Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

MTQ, Cerita Lain

Penyelenggaraan MTQ ke-XI di Semarang berakhir dengan meriah dan sukses. Tapi sempat menimbulkan persoalan, seperti hutang pada pemda propinsi jawa tengah dan pengusuran bangunan dan kios-kios. (kt)

21 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEMANGAT Walikotamadya Semarang, Hadiyanto, untuk mensukseskan MTQ ke XI besar sekali. Tak aneh ada yang mengatakan MTQ ke-XI di kota itu yang berakhir pekan lalu lebih meriah dibanding MTQ-MTQ sebelumnya. Tapi tak pula mengherankan ada cerita kurang sedap. Penyelenggaraan perlombaan membaca Qur'an itu dipusatkan di Lapangan Pancasila. Lapangan besar di tengah kota ini sebelumnya selalu tergenang manakala hujan deras. Malu kalau-kalau hal itu terjadi, balaikota meninggikannya dengan biaya Rp 42 juta. Alhamdulillah hujan tidak turun. Dengan biaya lumayan besar tadi usaha mendandani lapangan tidak menjangkau seluruh saluran air di sekelilingnya. Rasa malu pemerintah kotamadya tertuju pula pada beberapa bagian jalan yang bolong. Seperti di lima jalur yang bermuara ke Lapangan Pancasila tak luput dibenahi. Tapi akibat dari urusan ini pemerintah kotamadya kini terpaut hutang pada pemerintah propinsi Jawa Tengah sebanyak Rp 50 juta. Bab penggusuran bangunan lebih tak sedap. Kios sepanjang jalan di depan RSUP dr Karyadi sudah sejak lama bakal digusur. Sebab kios-kios itu dianggap liar. Tapi karena pelaksanaan penggusuran serempak dengan usaha menyelenggarakan MTQ timbul kesan pemerintah daerah menggunakan pesta agama itu untuk membungkam protes. Penggusuran kios tak ada hubungan dengan MTQ. Alasan balaikota demi keindahan. Namun tak luput dari penggusuran adalah kios-kios di sekitar Jalan Pahlawan yang setidaknya menurut para penghuninya tidak buruk. "Lha, kios ini kan dari bata, pakai semen, tidak dengan gedeg, apa belum indah?" keluh Saidi, 43 tahun, salah seorang penghuni bangunan tergusur di sekitar jalan tersebut. Martowiyono, 52 tahun, korban gusuran lain di daerah yang sama mengatakan, bahwa di sekitar Jalan Pahlawan itu ada 10 kios yang liar. Tapi 35 kios yang lain, termasuk miliknya, resmi. Untuk itu setiap bulan ia membayar sewa Rp 1.800 plus karcis harian yang disodorkan petugas kotamadya Rp 50 sehari. Kios-kios itu pun dibongkar. Boleh Nongkrong Menurut Martowiyono, selain penggusuran tidak diimbali ganti rugi, juga sampai saat pembongkaran dilakukan, dua pekan sebelum MTQ berlangsung, tempat penampungan tidak ditunjukkan. Padahal Martowiyono sendiri misalnya menggunakan salah satu di antara dua kios haknya sebagai tempat tinggal bersama keluarga, termasuk 3 orang anak dan 3 orang cucu. Adapun Saidi mengatakan tempat penampungan ditunjukkan di pasar. Tapi, "itu bukan cara yang baik," katanya. Alasannya pasar tempat berjualan umum. Siapa saja boleh nongkrong di sana. Sebegitu jauh baik Saidi maupun Martowiyono tidak protes. Sebab menurut mereka, suara-suara yang beredar di kalangan masyarakat menyakitkan. Kalau membangkang dibilang tak beragama atau segala macam. Atas permintaan Walikota Hadiyanto, selama MTQ berlangsung tempat perjudian dan klab malam ditutup. Bioskop tidak memutar film yang menampilkan paha wanita. Komplek Sunan Kuning hanya tutup 2 malam.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus