Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IA adalah salah satu filsuf terpenting Prancis saat ini. Ia terlibat dalam demonstrasi Paris 1968 yang anarkistis. Saat itu Daoed Joesoef (kemudian Menteri Pendidikan dan Kebudayaan) sedang menempuh studi di Université Paris 1. Jejak Paris 1968 sangat berbeda terhadap keduanya. Joesoef menghadapi demonstrasi mahasiswa 1978 dengan melarang kegiatan politik dalam kampus. Sedangkan Jacques Rancière melanjutkan penelitiannya tentang gerakan kiri, kaum buruh dan yang terpinggirkan, juga mengembangkan pemikirannya mengenai kesetaraan radikal, politik sebagai disensus, dan estetika dalam disrupsi. Berikut ini petikan wawancara Ayu Utami dengan Rancière tentang sastra dan politik di kediamannya di Paris.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seusai peristiwa Paris 1968, Anda termasuk pendiri jurnal Les Révoltes logiques, “Revolusi logika”, diambil dari puisi Rimbaud. Apakah Rimbaud masih istimewa bagi Anda sekarang?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya kira begitu. Itu adalah jurnal tentang isu politik. Kami sekelompok peneliti muda yang sedang meneliti terutama suara mereka yang tak didengarkan: kaum buruh, kaum feminis, dari Prancis abad ke-19. Pendekatan kami untuk isu politik adalah mendekati semua ragam penulisan. Penting untuk mengambil nama dari puisi, bukan kosakata politik. Akhirnya saya putuskan “revolusi logika”. Juga karena selalu ada sejenis oposisi: revolusi tak seharusnya logis, revolusi seharusnya spontan. Selalu ada oposisi antara spontanitas revolusi dan logika aksi strategis.
Nah, Rimbaud tetap penting bagi saya. Bukan soal kesukaan personal. Lebih karena kenyataan, saya hidup dengan kalimat-kalimat Arthur Rimbaud. “Revolusi logika” salah satunya. Itu adalah pernyataan revolusi dan pada saat yang sama juga enigmatik. Puisi adalah suatu cara untuk memakai sudut yang berbeda guna mengolah isu politik.
Dalam puisi Rimbaud ada utopia akan bahasa baru, yang berciri disrupsi. Seberapa paralel disrupsi puitik ini dengan disensus dalam politik?
Tidak langsung sama. Dalam disensus, tentu saja yang pokok adalah subyek yang menegakkan Yang Salah—atau subyek yang angkat bicara padahal ia tidak dibolehkan bicara. Dalam disensus, jalan untuk mengatasi pemilahan yang sensibel itu adalah dengan cara konfliktual. Dalam ide tentang bahasa baru, justru ada gagasan tentang mungkinnya suatu solusi. Utopia adalah tentang rekonsiliasi. Ada tegangan antara logika disensus dan logika rekonsiliasi.
Membaca pemikiran Anda tentang fiksi dan politik, tampak ada kesejajaran di antara keduanya; masing-masing berada di kekuatan tinggi saat menyuarakan yang tak terdengar, tapi sekaligus jadi sangat dekat dengan kepunahan sendiri. Betulkah?
Ya, saya kira begitu, karena politik adalah hal memberi eksistensi kepada orang-orang yang tidak terlihat, orang-orang yang tidak eksis. Politik bagi saya selalu ada di tubir. Memberi eksistensi, membuat terlihat, mereka yang dalam keadaan wajar tak terlihat, artinya membangun dunia yang sangat terancam punah, dunia kesetaraan. Yang kamu lihat pada revolusi, pada protes belakangan ini, adalah konstruksi yang rentan tentang dunia yang setara.
Normalnya, dunia kita disusun oleh ketidaksetaraan. Tapi, pada saat tertentu, untuk beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, terjadi usaha untuk menciptakan dunia kesetaraan dan inilah manakala politik benar-benar mendapatkan makna penuhnya.
Sastra, dengan cara yang sangat berbeda, memberi eksistensi kepada orang-orang yang normalnya tidak eksis, tidak menarik. Tradisi Le Belle Lettres menyuruh kita menulis drama tentang sosok yang menarik, penting, sanggup punya kedalaman rasa. Lalu, di Barat abad ke-19, ada momen ketika kita bisa menulis buku tentang perasaan dan pikiran seorang anak petani di kota kecil pedalaman, dan inilah yang saya sebut “demokrasi kesusastraan”, yang mungkin tak punya kaitan langsung dengan demokrasi politik, karena banyak penulis bisa saja melakukannya tanpa menjadi demokrat dalam politik.
Ada pahlawan emansipasi perempuan Indonesia, Kartini. Ia menulis surat, membuat dirinya terdengar, ia tahu pentingnya wicara. Dalam pemikiran Anda, wicara adalah persyaratan bagi adanya emansipasi. Kenapa? Mungkinkah ada emansipasi di luar wicara?
Saya tidak mengatakan bahwa wicara perlu untuk berargumentasi rasional, seperti dalam perspektif Habermasian. Bukan itu persoalannya. Wicara selalu telah di sana. Wicara adalah apa yang mengkonstruksi dunia. Dunia dominasi ini distrukturkan oleh oposisi yang, telah saya sebut, dibuat oleh Aristoteles, antara Logos—yang merupakan kelaikan manusia yang memungkinkan diskusi tentang keadilan dan ketidakadilan—dan Bunyi—yaitu kelaikan hewan untuk mengekspresikan nikmat atau sakit, yang bukan wicara. Oposisi ini telah menjadi pembagian batin. Dunia kita distrukturkan oleh sejenis hierarki wicara ini. Jadi wicara adalah inti masalah.
Nah, dalam emansipasi, Anda harus mendemonstrasikan bahwa Anda adalah makhluk wicara dan bukan hewan menggeram. Jadi yang penting bukanlah wicara itu sendiri, melainkan hierarki yang ada dalam wicara dan perlawanan terhadap hierarki tersebut.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, wawancara ini terbit di bawah judul "Politik Memberi Eksistensi kepada Orang-orang yang Tidak Eksis". Wawancara lengkap dengan Jacques Rancière dan seminar tentang pemikirannya akan diadakan di LIFEs pada Sabtu, 12 Agustus 2023