SEMANGAT Walikotamadya Semarang, Hadiyanto, untuk mensukseskan
MTQ ke XI besar sekali. Tak aneh ada yang mengatakan MTQ ke-XI
di kota itu yang berakhir pekan lalu lebih meriah dibanding
MTQ-MTQ sebelumnya. Tapi tak pula mengherankan ada cerita kurang
sedap.
Penyelenggaraan perlombaan membaca Qur'an itu dipusatkan di
Lapangan Pancasila. Lapangan besar di tengah kota ini sebelumnya
selalu tergenang manakala hujan deras. Malu kalau-kalau hal itu
terjadi, balaikota meninggikannya dengan biaya Rp 42 juta.
Alhamdulillah hujan tidak turun. Dengan biaya lumayan besar tadi
usaha mendandani lapangan tidak menjangkau seluruh saluran air
di sekelilingnya.
Rasa malu pemerintah kotamadya tertuju pula pada beberapa bagian
jalan yang bolong. Seperti di lima jalur yang bermuara ke
Lapangan Pancasila tak luput dibenahi. Tapi akibat dari urusan
ini pemerintah kotamadya kini terpaut hutang pada pemerintah
propinsi Jawa Tengah sebanyak Rp 50 juta.
Bab penggusuran bangunan lebih tak sedap. Kios sepanjang jalan
di depan RSUP dr Karyadi sudah sejak lama bakal digusur. Sebab
kios-kios itu dianggap liar. Tapi karena pelaksanaan penggusuran
serempak dengan usaha menyelenggarakan MTQ timbul kesan
pemerintah daerah menggunakan pesta agama itu untuk membungkam
protes.
Penggusuran kios tak ada hubungan dengan MTQ. Alasan balaikota
demi keindahan. Namun tak luput dari penggusuran adalah
kios-kios di sekitar Jalan Pahlawan yang setidaknya menurut para
penghuninya tidak buruk. "Lha, kios ini kan dari bata, pakai
semen, tidak dengan gedeg, apa belum indah?" keluh Saidi, 43
tahun, salah seorang penghuni bangunan tergusur di sekitar jalan
tersebut.
Martowiyono, 52 tahun, korban gusuran lain di daerah yang sama
mengatakan, bahwa di sekitar Jalan Pahlawan itu ada 10 kios yang
liar. Tapi 35 kios yang lain, termasuk miliknya, resmi. Untuk
itu setiap bulan ia membayar sewa Rp 1.800 plus karcis harian
yang disodorkan petugas kotamadya Rp 50 sehari. Kios-kios itu
pun dibongkar.
Boleh Nongkrong
Menurut Martowiyono, selain penggusuran tidak diimbali ganti
rugi, juga sampai saat pembongkaran dilakukan, dua pekan sebelum
MTQ berlangsung, tempat penampungan tidak ditunjukkan. Padahal
Martowiyono sendiri misalnya menggunakan salah satu di antara
dua kios haknya sebagai tempat tinggal bersama keluarga,
termasuk 3 orang anak dan 3 orang cucu. Adapun Saidi mengatakan
tempat penampungan ditunjukkan di pasar. Tapi, "itu bukan cara
yang baik," katanya. Alasannya pasar tempat berjualan umum.
Siapa saja boleh nongkrong di sana.
Sebegitu jauh baik Saidi maupun Martowiyono tidak protes. Sebab
menurut mereka, suara-suara yang beredar di kalangan masyarakat
menyakitkan. Kalau membangkang dibilang tak beragama atau segala
macam.
Atas permintaan Walikota Hadiyanto, selama MTQ berlangsung
tempat perjudian dan klab malam ditutup. Bioskop tidak memutar
film yang menampilkan paha wanita. Komplek Sunan Kuning hanya
tutup 2 malam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini