SELAMAT malam. Bolehkan saya masuk? Maaf, saya cuma setan.
- Wah, kamu ini .... Franz Peter Schubert ya? Pantesan seperti
setan.
+ Dan maaf penampilan saya. Saya ini orang melarat.
- Kok minta maaf segala. Silakan duduk. Maaf tak ada bir.
+ Soalnya saya melihat begitu banyak orang melarat yang terus
dirugikan dan disakiti saja, maka tentu saja saya ada rasa
takut.
- Setan kok takut .... Dan apakah saya ini seperti perampok
tanah?
+ Soalnya kebanyakan perampok sekarang tampangnya sudah tidak
lagi seperti Mat Sobek, tapi seperti Mas Golf. Jadi yang bukan
perampok itu yang bagaimana?
- Alaa kamu ini jangan tanya-tanya yang bukan musik lah ! .....
+ Bukan begitu. Soalnya kota saya ini selalu ditindas, oleh
Napoleon, lantas oleh si cupet yang namanya Metternich. Masak
semua perpustakaan umum disuruhnya tutup semua. Segala bacaan
disensor keras. Tiap profesor yang berani menyebut nama Immanuel
Kant langsung dipecat. Cuma bicara politik saja dilarang. Maka
itu penduduk Wina cuma berani menggunjingkan perempuan saja. Di
mana-mana ada serdadu dan mata-mata. Brengsek deh.
- Lho?? Lha katanya Wina itu kota sorga dan gembira-ria??
+ Tentu saja. Dengar saja musik saya. Tidak seperti lagu seriosa
di Indonesia ini, kok semua seperti merengut dan merintih saja.
Padahal negerimu ini banyak juga ketawanya. Tapi banyak teman
saya di Wina dulu juga kaum pembangkang lho. Eh, sampai saya
pernah bikin opera-protes. Dilarang mek! Hahahihi! Tapi kalau
saya ngamuk dalam sonata-sonata saya, itu sih nggak apa.
Wah, dalam suasana begitu susah dong mencipta.
+ Bagi pemuda loyo dan cengeng, ya. Tapi adat mereka memang
selalu mencari dalih supaya berpangku tangan saja sambil
menuding-nuding ke kanan-kiri. Saya ini lain sama sekali. Dalam
keadaan yang paling brengsek pun saya terus berproduksi. Silakan
saya diadu dengan semua seniman yang alamnya merdeka dan adil
dan makmur. Saya bisa bikin sepuluh lagu sehari. Dalam setahun
saya sanggup mencipta seratus limapuluh lagu ditambah dengan
sejumlah opera dan simfoni dan sonata dan paduan suara tanpa
kontes-kontesan dan cukong Remaco segala. Dan saya begitu itu
waktu masih remaja.
- Habis hidupmu itu cuma kesetanan musik. Sekali tempo rilek dan
santai-santai dong!
+ Ee ee! Kerjaan saya sebagai remaja itu jadi guru SD lho!
Ngajar enam jam sehari, ngajar berhitung dan lain-lain kecuali
musik, dengan gaji brengsek lagi, pokoknya bikin aksi
antikebodohan. Dan perkara rilek, wah, saya jagoan kumpul-kumpul
sama gang saya, dan selalu meriah sekali. Belum lagi perkara
perempuan. Tapi produksi musik terus menggebu-gebu.
- Ya asal badan sehat dan makanan penuh gizi . . .
+ Ee ee! .... Saya ini selamanya kelewat melarat dan selamanya
kelaparan! Percaya nggak, saya ini pernah tidak makan tidak
minum selama dua mingguan, tapi ya, lantas saya mati. Haha hihi!
Saya sering sakit luar biasa gawatnya sampai dijebloskan ke
rumah sakit segala . . .
- Nah, kalau sudah begitu kapan dong kamu ini mencipta?
+ Ya waktu di rumah sakit dong! Rosamunde dan dua opera dan
hampir duapuluh lagu schone Mullerin itu kerjaan orang yang
disiksa penyakit! Itu pada umur 26, jadi sama dengan umur
mahasiswa, hihihihi!!
- Kamu ini setan ketawa ya. Begini. Kalau kamu ini begitu
produktif, kenapa dong kamu ini terus-terusan melarat?
+ Kalau mau lekas kaya, saya harus suka bergaul dengan
orang-orang kaya dan orang pangkat dan parlente dan bangsawan
dan elit. Lantas saya tinggal menjilat-jilat dan bermulut manis
dan sebagainya, pokoknya orang Indonesia juga sudah tahu
bagaimana caranya. Nah saya ini bukan jenis pemuda yang
sebentar-sebentar kepingin ketemu pejabat tinggi. Saya ini
ogahan bergaul dengan kaum tinggi-tinggi. Maka itu saya tidak
punya koneksi dan promotor dan pesanan dan perlindungan, maka
baju saya tetap kumal, dan karena saya ini jadi seperti
gelandangan, ya mana bisa masuk ke rumah gedong?
- Kenapa sih kamu ini menghindari kaum elit? Kan gengsi kalau
bisa sikut-sikutan dengan mereka?
+ Begini sajalah. Saya tidak suka segala yang palsu dan
pura-pura dan dibikin-dibikin dan munafik. Kalau anda tidak
mengerti ya sudah. Maaf, sekarang giliran saya bertanya. Kenapa
anda tadi memutar simfoni saya?
- Ya sejak tahun lalu segala ciptaanmu yang kebetulan saya punya
saya putar-putar kembali. Ya sekedar memperingati 150 tahun
wafatmu saja. Itu tadi simfonimu yang nomor dua. Paling hebat
dari segala simfoni di dunia, asal yang main itu sebangsa
Charles Munch dan Orkes Boston.
+ Aduh, terima kasih! Itu kerjaan pemuda umur 18 tahun.
- Peduli amat umurmu. Rekaman lagu-lagumu seperti An die Musik
dan Das Wandern juga sudah saya kirim kepada mbak Ita di Yogya.
Jangan khawatir. Yang nyanyi bukan Frederik Jawul, tapi Fritz
Wunderlich.
+ Buat apa sih?
- Pokoknya dia punya sekolah gratis buat anak-anak melarat
seperti kamu. Saya telah usul agar mereka diperkenalkan kepada
karya superkid melarat dari Wina. Mbak Ita juga mengajar
ibu-ibu. Saya telah minta agar mereka itu jangan suka mencurigai
anak-anak berbakat tinggi, apalagi kalau anak itu perempuan,
apalagi kalau perempuan itu melukis. Bagaimana nasib kita semua
ini seandainya keajaibanmu dulu pada usia duabelas itu dibunuh
saja oleh orang-orang yang sok psikolog sok pendidik sok
kritikus sok cinta anak?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini