Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
MPR mengkaji dua opsi perihal pokok-pokok haluan negara (PPHN) yang mirip Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) di masa Orde Baru.
Dua opsi itu melalui penetapan MPR atau melalui undang-undang.
Demokrat dan PKS menyatakan PPHN cukup melalui undang-undang.
JAKARTA --Anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari Fraksi PDI Perjuangan, Hendrawan Supratikno, mengemukakan bahwa terdapat dua opsi yang masih harus dikaji untuk mengatur pokok-pokok haluan negara (PPHN). Pokok-pokok haluan ini bersifat sebagai panduan bagi presiden dalam menjalankan tugasnya, seperti halnya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN), yang sebelumnya diatur dalam konstitusi pra-amendemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hendrawan menjelaskan, dua opsi tersebut adalah mengatur PPHN yang ditetapkan oleh MPR atau diatur dalam undang-undang tersendiri. "Kita lihat nanti. Badan Pengkajian (MPR) masih terus mematangkan kajiannya," ujar Hendrawan, yang juga anggota Badan Pengkajian MPR, kepada Tempo, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ini, dia mengklaim, mayoritas fraksi di parlemen menginginkan PPHN ditetapkan oleh MPR. Penetapan dengan cara ini mensyaratkan adanya amendemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945.
Hendrawan menjelaskan, jika nantinya bentuk PPHN ini dianggap lebih ideal, konstitusi akan diubah secara terbatas. Perubahan hanya ihwal penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN. Menurut dia, MPR dianggap masih bisa menetapkan PPHN karena lembaga ini juga berwenang mengubah konstitusi, aturan hukum tertinggi.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Hendrawan Supratikno, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Meski begitu, menurut Hendrawan, penambahan wewenang ini tidak serta-merta menjadikan MPR seperti di era Orde Baru, yakni sebagai lembaga tertinggi negara yang salah satunya berwenang memilih presiden. Kepala negara, kata Hendrawan, tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ihwal opsi kedua, yakni penetapan PPHN melalui undang-undang, kata Hendrawan, mayoritas partai justru menginginkan produk hukum yang lebih mengikat ketimbang undang-undang. Lagi pula, regulasi perencanaan sudah termuat dalam undang-undang, seperti UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menjadi bekal penyusunan program pemerintahan pusat ataupun daerah. Hendrawan mengatakan dua fraksi, yakni Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), masih bertahan bahwa PPHN cukup diterapkan dalam undang-undang.
Ketua MPR dari Fraksi Demokrat, Benny Kabur Harman, mengatakan belum ada urgensinya mengamendemen konstitusi untuk menghidupkan kembali GBHN. Karena itu, Demokrat menyepakati produk hukum tersebut cukup diatur melalui undang-undang. "Tidak perlu mengubah UUD 1945 jika maksudnya hanya untuk menghidupkan GBHN," kata Benny, beberapa waktu lalu.
Benny mengatakan, Indonesia sebenarnya sudah memiliki GBHN kendati dengan nama lain, yakni Rencana Pembangunan Jangka Panjang, Rencana Pembangunan Jangka Menengah, dan Rencana Pembangunan Jangka Pendek. Aturan-aturan itu lengkap tertuang dalam bentuk undang-undang.
Namun, kata dia, jika dipandang belum lengkap atau ketinggalan zaman, undang-undang itu bisa direvisi kembali agar lebih responsif dan relevan dengan kondisi saat ini. Benny juga menyebutkan bisa saja undang-undang tersebut diubah namanya menjadi spesifik UU tentang GBHN. "Kalau mau nomenklaturnya diganti, silakan saja ubah nama UU-nya menjadi tentang GBHN," kata dia.
Wakil Ketua MPR dari Partai Keadilan Sejahtera, Hidayat Nurwahid, mengatakan upaya menghidupkan PPHN melalui amendemen memerlukan kajian mendalam. Sebab, jika MPR diberi kewenangan menetapkan haluan, terdapat kekhawatiran hal tersebut memunculkan pandangan bahwa presiden menjadi penerima mandat dari MPR. Dia berharap perdebatan ihwal urgensi amendemen dibahas dalam diskusi yang melibatkan para pakar, organisasi masyarakat sipil, dan partai politik.
Anggota DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Dok. TEMPO/Dhemas Reviyanto Atmodjo
Wakil Ketua MPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, Jazilul Fawaid, menyatakan ada dua usul pengembalian GBHN melalui PPHN. Pertama, penetapan PPHN melalui undang-undang. Sedangkan usul kedua, ditetapkan melalui ketetapan MPR.
Sejauh ini, kata dia, sikap PKB adalah menjadi kewenangan MPR untuk penetapan PPHN yang dapat diatur melalui amendemen UUD terbatas. Namun, kata Jazilul, untuk amendemen, perlu kehendak kuat dari rakyat sesuai dengan mekanisme dan aturan.
BUDIARTI UTAMI PUTRI | ROBBY IRFANY
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo