi-lah yang bersama pematung Saptoto dikirim Sukarno ke Meksiko untuk mempelajari diorama dan mural buat keperluan diorama Monas. Namun, setelah Harijadi-Saptoto pulang dari Meksiko, pembuatan diorama Monas oleh tim mereka dihentikan karena peristiwa 1965, dilanjutkan oleh tim Edhi Sunarso.
Patung petani yang terdapat di relief yang ditemukan di Sarinah, Jakarta. Dok.Kemendikbud
“Kalau Pelukis Rakyat bukan, Lekra bukan, Harijadi bukan, masak, seniman-seniman Manikebu (sebutan untuk Manifesto Kebudayaan)?” kata Tedja Bayu, putra sulung Sudjojono. Salah satu yang dekat dengan Harijadi sesungguhnya adalah budayawan Adjie Damais, 78 tahun. Selaku penasihat sejarah dalam proyek pemugaran bangunan tua Jakarta, pada 1974, zaman Gubernur Ali Sadikin, dia pernah mendampingi saat Harijadi membuat mural bertema Batavia di Museum Fatahillah. Mural itu tidak selesai karena pembuatannya dihentikan pada 1975. Sayangnya, putra arkeolog Louis-Charles Damais itu terserang stroke dan tak ingat apa-apa lagi. Adik Adji, Asmoro Damais, 73 tahun, kolektor batik, juga sakit dan sulit berbicara. Rumah Asmoro dulu amat dekat dengan Sarinah, yaitu di Jalan Sunda Nomor 5A. Bisa dipastikan pula Asmoro kerap ke Sarinah pada 1960-an. Ketika Tempo meminta putri Asmoro, Ade Zelda, menunjukkan foto relief di Sarinah kepada ibunya, sang ayah, menurut Zelda, segera bergegas ke lemari dan mengambil mug bergambar Harijadi sambil menunjuk-nunjuk gambar Harijadi. Mug itu dulu dibuat untuk memperingati setahun kematian Harijadi.
Tapi anak-anak Harijadi langsung membantah bila ada pengamat yang mengaitkan relief itu dengan Harijadi. “Saya sudah pernah melihat relief Sarinah itu waktu kecil. Saya kelahiran 1952. Kalau ada yang bilang bahwa relief di Sarinah itu dibuat oleh Harijadi S., saya bantah karena saya tidak menyaksikan ayah kami mengerjakan itu,” tutur Santu Wirono, putra Harijadi. Menurut Santu, pada karya ayahnya selalu terdapat prasasti. “Relief beton pertama di Indonesia di VIP Room Kemayoran Airport yang dibuat oleh ayah saya, Sudjojono, dan Surono itu terdapat prasasti seperti tanda tangan. Prasasti adalah dokumen dan pertanggungjawaban artistik seorang pematung. Relief batu lain yang dikerjakan Harijadi di hotel-hotel juga dipertanggungjawabkan dalam prasasti. Sedangkan relief di Sarinah tanpa prasasti,” ujarnya.
Buku Andesit untuk Bangsa yang ditulis Ireng Laras Sari, putri Harijadi, juga sama sekali tak menyebutkan Harijadi membuat relief di Sarinah. Buku itu secara lengkap mengisahkan rupa-rupa bagaimana relief Harijadi di Bandara Kemayoran pada zaman Orde Baru ditutupi tripleks, dan menjadi tempat instalasi listrik. Juga bagaimana relief Harijadi di Bandara Adisutjipto dihancurkan pada 2006 karena perluasan bandara. Buku itu bercerita pula bahwa Harijadi menggarap relief di Bali Beach Hotel, Sanur, bertema “Indonesia yang akan Tatang” pada 1960-an. Tapi, setelah Sukarno ditahan, pengerjaan relief yang sudah berjalan sekitar 10 persen berhenti. “Tak ada bukti bahwa ayah saya membuat relief di Sarinah. Saya telepon Mas Woto (Sudarwoto), anak pelukis Sudarso (anggota Pelukis Rakyat, sahabat Harijadi), Mas Woto malah bilang itu gaya Bandung, ada sedikit elemen kubistik,” ucap Santu.
•••
JEJAK gaya Bandung itu juga dilihat oleh Mikke Sutanto, pengamat seni rupa. “Ada pemanjangan anatomi di relief Sarinah. Ukuran anatominya masih benar, tapi mengalami stilisasi,” kata Mikke. Menurut dosen seni rupa Institut Seni Indonesia Yogyakarta itu, jelas gaya tersebut sangat berbeda dengan gaya relief Harijadi Sumodidjojo atau patung Edhi Sunarso. “Pak Harijadi dan Pak Edhi sangat perfect untuk soal anatomi. Sangat presisi. Anatominya pas. Sedangkan perempuan-perempuan pada relief Sarinah saya lihat kaku, enggak feminin, kayak laki-laki, bule banget. Itu tak seperti (patung) perempuan-perempuan Pak Edhi.”
Mikke melihat pemanjangan tubuh merupakan kunci pada relief di Sarinah. “Saya pikir Trubus disilang saja, Edhi Sunarso disilang, Harijadi disilang. Kalau Djoni Trisno enggak yakin, sih. Jauh dengan karyanya yang ada di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY. Saya curiga (dalam pembuatan relief di Sarinah) ini ada keterlibatan seniman Bandung,” Mikke menambahkan.
Pengamat seni rupa, Amir Sidharta, sepakat dengan Mikke tentang pemanjangan tubuh pada relief di Sarinah. “Ada ‘elongasi’ tubuh. Dan ini sama sekali bukan ciri karya Pelukis Rakyat atau Harijadi,” ujarnya. Amir lebih jauh mengidentifikasi adanya pendekatan kubistik dalam penampilan sosok pada relief di Sarinah. “Coba lihat cara menampilkan tangan, badan, dan wajah, bertolak dari pembagian bidang segitiga-segitiga kecil. Kalau dia melukis relief tumbuhan-tumbuhan juga beda.” Amir berpendapat, relief di Sarinah memiliki kemiripan dengan lukisan karya Koesnan dalam koleksi Istana Kepresidenan. Figur-figur dalam lukisan Koesnan terelongasi dan tubuhnya tersusun dari bidang-bidang kecil.
“Lihat garis di tangan di tangan perempuan ini, misalnya, elongasinya juga mirip. Lalu yang paling membuat saya teringat adalah cara Koesnan menumpuk-numpuk daun, ditumpuk-tumpuk seperti yang ada di relief Sarinah. Tapi itu cuma dugaan visual, ya,” kata Amir. Persoalannya, sama sekali tak diketahui siapa Koesnan. Menurut Amir, di Istana, terdapat tiga-empat lukisan Koesnan bertarikh 1960-an. Satu lukisan Koesnan pernah dipamerkan bersama koleksi lukisan lain Istana pada 2017 dalam pameran bertajuk “Senandung Ibu Pertiwi” di Galeri Nasional, Jakarta. “Koesnan tak pernah dibahas. Apakah dia dari Bandung, kita tidak tahu. Kita juga enggak mengerti selain melukis apakah dia mematung,” ucap Amir. Mikke menduga Koesnan berasal dari Bandung, tapi ia mengakui data tentang Koesnan nihil. “Koesnan itu sama sekali enggak ada data. Keluarganya tak terlacak. Cuma, lukisannya ada. Dia bukan pelukis Istana.”
Satu lagi hipotesis Amir adalah relief yang ditemukan di ruang instalasi listrik tersebut terkait dengan relief di Miraca Sky Club di lantai 14 Sarinah dulu yang habis terbakar dan setelah itu tutup. Dari foto Dewi Motik di depan relief di Miraca yang disebarkan Yuke Ardiati, Amir menduga gaya relief tersebut sama dengan relief di instalasi listrik. “Saya kira pembuatnya sama. Relief yang ada di bawah menyambung dengan relief di atas,” ujarnya. Namun Amir tak pernah masuk ke Miraca. Ia hanya melihat satu foto dari Yuke itu. Dokumentasi tentang Miraca pun, menurut dia, langka.
Tempo memiliki arsip foto Miraca pada 1971. Foto-foto itu memperlihatkan interior Miraca saat tempat hiburan malam tersebut kosong. Pemotretnya fotografer Tempo, (almarhum) Ed Zoelverdi. Dalam foto tersebut dapat dilihat dengan jelas bagaimana keseluruhan dinding Miraca. Dalam foto yang diperoleh Yuke, sosok di relief terlihat terpotong karena sudut pengambilan gambar tidak menangkap seluruhnya dan sebagian tertutup badan Dewi Motik. Sedangkan dalam foto jepretan Ed, sosoknya jelas terlihat, termasuk seberapa tingginya dan bagaimana posisinya di ruangan. Demikian juga relief lain apa yang terdapat di sampingnya.
Dalam foto Ed, interior Miraca terlihat dilengkapi sebuah panggung mirip podium rendah. Di panggung tersebut terdapat seperangkat gamelan lengkap dan tiang-tiang mikrofon. Jelas, sebagai bagian dari tempat hiburan malam, panggung itu digunakan untuk menyanyi atau menyajikan tari-tarian. Dari tengah panggung, terdapat sebuah jalan cukup lebar yang membelah ruangan, membagi kursi-meja di kanan-kiri. Posisi jalan itu terlihat sedikit lebih tinggi daripada kursi dan meja yang berdesain modern. Mungkin jalan itu semacam catwalk yang membuat penyanyi atau penari dari panggung bisa berjalan ke kanan-kiri pengunjung. “Di Miraca memang, selain tarian daerah, ada striptis. Saya dulu beberapa kali diminta pemerintah datang ke Miraca untuk menilai tarian striptis di sana, vulgar atau tidak. Bila vulgar akan dilarang,” kata penari senior Sentot Sudiharto. Pada 1960-an, Sentot adalah anggota staf direktorat seni yang kantornya berada di belakang Sarinah.
Marilah kita perhatikan sosok relief patung perempuan di dinding Miraca. Jelas sosok relief itu bisa disebut relief patung tiga dimensi. Sosok perempuan itu bersimpuh di sebuah altar atau nampan segitiga. Nampan tersebut menonjol keluar dari dinding sehingga perempuan dengan kaki terlipat ke belakang dan posisi tubuhnya agak miring itu seolah-olah “ditonjolkan” ke pengunjung. Posisi relief perempuan tiga dimensi tersebut agak di tengah-tengah dinding. Wajahnya cenderung kebarat-baratan. Tangannya lentik dan panjang. Di sebelah kirinya terdapat cawan berisi buah-buahan. Sedangkan di sebelah kanan terdapat keranjang atau bakul yang juga berisi buah. Di depan perempuan itu ada sebuah kendi. Baju yang dikenakan bukan kebaya, tapi seperti kain. Di pundaknya terselempang selendang ke bawah. Kesan modern dan modis terlihat pada dandanannya.
Sosok perempuan itu satu-satunya sosok manusia di dinding Miraca. Agaknya, sosok itu merupakan ikon Miraca. Dari sebuah foto di Iphos pada 1968 yang mengabadikan penandatanganan kerja sama ekonomi Indonesia-Filipina di Miraca, terlihat meja para pembicara diletakkan tepat di depan relief patung perempuan itu. Para pejabat duduk sejajar dengan segitiga penyangga patung. Ada hal menarik bila kita mengamati dinding di sebelah kanan patung yang menuju panggung. Dinding panjang itu diisi relief bermotif tumbuhan. Jajaran flora bertumpuk dan memanjang dari bawah ke atas. Bentuk dan penyusunan relief tumbuh-tumbuhan itu sekilas memang mengingatkan pada tetumbuhan dalam lukisan Koesnan ataupun relief di Sarinah.
Tapi, dari wawancara dengan Abdul Latief, Menteri Tenaga Kerja zaman Soeharto yang sejak muda ikut dalam perencanaan Sarinah, termasuk Miraca, Tempo mendapat info bahwa saat Miraca didirikan oleh sutradara Usmar Ismail, dindingnya berhias lukisan, bukan relief. “Tidak ada kaitan sama sekali antara relief di bawah dan desain di dinding Miraca. Kalau di atas khusus Usmar Ismail yang mengorder sendiri,” ucap Latief. Menurut Latief, kalaupun ada, relief mungkin itu tambahan desain setelah Miraca dilarang menjadi tempat judi.
Abdul menjelaskan, sesungguhnya Sukarno menghendaki dinding Sarinah penuh hiasan relief bertema kejayaan Indonesia pada masa silam. Namun semua itu tak bisa direalisasi karena Sukarno ingin pembangunan Sarinah segera diselesaikan. Satu hal yang menarik adalah Latief mengungkapkan bahwa pembuat relief Sarinah adalah gabungan seniman Yogyakarta dan Bandung, meski lebih banyak yang berasal dari Yogyakarta. Di titik ini, kemungkinan adanya seniman Bandung di antara seniman Yogyakarta yang membuat relief Sarinah menjadi terbuka untuk diperhitungkan.
Pekerjaan relief adalah pekerjaan tim. Adakah saat itu, agar relief cepat rampung, Sukarno, yang menginginkan pembuatan relief seperti relief tiga dimensi di Rusia, setelah memilih desain, menyerahkan penggarapannya kepada seniman Yogyakarta-Bandung? Lalu dalam kelompok seniman Yogyakarta-Bandung itu terdapat pembagian kerja. Pembuat relief Bandung membikin sosok perempuan, sementara seniman Yogyakarta menggarap figur kerbau, petani, dan sebagainya. Tentu ini masih spekulasi. Abdul sendiri mengaku melihat para seniman pembuat relief itu bekerja siang-malam. Mikke Susanto menduga Sukarno tak sempat meresmikan relief tersebut. Sebab, tak ditemukan informasi mengenai peresmiannya di arsip. Begitu juga di koran Harian Rakyat. “Terlihat relief itu belum selesai,” ujarnya. Perihal tak adanya rekaman nama pembuat relief itu di media, Djoko Pekik melihat mereka tidak punya nama besar. “Mungkin yang mengerjakan ya seniman-seniman yang cari proyek di Jakarta. Bukan seniman terkenal, tapi ya nglukis iso, matung iso, gawe relief iso (melukis bisa, membuat patung bisa, membuat relief bisa). Gawe taman yo iso. Gawe hiasan iso,” katanya.
Semua kemungkinan itu tentu harus diverifikasi sebelum grand launching Sarinah dilangsungkan pada November tahun ini. Relief itu, menurut Fetty Kwartati, Direktur Utama Sarinah, akan kembali diletakkan di tempat terhormat, di sisi muka Sarinah. “Maka restorasi relief itu sekarang menjadi penting. Sebab, siapa tahu saat restorasi ditemukan torehan nama atau semacamnya. Salah satu kaki relief Sarinah itu katanya sengaja ditutup semen. Mungkin itu bisa diangkat hati-hati dan diperiksa, adakah tertoreh nama. Juga di bagian dinding lain,” tutur Mikke Susanto.
SENO JOKO SUYONO, ISMA SAVITRI, MOYANG KASIH DEWIMERDEKA, NURDIN KALIM, PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo