Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Mahkamah Konstitusi yang dibacakan pada Selasa pekan lalu menjadi pukulan telak buat Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Lima dari sembilan hakim konstitusi sepakat menolak gugatan Agus, yang bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsudin mewakili Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam sengketa yang menghadapkan mereka dengan Dewan Perwakilan Rakyat serta Badan Pemeriksa Keuangan.
"Permohonan tak beralasan hukum," kata Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md., yang memimpin sidang. Bersama empat hakim lain, yakni Hamdan Zoelva, Muhammad Alim, Anwar Oesman, dan Akil Mochtar, Mahfud berpendapat bahwa rencana pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara oleh pemerintah harus melalui persetujuan Dewan.
Alasannya, dana yang digunakan untuk membeli saham Newmont merupakan dana negara, yang penggunaannya harus atas persetujuan Dewan. Meski dibeli melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP), anggaran itu tetap harus dicantumkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. "Supaya pemerintah tidak sewenang-wenang menggunakan anggaran," kata Muhammad Alim.
Kelima hakim konstitusi itu juga tak menerima permohonan sengketa kewenangan antarlembaga negara yang diajukan Presiden terhadap Badan Pemeriksa Keuangan. "Tak ada sengketa kewenangan di antara pemerintah dan BPK," Alim menegaskan. "Pemeriksaan termohon II (BPK) atas proses pembelian 7 persen saham Newmont merupakan kewenangan konstitusional BPK dan wajib ditindaklanjuti pemohon." Artinya, sesuai dengan hasil pemeriksaan itu, pemerintah diharuskan meminta izin DPR sebelum berinvestasi.
Kendati tak bisa mengubah putusan, empat hakim konstitusi lainnya menyatakan berbeda pendapat dan menganggap tak perlu izin Dewan. Mereka adalah Harjono, Maria Farida Indrati, Achmad Sodiki, dan Ahmad Fadlil Sumadi. "Pemohon, selaku pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara, berwenang melakukan pembayaran bagian saham PT Newmont Nusa Tenggara dari sumber keuangan negara yang sah," kata Maria Farida. "Kedudukan presiden sentral dalam sistem pemerintahan negara. UUD 1945 tidak menempatkan presiden dalam posisi di bawah DPR," Achmad Sodiki menambahkan.
Lepas dari debat hukum itu, publik maklum bahwa bara sengketa ini sarat muatan politik. Dari 51 persen saham yang wajib dilepas Newmont sejak Maret 2010, saat ini 20 persennya dikuasai PT Pukuafu Indah milik politikus senior Jusuf Merukh, yang meninggal pada 22 Juni 2011. Sebanyak 24 persen saham dikuasai PT Multi Daerah Bersaing, yaitu patungan Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kabupaten Sumbawa Barat, dan Kabupaten Sumbawa, dengan PT Multicapital, anak perusahaan PT Bumi Resources Tbk dari Grup Bakrie.
Sisa 7 persen saham jadi rebutan karena bernilai strategis. Bagi Bakrie, saham seharga US$ 246 juta (Rp 2,33 triliun) ini layak dibeli untuk memberi mereka hak menempatkan satu direktur penting di Newmont. Belum lagi nilainya yang akan melambung jika nanti perusahaan ini mulai menjual sahamnya di lantai bursa. Banyak yang melihat kepentingan Bakrie inilah yang kerap dibawa oleh para politikus Golkar di Komisi Keuangan DPR, yang ngotot menghalangi agenda pemerintah atas Newmont.
Di lain pihak, pemerintah ingin menempatkan komisaris di sana untuk mengawasi pembayaran pajak, royalti, ekspor produk, dan impor bahan baku. Negara juga berkepentingan menjadikan Newmont sebagai model renegosiasi kontrak karya pertambangan. Dalam hitungan Agus, modal untuk beli 7 persen saham itu sudah akan kembali pada tahun ke-10 atau ke-11. Padahal, dengan ladang tambang baru dengan cadangan lebih besar di Blok Elang-Dodo, Newmont diperkirakan berproduksi hingga 90 tahun ke depan.
Dengan dasar hitungan itulah, pada 6 Mei 2011, Pusat Investasi Pemerintah meneken perjanjian jual-beli saham dengan Nusa Tenggara Partnership BV. Tapi itu baru kesepakatan di atas kertas. Transaksi penyerahan uang dan saham hingga kini belum terjadi, bahkan sempat diundurkan dua kali untuk menunggu putusan sengketa di Mahkamah Konstitusi.
Senin pekan ini semestinya jadi batas akhir transaksi, sesuai dengan amendemen kedua atas perjanjian jual-beli itu. Pengunduran pembayaran yang kedua itu diteken Kepala PIP Soritaon Siregar dan Blake Rhodes bersama Toru Tokuhisa, yang mewakili Nusa Tenggara Partnership BV, 3 Mei lalu.
Putusan yang dibacakan Mahfud itu seolah-olah menggenapi kegagalan Agus. Tahun lalu, lobi politiknya untuk mendapat dukungan partai koalisi penyokong pemerintah di Sekretariat Gabungan dalam urusan ini juga hanya ditanggapi dingin. Itu sebabnya, pada 27 Desember tahun lalu pemerintah memilih bertempur melalui jalur hukum ke Mahkamah Konstitusi.
Agus membandingkan nasib PIP dengan lembaga investasi sejenis seperti Khazanah Nasional punya Malaysia dan Temasek milik Singapura, yang begitu agresif berinvestasi ke mana-mana atas dukungan penuh pemerintahnya. "Ternyata, di sini, untuk investasi yang sudah jelas diatur dan merupakan hak negara saja masih sulit diperoleh," ujarnya setelah mendengar putusan itu.
Walau kalah di Mahkamah, Agus belum mau menyerah. Seorang pejabat eselon I di kementeriannya menegaskan, mereka belum merasa kalah. "Kami akan tetap mengeksekusi rencana pembelian itu," katanya. "Kalau harus ke DPR dulu, kami akan ke sana."
Para petinggi Lapangan Banteng seperti tak peduli dengan penolakan keras politikus Senayan dalam soal ini. "Menteri Keuangan sudah tak punya kredibilitas," ujar Wakil Ketua Komisi Keuangan dan Perbankan DPR Harry Azhar Azis. "Langkahnya itu mempermalukan Presiden."
Y. Tomi Aryanto, Gustidha Budiartie, Anggrita Desyani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo