Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENUJU Paris musim gugur silam, saya menyimpan keingintahuan yang tak boleh ditanyakan: apakah multikulturalisme Eropa, setidaknya Prancis, suatu proyek gagal? Hari ini pun terngiang penembakan terhadap Nahel Merzouk, remaja keturunan Afrika, oleh polisi Prancis, peristiwa yang memicu kerusuhan 19 hari di sekitar Paris, Juli 2023. Tahun lalu, pecah insiden antara polisi dan komunitas Kurdis. Pada 2005, kekacauan tiga pekan di banyak kota juga diawali intimidasi polisi terhadap remaja kulit hitam. Di sisi lain, ada rantai peristiwa terorisme yang berulang hampir tiap tahun, memuncak pada 2015-2017—pelakunya berhubungan dengan kelompok islamis, terutama pendukung kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Semua menciptakan lingkaran setan kekerasan dan rasisme.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi pertanyaan apakah multikulturalisme Prancis gagal juga tak sahih diajukan secara verbal. Itu bagai menanyakan apakah Bhinneka Tunggal Ika gagal karena Indonesia pun mengalami kasus bermuatan suku, agama, ras, dan antargolongan atau SARA. Ungkapan itu bisa diterima sebagai keprihatinan saat insiden terorisme memuncak, seperti pernyataan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy pada 2011 ataupun Kanselir Jerman Angela Merkel pada 2015: multikulturalisme adalah kegagalan. Orang mulai sinis dan menyebutnya “multikulti”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita bisa membacanya demikian: pilihannya bukan menolak multikulturalisme, tapi menyadari “multikulturalisme” yang ada dalam konseptualisasi di Eropa tidak memadai untuk melihat persoalan. Multikulturalisme perlu dipikirkan ulang, lebih dari model asimilasi atau integrasi yang umumnya dibicarakan di benua tua itu. Model asimilasi menganggap pendatang menyesuaikan diri dan terserap dalam budaya setempat. Model integrasi berpandangan pendatang tetap membawa kultur asal dan hidup berdampingan.
Direktur Literature & Ideas Festival Ayu Utami (kedua kiri), Kurator Pameran Komunitas Salihara Asikin Hasan (tengah), Aktris Asmara Abigail (kedua kanan), dan Assistant Cultural Affairs Kedutaan Besar Amerika Serikat Grace Clegg (kanan) saat menjadi narasumber dalam konferensi pers di Komunitas Salihara, Jakarta, Selasa, 25 Juli 2023. Tempo/M Taufan Rengganis
Perjalanan saya ke Paris bertujuan mempersiapkan Literature and Ideas Festival (LIFEs) 2023 yang akan menyentuh tema itu dan diadakan Komunitas Salihara pada 5-12 Agustus 2023. Berjudul "Mon Amour!", perhelatan ini hendak merayakan—dengan gembira!—sastra dan pemikiran dari Prancis yang multikultural. Dengan dukungan Institut Français d’Indonésie (IFI), penulis Prancis keturunan Madagaskar, Kamboja, Suriah, dan Aljazair akan tampil—antara lain novelis Johary Ravaloson—secara langsung ataupun melalui rekaman. Juga ada pementasan tentang novelis Prancis, Colette, oleh aktris Amerika Serikat, Lorri Holt, yang dihadirkan Kedutaan Besar Amerika Serikat. Multikulturalisme menjadi horizon: sesuatu yang disadari bersama meski tak harus tajam dirumuskan.
Saya menginap di apartemen Haussmann milik Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Prancis di Jalan Cortambert, Paris. Sebuah buku menghantui saya, Rue Jean-Pierre Timbaud, tentang keluarga yang hidup di antara kaum berjanggut dan kaum bobo (bohemian-borjuis) di sekitar Jalan Jean-Pierre Timbaud, karya Géraldine Smith. Smith pernah tinggal di sana, yang awalnya ia sukai karena suasana multikulturalnya. Ia berteman dengan keluarga Arab, Afrika, Asia, Ukraina, dan lain-lain.
Buku ini perlahan menyingkapkan bukan hanya rasa superioritas kulit putih yang sulit pudar, tapi juga rasisme di antara kaum kulit berwarna: Arab memandang rendah Afrika, Afrika tak suka pada Asia. Peristiwa 9/11 (penyerangan menara kembar di New York, Amerika Serikat, 2001) mengentalkan sikap yang sebelumnya samar. Identitas keagamaan kelompok imigran muslim menguat. Buku ini membawa suara ironis tentang multikulturalisme Prancis, terbit pada 2016, tahun terjadinya serangan truk di Nice dengan korban tewas 86 orang dan luka 434 orang. Ini adalah periode yang sinis tentang “multikulti”.
Sewindu telah berlalu. Saya tergoda untuk bertanya, apakah pesimisme, jika bukan sinisme, masih kuat? Tapi saya sendiri pernah ditanyai oleh wartawan Prancis hal yang sama pada dasawarsa pertama Reformasi—pesimistiskah terhadap demokrasi Indonesia—dan saya jawab: saya tak punya kemewahan untuk pesimistis, saya tak punya pilihan selain membangun harapan. Dengan sikap itu pula saya mewawancarai para penampil di LIFEs 2023.
•••
ARWAD Esber saya wawancarai di apartemen KBRI. Langit sedang cerah. Ia putri Adonis atau Ali Ahmad Said Esber, penyair Suriah yang beberapa kali disebut sebagai kandidat peraih Hadiah Nobel Sastra. Sang ayah beberapa kali mendapat ancaman mati karena pandangannya tentang agama. Keluarga itu pun pindah ke Prancis.
Arwad Esber adalah kurator dan konsultan seni. Ia menjadi penasihat dalam pembukaan museum Louvre Abu Dhabi pada 2017. Kariernya yang cukup panjang adalah sebagai Direktur Maison des Cultures du Monde (Griya Kebudayaan Dunia) periode 2007-2017. Kini ia masih bersama lembaga itu sebagai anggota dewan. Maison bekerja untuk menampilkan keberagaman budaya dunia yang masih hidup—artinya, masih dilakukan oleh masyarakat adat ataupun komunitas lokalnya. Ia banyak berkeliling dunia, termasuk berulang kali ke Indonesia, untuk menemukan bentuk kesenian yang bisa dihadirkan di Prancis. Upacara bissu dari Sulawesi Selatan adalah salah satu yang pernah dihadirkan di Maison. “Saya kira sekarang sudah tidak ada lagi. Kami menghadirkan bissu terakhir,” ujarnya, ironis.
Ayu Utami (kanan) saat sesi wawancara dengan Arwad Esber di apartemen Haussmann milik Kedutaan Besar Republik Indonesia Prancis, di Jalan Cortambert, Paris. (Foto: Ayu Utami)
Ada dua pokok wawancara kami. Pertama, pementasan kesenian yang masih hidup ini secara prinsip berbeda dengan pertunjukan eksotis di masa kolonial. Era fin de siècle (akhir abad ke-19, awal ke-20) ditandai dengan perayaan kejayaan kolonialisme dan teknologi modern dalam bentuk pameran dunia, diadakan di kota-kota besar Eropa yang bersaing satu sama lain.
Salah satu yang paling tenar adalah "Exposition Universelle" (1889). Di situlah Menara Eiffel diresmikan dan sejak itu menjadi simbol Paris. Selain menyajikan kemajuan sains, pameran dunia ini menghadirkan desa dari Jawa, Mesir, Amerika, atau negeri-negeri jajahan. Kampung dibangun sebagai replika dan sekelompok warga pribuminya dibawa dan tinggal di sana sebagai tontonan—di antara pengunjung, ada juga komposer Claude Debussy yang terinspirasi gamelan dan dramawan Antonin Artaud yang tersihir tari Bali.
Arwad Esbeer. (Foto: Ayu Utami)
Kini telah banyak kritik tentang model pertunjukan eksotisme itu, bersama kesadaran baru seperti pascakolonialisme. Apa yang membedakan pementasan seratus tahun lalu dengan sekarang? “Tak terbandingkan,” ujar Esber. “Kita telah beralih dari kebun binatang manusia kepada penghormatan satu sama lain. Dalam 'Exposition Universelle', ada pertemuan budaya, tapi tidak ada dialog. Sekarang ada dialog.”
Kedua, penonton Paris hari ini bukan hanya orang Eropa kulit putih. Esber yakin bahwa justru dalam perjumpaan dengan yang lain kita menemukan diri sendiri. Ia mengutip sufi abad ke-9, Abu Hayyan at-Tauhidi, “Teman adalah dirimu sendiri yang lain.” Ia tidak cocok dengan pendidikan multikulturalisme yang malah mengentalkan identitas kaum. “Saya tidak hendak mengulangi kebudayaan Maroko kepada anak Maroko, tapi saya hendak mengajaknya melihat tari atau nyanyian dari Indonesia, yang mungkin berbeda sama sekali. Justru dari situ seorang anak melihat perbedaan dan mulai mencari siapa dirinya dan orang lain.”
Sebagai Direktur Maison, ia membuat program untuk siswa sekolah. Pementasan diadakan dalam dua model, untuk umum dan siswa. Program untuk siswa diadakan dengan pendampingan, berupa penjelasan di awal dan tanya-jawab di akhir. Dari perspektif Indonesia, yang ia lakukan adalah sejenis pendidikan ekstrakurikuler multikulturalisme melalui pengalaman kesenian dan dialog.
Grace Ly di rumahnya, di pinggiran Paris. Ayu Utami
Dialog adalah kunci untuk membuka kebekuan yang terjadi pada model asimilasi ataupun integrasi dalam multikulturalisme. Grace Ly, penulis dari keluarga Cina-Kamboja, membuat siniar (podcast) "Kiffe ta Race" bersama penulis keturunan Afrika, Rokhaya Diallo. Mereka membahas beragam isu rasisme. Imigran Asia Timur sering dianggap model ideal: mereka rajin bekerja, tak banyak memprotes, dan umumnya tak membawa konflik agama. “Itu anggapan yang tidak tepat. Setiap kelompok mempunyai keadaan dan problem khas masing-masing.”
Grace Ly saya jumpai di rumahnya yang asri dengan tanaman segar di pinggiran Paris. Di Prancis, ada dua kategori sastra: Prancis dan Frankofoni (sastra yang ditulis dalam bahasa Prancis oleh pendatang atau orang dari negeri bekas jajahan Prancis). “Sastra Prancis dianggap lebih tinggi. Saya akan menempatkan diri sebagai bagian dari sastra Prancis. Saya lahir di sini. Dan jika bukan saya sendiri yang mengusahakannya, mereka tidak akan membuka pintu untuk kita.”
•••
PRANCIS tetap merupakan tujuan bagi banyak orang, juga mereka yang dipersekusi di tanah air. Pengungsi politik Orde Baru hingga Ayatullah Khomeini pernah tinggal di Paris. Prancis juga tak bersih dari sejarah penjajahan. Koloninya yang terdekat adalah Aljazair—hanya terpisah oleh laut tertutup Mediterania—tanah kelahiran Albert Camus, pemenang Hadiah Nobel Sastra 1957.
Saya menemui Lakhdar Brahimi, mantan pejuang kemerdekaan dan Menteri Luar Negeri Aljazair, juga veteran diplomat Perserikatan Bangsa-Bangsa, di apartemennya tak jauh dari Taman Luxembourg. Ia duduk menghadap jendela, di belakangnya terpasang lukisan Bali di atas sederet foto keluarga pada meja konsol. “Duduk di posisi kita sekarang, dengan perang di Ukraina, polarisasi yang makin hari makin nyata… saya takjub bahwa rakyat Indonesia tidak menyerahkan dua hal yang sangat-sangat penting: moto Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila. Dunia membutuhkannya, sangat-sangat membutuhkannya.”
Percakapan kami mengisyaratkan sedikitnya dua hal. Pertama, bahwa dunia saling terhubung sehingga multikulturalisme hari ini harus menimbang sejarah bersama. Kedua, bahwa identitas individu tak harus melekat pada kaum, suku, atau bangsa, sekalipun akan timbul situasi dilematis, sebagaimana dialami Albert Camus.
Kami membincangkan buku Zohra Drif, Insight the Battle of Algiers: Memoir of a Woman Freedom Fighter, yang ia beri pengantar. Ia dan Drif satu kampus saat revolusi kemerdekaan Aljazair pecah pada 1954. Sang mahasiswi bergabung dengan gerakan bawah tanah, memasang bom di Le Milk Bar di Aljir, balasan atas bom di permukiman padat pribumi. Drif tertangkap dan divonis hukuman mati.
Brahimi muda mendirikan perhimpunan pelajar muslim Aljazair, UGEMA, dan mewakili organisasi itu dalam konferensi pelajar Asia-Afrika di Bandung. Tak disangka, ia malah tinggal di Indonesia sampai lima tahun, belajar kepada Hamid Algadri, Mohammad Roem, dan banyak tokoh Indonesia lain.
“Sekalipun Revolusi Prancis 1789 menyatakan Deklarasi Universal Hak Manusia dan Warga serta nilai ‘kebebasan, kesetaraan, persaudaraan’, Paris tak pernah memberi hak sipil ataupun politik apa pun bagi mayoritas penduduk pribumi Aljazair,” tulis Lakhdar Brahimi.
Meski demikian, dalam perjuangan, selalu ada orang kulit putih yang mendukung kemerdekaan negeri jajahan. “Pemikir progresif dan aktivis politik di Barat, termasuk Prancis, berbagi pandangan dengan kami.” Karena opini internasional itu, hukuman mati atas Zohra Drif diganti menjadi 20 tahun kerja paksa, dan ia bisa menyaksikan kemerdekaan negerinya pada 1962.
Memoar Perempuan Pejuang Kemerdekaan menyebut beberapa nama orang kulit putih Prancis yang mendukung kemerdekaan Aljazair—wartawan Andre Mandouze, etnologis Germaine Tillion, serta dokter Pierre Chaulet—dan secara khusus mengecam Albert Camus yang, sekalipun banyak menulis tentang penderitaan di Aljazair, tidak mendukung perang kemerdekaan. Brahimi bersikap di tengah atas situasi dilematis ini, “Albert Camus sangat progresif dan membela orang Aljazair, mengutuk kolonialisme. Tapi, saat terjadi konfrontasi antara penjajah dan rakyat Aljazair, ia berkata: jika bedanya adalah antara ibu dan negeri, saya memilih ibu. Itulah yang diserang Drif, dan kami semua menolak Camus tentang itu. Tapi Camus adalah pemikir hebat dan bagian dari kemanusiaan.”
Filsuf kontemporer Prancis, Jacques Rancière, juga lahir di Aljazair. Usianya lima tahun lebih muda dari Lakhdar Brahimi. Sejarah bersama menempatkan ia sebagai pied noir (orang kulit putih di wilayah koloni) yang harus hengkang ketika tanah jajahan itu merdeka. Saya menemuinya di apartemennya yang hangat, sekalipun di luar hujan turun, bersama Sri Indiyastutik, yang menulis tesis master tentang sang filsuf di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Tumbuh dalam tradisi pemikiran Marxis, Rancière banyak berbicara tentang emansipasi dan kesetaraan radikal, tapi tidak meneliti atau menulis tentang multikulturalisme secara langsung. Pemikirannya toh dipakai dalam beberapa kajian akademis untuk melihat persoalan itu. Dalam hal itu, konsekuensi pemikirannya mungkin justru menuntut kita melampaui ide multikulturalisme yang selama ini selalu bersandar pada identitas-identitas kelompok.
“Emansipasi adalah perihal keluar, atau terbebas dari, identitasmu. Keluar dari identitas tertentu atau tempat tertentu yang diberikan kepadamu oleh tatanan sosial. Emansipasi bukanlah mengemansipasi identitas, tapi suatu tindakan yang menciptakan subyek. Kalaupun itu emansipasi buruh, emansipasi perempuan, emansipasi orang hitam, kamu tahu, pada saat yang sama subyek emansipasi itu bukan lagi kelompok sosial, bukan lagi identitas sosial.”
•••
UNTUK sementara, pertemuan dengan Jacques Rancière menutup fokus saya pada multikulturalisme. Esoknya, saya berangkat ke Saint Nazaire, menghadiri festival sastra yang dipimpin novelis Patrick Deville. Novel nonfiksinya, Peste et Choléra, akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia (diterjemahkan oleh sastrawan Rio Johan) dan diluncurkan di LIFEs, Ahad, 6 Agustus mendatang. Perjalanan kereta saya gunakan untuk membaca terjemahan karya pemenang Hadiah Nobel Sastra 2022, novelis Prancis, Annie Ernaux, Getting Lost, berdampingan dengan The Last One, karya penulis perempuan muda dari keluarga imigran, Fatima Daas.
Kita bisa melihat keduanya semiotobiografis dan berbicara tentang tubuh perempuan—juga jika pengarangnya tidak memaksudkan itu. Fatima Daas adalah nama samaran; bukunya mengungkapkan pengalaman dilematis seorang remaja muslim lesbian. Getting Lost berbentuk catatan harian tentang seorang perempuan yang terobsesi pada relasi erotis dengan seorang diplomat Rusia, hubungan yang menimbulkan kekosongan dan penderitaan batin. Annie Ernaux menulis dengan intens, tanpa moralisme apa pun atau political correctness.
Ayu Utami (kiri) saat mewawancarai filsuf Prancis, Jacques Rancière, di Paris. (Foto: Dok. Ayu Utami)
Sastra Prancis menyediakan sejarah panjang literatur erotis dari penulis perempuan, sebagian masuk ke permainan kuasa dan sadomasokisme. LIFEs akan menampilkan "Erotika Feminin" pada Selasa, 8 Agustus, penafsiran empat fragmen erotis dari Anaïs Nin, Margueritte Duras, Anne Desclos, dan Annie Ernaux oleh empat aktris Indonesia, antara lain Ine Febriyanti dan Asmara Abigail. Enam komposer perempuan Prancis juga akan ditafsir oleh Klassikhaus—trio pemain bandoneon, harpsikord, dan kontrabas—dalam program "Les Femmes Sans Parole" (Perempuan tanpa Kata-kata) pada Jumat, 11 Agustus.
Untuk merefleksikan hubungan intelektual Prancis-Indonesia, selain pameran buku komik dan sastra (koleksi pribadi ataupun Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin), kajian akademis terbitan École française d'Extrême-Orient, akan ada ceramah kunci di Komunitas Salihara pada Ahad, 6 Agustus, oleh Jean Couteau, intelektual dan sejarawan seni asal Prancis yang telah bermukim di Bali. Bertajuk “Universalisme Prancis: Antara Imajinasi dan Realitas”, pidato ini akan bertolak dari lukisan Raden Saleh dan lukisan duet Goenawan Mohamad dengan Hanafi untuk menceritakan paradoks universalisme Prancis itu di Indonesia.
Di titik ini, saya teringat jawaban Jacques Rancière atas pertanyaan tentang paradoks. Paradoksikal bukan berarti tidak logis. Paradoksikal artinya bertentangan dengan doksa, pendapat umum normal. “Emansipasi selalu bersifat paradoksikal, dan ini bukan berarti paradoks itu mengemansipasi. Tapi emansipasi selalu terjadi sebagai suatu kontradiksi tatanan normal.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mencari Multikulti di Paris"