Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua tahun ini Jahrian tidak kembali ke Banjarmasin. Pengusaha batu bara lokal yang pernah berjaya di Kalimantan Selatan itu kini lebih sering berpindah-pindah rumah, jauh dari tanah kelahirannya. "Lebih sering di Batam atau Singapura," kata Muhammad Solikin, orang kepercayaannya, awal Juli lalu.
Kalau bos PT Sari Borneo Yufanda, perusahaan pemegang sejumlah kuasa pertambangan di Kalimantan ini, tak nyenyak tidur di rumahnya sendiri, itu wajar. Pada awal 2010, dia terlibat perseteruan dengan sesama pengusaha batu bara lokal terkenal di Banjarmasin. Buntutnya, Jahrian kini jadi tersangka dan terancam dibui.
Apa yang dialami Jahrian bukan kasus baru di Kalimantan. Para penggali batu bara di sana kerap bergesekan dan berseteru memperebutkan konsesi lahan. Mereka saling caplok seperti predator di alam liar. "Di dunia tambang batu bara Kalimantan memang berlaku hukum rimba. Siapa kuat, dia menang," kata Rizanie Anshari, Direktur Pusat Studi Antikorupsi di Kalimantan Selatan.
Untuk jadi saudagar batu bara memang tak perlu modal jumbo. Jika memiliki izin usaha pertambangan tapi tak punya lahan, Anda bisa menyewakan dokumen ke para penambang liar. "Biayanya Rp 175 ribu untuk setiap ton batu bara yang dikirim," kata Zainal Rusdi, jurnalis lokal di Kalimantan Selatan yang rajin mengamati isu pertambangan di Tanah Bumbu dan Kotabaru.
Kalau Anda hanya punya alat berat semacam ekskavator tapi tak punya lahan, juga tak jadi masalah. "Banyak yang lalu menggerogoti lahan konsesi milik perusahaan besar semacam Arutmin dan Adaro," kata Zainal. Perusahaan raksasa yang punya lahan ratusan ribu hektare biasanya diam saja kalau 1-2 hektare tanah mereka digali penambang liar.
Tak punya apa-apa sama sekali? Itu juga tak jadi soal. Bisa jadi calo, mencari pembeli untuk jutaan ton batu bara yang dikeruk tiap bulan. Karena itulah batu bara di Kalimantan Selatan bisa disebut sudah menggerojokkan fulus untuk banyak orang, termasuk batu bara yang didapat dengan cara menyimpang. "Polisi, pemerintah daerah, pemerintah pusat, semuanya seperti tutup mata," kata Zainal.
Karena itu, jangan heran jika latar belakang saudagar batu bara di sana amat berwarna. Jahrian sendiri bekas guru SMP di Sungai Danau, Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Lelaki 48 tahun ini merintis usaha dari anak tangga terbawah.
Abdurrahman Midi, saudagar batu bara lain di Kalimantan Selatan, bahkan bekas tukang ojek dan kernet truk di Banjar. Aman Jagau alias Aman Si Jagon—demikian nama populernya—kini menguasai belasan ribu hektare lahan tambang di Tanah Bumbu dan sekitarnya.
Peruntungan Aman bermula pada 1997, ketika dia membeli tanah rawa di Kotabaru seharga Rp 37,5 juta. Tak disangka, tanah itu tebal dengan lapisan batu bara. Dia ketiban rezeki ketika harga batu bara melonjak berlipat-lipat di tengah krisis ekonomi kala itu. Kini dia mengoleksi belasan rumah mewah serta, antara lain, mobil BMW, Hummer, dan Rolls-Royce. Namanya, beberapa waktu silam, pernah menghiasi berbagai media hiburan lantaran dikabarkan menikahi seorang artis Ibu Kota.
Kisah fenomenal seperti itu bukan monopoli Aman atau Jahrian. Di Banjarmasin, semua orang tahu nama Andi Syamsudin Arsyad atau yang top dengan panggilan Haji Isam. Pria gempal 35 tahun ini adalah pemilik kerajaan bisnis Jhonlin Baratama, yang beroperasi di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Dialah yang bersengketa dengan Jahrian di Barito Timur.
Terjun ke bisnis batu bara pada 2003, sekarang Isam mengendalikan belasan perusahaan dengan total nilai aset Rp 1 triliun lebih. Isam hanya lulusan sekolah menengah atas di Batulicin, Tanah Bumbu. Selepas sekolah, dia pernah menjadi sopir truk pengangkut kayu. "Saya tak punya uang buat kuliah," kata Isam ketika diwawancarai Tempo beberapa waktu lalu.
Sembilan tahun lalu, dengan modal pinjaman dari seorang penambang lokal, Isam mendirikan Jhonlin Baratama. Rajin mencari lahan yang kaya emas hitam, hasil tambang Jhonlin bertambah pesat, dari hanya semula sekitar 5.000 ton kini ratusan ribu ton per bulan.
Setelah kinclong di sektor tambang, Jhonlin merambah bidang lain, di antaranya bisnis penerbangan dan penyewaan tongkang. Dia juga pemegang saham di PT Kodeco Timber, yang punya konsesi lahan 13 ribu hektare lebih di Batulicin. Hamparan tanah itu tadinya diperuntukan bagi tanaman industri, tapi kini sedikit demi sedikit berubah menjadi lahan pertambangan.
Lahan Kodeco inilah yang dalam lima tahun terakhir jadi sumber kisruh di antara para jawara di Kalimantan Selatan. Berambisi menertibkan penambangan liar yang merambah masuk ke wilayah hutan mereka, Kodeco melaporkan sejumlah pemegang kuasa pertambangan ke polisi.
Setelah pemiliknya ditangkap dan diseret ke meja hijau, Jhonlin Baratama menawarkan kerja sama pengelolaan tambang. Ratusan alat berat milik Jhonlin dengan cepat mengeruk batu bara di lahan-lahan sengketa itu. Bagaimana dengan tuduhan perambahan hutan? Bisa diatur. Jhonlin akan membantu mengurusnya ke Kementerian Kehutanan di Jakarta.
Korban "aksi penertiban" ini sudah berderet. Ada Bachrullah (KUD Gajah Mada), Amir Nasaruddin (PT Baramega Citra Mulia Persada), dan Parlin (PT Setui Baratama). Tuduhan polisi terhadap mereka nyaris seragam: menambang di atas lahan hutan lindung tanpa mengantongi izin Kementerian Kehutanan. Mereka rata-rata hanya berbekal surat kuasa pertambangan yang diterbitkan bupati setempat. Semuanya sudah masuk penjara, kecuali Parlin.
"Pada 2009, dia dibebaskan di tingkat pengadilan negeri," kata Yusron, kerabatnya yang datang ke kantor Tempo, awal Juli lalu. Setelah tiga tahun, situasi berbalik. Pada Juni lalu, Mahkamah Agung memutusnya bersalah. Tapi Parlin tak mau mengiÂbarkan bendera putih.
Seperti Jahrian, Parlin untuk sementara memilih hengkang dari Banjarmasin. Dia melakukan perlawanan dari Jakarta. "Kami tak akan menyerah," kata Yusron. Kini Parlin menyewa pengacara tenar Yusril Ihza Mahendra untuk mempersiapkan gugatan di Mahkamah Konstitusi.
Salah satu musabab terjadinya kisruh antarpengusaha batu bara di Kalimantan adalah ketidakjelasan aturan hukum di lapangan. Para penambang sering nakal, menambang jauh di luar area konsesinya. Situasi kian parah karena aparat penegak hukum juga ikut bermain.
Menurut Rizanie Anshari, polisi dan jaksa sering tidak netral dalam menyelesaikan kasus sengketa pertambangan. "Kalau saja tidak ada petugas yang terlibat, tidak akan seruwet ini persoalannya," kata Rizanie.
Sampai sekarang, misalnya, kasus Jahrian tak pernah disidangkan di pengadilan. Setelah hampir tiga tahun, perkara ini maju-mundur di tangan polisi. Pada pekan-pekan ini Solikin memastikan Mabes Polri akan melakukan gelar perkara. "Kami minta kasus ini ditutup saja," katanya.
Kisruh model ini bukan hanya di Tanah Bumbu. Daerah kaya batu bara lain diwarnai konflik serupa. Pemenangnya adalah mereka yang bernyali besar dan sanggup menjalin lobi, terutama dengan penguasa. Manisnya rezeki batu bara ternyata bukan buat semua orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo