Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
USIANYA kini 81 tahun. Tapi Abdul Latief, Menteri Tenaga Kerja (1993-1998) serta Menteri Pariwisata, Seni, dan Budaya (1998) era Soeharto, masih ingat jelas Sarinah pada 1966-1971. Ia generasi awal pegawai Sarinah. Ia pun terlibat aktif dalam penentuan kebijakan yang berkaitan dengan produk yang dijual di Sarinah. Umurnya sekitar 21 tahun saat itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo mengetahui Latief masih sehat. Dari seorang mantan duta besar, Tempo memperoleh nomor kontak ajudannya. Latief sehari-hari tinggal di Cisarua, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. “Bapak tengah berkebun,” kata ajudannya saat Tempo menghubungi. Tempo mengirimkan foto-foto relief patung di Sarinah yang beredar luas di media sosial kepada ajudan itu beserta serangkaian pertanyaan untuk disampaikan kepada Latief.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Maaf, saya sedang membangun kebun manggis di Cisarua dengan konsultan anak-anak ITB (Institut Teknologi Bandung). Menanam manggis di lahan 95 hektare. Itu menjadi kebun manggis yang katanya terbesar di dunia karena selama ini manggis tumbuh di kebun kecil rakyat, bukan di perkebunan besar,” tutur Latief saat tiba-tiba menelepon Tempo melalui ajudannya.
Kontak dengan Latief sempat terputus. Namun ternyata, selama dua-tiga hari saat kontak “terputus” itu, pada usianya yang sudah sepuh, Latief berusaha melacak kembali koleganya di Sarinah dulu yang masih hidup untuk menghimpun informasi tentang Sarinah pada 1960-an. “Pertanyaan-pertanyaan Tempo membuat saya mencari, mengumpulkan nama kolega saya di Sarinah dulu. Ternyata sudah banyak yang meninggal. Pada 1960-an, kolega saya banyak yang usianya sudah separuh baya, sementara saya waktu itu masih 21 tahun,” ucapnya.
Latief bahkan menyuruh ajudannya mengunjungi Sarinah, yang tengah direnovasi, dan melaporkan kepadanya situasi gedung itu sekarang. “Tahun 1971 saya sudah berhenti bekerja di Sarinah. Saya enggak tahu bagaimana Sarinah sekarang karena enggak pernah ke Sarinah lagi.”
Apakah Anda masih ingat relief patung di Sarinah yang fotonya kami kirimkan?
Iya, ingat.
Saat Sarinah dibuka pada 1966, apakah patung-patung tersebut bisa dilihat publik?
Bisa. Saya masuk kelompok pertama yang diterima masuk Sarinah pada 1962, tak lama setelah Bung Karno merencanakan pembangunan Sarinah. Pada tahun itu, ada dua kelompok yang disiapkan. Tim pertama kelompok yang menggarap pembangunan Gedung Sarinah, satu lagi menjalankan bisnis Sarinah. Nah, saya direkrut masuk ke tim yang disiapkan untuk menjalankan bisnis Sarinah.
Saya lulusan APP (Akademi Perindustrian Perusahaan), sekolah di bawah Departemen Perindustrian Rakyat ketika itu. Setelah masuk ke Sarinah pada akhir 1962, pada 1964 saya dan sekitar 50 orang dikirim ke Jepang untuk belajar. Pada 1967, saya ke luar negeri, lalu dikirim berkeliling Indonesia untuk mempelajari industri dalam negeri dengan tim Jepang. Dari hasil studi itu, kita tidak punya industri yang tumbuh dari bawah. Kemudian, dalam konsep kita, Gedung Sarinah nantinya harus menampilkan budaya Indonesia. Maka lalu muncullah patung, lukisan. Itu dimasukkan ke perencanaan gedung. Semula direncanakan ada unsur Borobudur, Prambanan, Bali. Tapi kemudian, karena target pembangunan Sarinah cepat, banyak yang tidak terealisasi.
Jadi di mana posisi relief patung itu pada 1966?
Dulu berada di lantai 2 bagian luar. Jadi dulu lobi Sarinah ada di lantai 2. Untuk masuk ke lobi, terdapat undak-undakan atau tangga. Undak-undakan itu dari arah Thamrin. Setelah naik undak-undakan itu, ada hall, lobi besar, masuk ke lantai 2. Nah, posisi patung itu berada di luar, bagian dari pintu masuk Sarinah. Dulu ada dua patung, kiri dan kanan.
Siapa yang membuatnya?
Seniman Yogyakarta dan Bandung. Tapi katanya dulu banyak dari Yogyakarta. Yang mengatur mereka tim pembangunan. Tapi Sukarno yang memilih sendiri para pematungnya. Bung Karno itu sangat detail. Salah satu arsiteknya sudah meninggal, insinyur dari Aceh. Lalu pemborongnya dari Jepang, Obayashi Corporation. Jadi tim pembangunan dan perencanaan sama-sama didampingi tim dari Jepang.
Dulu relief dikerjakan bersama-sama?
Iya, Bung Karno juga yang memilih tempatnya. Pematungnya, waduh, banyak. Kerja siang-malam mereka. Sampai menginap di sana kalau enggak salah.
Masih ingat nama salah satu pematungnya? Adakah nama Koesnan, Edhi Sunarso, Trubus, Harijadi?
Saya tidak tahu nama-nama pematungnya karena tidak terlibat dalam tim pembangunan, yang bertanggung jawab atas pengerjaan patung itu. Tapi, yang jelas, semua desain dan bentuknya dipilih oleh Bung Karno. Bahkan beliau yang memilih letaknya.
Apakah patung itu masih bisa dilihat sampai 1984, sebelum Sarinah terbakar?
Saya berhenti dari Sarinah pada 1971. Lalu, pada 1974, saya kembali dengan menyewa lantai 3 Sarinah. Saat itu patung masih ada. Setelah itu, saya enggak tahu lagi. Tapi kayaknya pada 1978-1979 masih bisa dilihat.
Apakah Anda tahu sejak kapan lokasi patung itu dijadikan ruang kelistrikan?
Saya tidak tahu. Sarinah kan rugi, enggak ada duit. Mungkin ruangan itu disewakan dan, demi efisiensi, penyewa memberi syarat dia mau menyewa apabila patung tersebut ditutup. Mungkin begitu. Dan manajemen baru mau saja. Mereka tidak peduli dengan patung. Kalau alasan penutupan betul begitu, itu cethek banget. Manajemen baru mungkin otaknya duit aja, yang penting enggak rugi. Saya juga enggak tahu siapa yang punya ide menjadikan tempat patung itu sebagai ruang kelistrikan.
Ada yang menduga patung itu disembunyikan karena alasan politis, terlalu lekat dengan sosok Sukarno.
Saya bantah. Tidak benar kalau Pak Harto disebut di balik penyembunyian patung itu. Saya kan ikut (menjadi menteri) zaman Pak Harto. Saya menyewa Sarinah pada 1974, dan yang membuka Ali Sadikin. Ali malah yang mengajak saya kembali ke Sarinah. Dulu, kalau lagi nganggur, dia sering ke lantai 3 Sarinah, mengobrol tentang bagaimana memajukan industri dalam negeri. Geng saya itu, Iwan Tirta, Peter Sie, Ali Sadikin, ngumpulnya di lantai 3, di Warung Betawi.
Menurut sumber kami, pada 1970-an juga terdapat relief di selasar menuju sebuah restoran di lobi. Apakah menurut Anda relief di area pintu masuk itu sama dengan yang berada di selasar?
Dulu di bawah ada restoran, ada relief. Nah, makanya saya mau melihat relief yang mana. Jangan-jangan ruang lobi luar di lantai 2 yang terbuka dikasih atap, lalu disewa, termasuk kemudian oleh McDonald’s. Jangan-jangan yang dulu hall itu sekarang selantai sama lantai atas McD.
Kalau soal Miraca Sky Club, Anda punya informasi?
Pada zaman saya di Sarinah, saya kan general manager, membawahkan penjualan produk industri dalam negeri. Waktu itu Miraca dipegang Pak Usmar Ismail. Fungsi Miraca mempromosikan tarian dan makanan Indonesia. Dan itu konsep Bung Karno. Jadi, kalau tamu luar negeri mau melihat tarian, musik, dan makanan khas Indonesia, bisa di Miraca Sky Club. Saya duduk dengan Pak Usmar menyusun konsep itu. Terus saya bilang kepada Pak Usman ingin membuat fashion show memakai pakaian Indonesia di sana, karya desainer Indonesia seperti Peter Sie, Iwan Tirta, banyak, lah. Nah, itu didukung Ali Sadikin. Pada awal 1967, saya membuat fashion show dan meminta Ali, yang waktu itu Gubernur DKI, membuka acaranya. Saya ingat waktu itu Iwan Tirta, Joop Ave, serta Kepala Dinas Pariwisata DKI Wim Tomasoa dan protokolnya hadir.
Bagaimana Miraca Sky Club di zaman Ali Sadikin?
Setelah memasuki Orde Baru, pada 1967, Sarinah enggak punya duit. Pemerintah tidak menyubsidi lagi. Ini berat. Ali Sadikin memikirkan cara mencari duit. Ia akhirnya membikin judi. Ali memanggil direksi Sarinah. Ia mengusulkan bagaimana kalau Sarinah membikin judi. Sarinah mendapat duit, bisa menutup cost-nya. Oleh Ali, sebagian hasilnya bisa digunakan untuk memperbaiki kampung dan membiayai pembangunan sekolah. Jadi judi itu ada di Miraca, juga lantai di bawahnya. Dua lantai itu disewa. Tapi oleh Pak Harto akhirnya Miraca ditutup karena judi dianggap memberikan dampak buruk.
Di Miraca Sky Club terdapat relief yang serupa dengan yang ada di hall Sarinah?
Enggak ada. Adanya lukisan. Tapi saya enggak tahu gimana nasib Miraca setelah dibongkar karena judi.
Tema lukisan berkaitan dengan relief di hall?
Enggak. Yang di hall itu bagian dari gedung, sebagai bentuk identitas budaya. Kalau yang di Miraca ya untuk Miraca saja.
Jadi lukisan di Miraca bukan bagian dari relief di hall?
Beda. Yang di Miraca itu yang bikin budayawan yang dicari oleh Pak Usmar Ismail. Itu hanya lukisan, bukan relief. Yang sering ke sana tamu-tamu luar negeri, suami-istri yang sopan. Lalu kalau di sana bisa joget Melayu Deli.
Menurut Anda, apakah perempuan di relief itu representasi sosok Sarinah?
Itu logo Sarinah. Dulu pembuatan desain logo Sarinah disayembarakan, lalu ada beberapa pemenang, kalau enggak salah sepuluh. Karya kesepuluh orang itu lalu diserahkan kepada Bung Karno untuk dipilih satu yang ia sempurnakan sebagai logo Sarinah. Campur tangannya sangat hebat.
ISMA SAVITRI, SENO JOKO SUYONO
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo