Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran karya Lempad di c|artspace.
Memperlihatkan sikap pelukis soal kompleksitas batin.
Menyoroti persoalan perilaku manusia.
PADA 1973, saya berjumpa dengan I Gusti Nyoman Lempad di kediamannya di Ubud, Bali. Ketika saya meminta mewawancarainya, sang maestro berusia 111 tahun itu menjawab lirih dalam bahasa Bali: “Rarisan, menawi Atu medue galah (Silakan apabila Anda punya waktu)." Putranya, I Gusti Made Sumung, memberikan isyarat bahwa saya beruntung. Tapi Sumung menuturkan bahwa Lempad di hari (sangat) tuanya sudah lupa bahasa Indonesia. “Padahal Aji (Ayah) bagus dalam berbahasa Indonesia, Belanda, dan Jerman.”
Maka pertanyaan wawancara pun disampaikan dalam bahasa Indonesia, lalu diterjemahkan ke bahasa Bali. Kemudian jawaban Lempad yang berbahasa Bali diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Jawaban yang disampaikan banyak yang relevan untuk direnungkan sampai sekarang. Lempad mengatakan dia sering melukis tentang Cupak Gerantang, legenda yang berasal dari Sasak, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cupak dan Gerantang adalah kakak-adik yang berlomba menyelamatkan Dewi Sekar Nitra, putri Raja Daha, yang diculik raksasa Manaru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerantang berhasil mengentaskan Nitra dari pengasingannya di lubang sumur nan dalam. Namun keberhasilan ini oleh Cupak diakui sebagai hasil perjuangannya. Raja yang tidak tahu kecurangan Cupak lantas mengangkat Cupak sebagai ahli waris takhta raja. Namun Nitra tahu benar bahwa sebenarnya yang menyelamatkannya adalah Gerantang. Sengketa politik pun terjadi. Tapi Gerantang, karena kurang pandai bicara, kalah dalam perkara.
“Kisah Cupak Gerantang akan terus terjadi dalam masyarakat Indonesia. Terutama di kasta menengah yang bertaut dengan kekuasaan. Semua saling menipu, menjegal, dan memakan,” ujar Lempad.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 9 Juli-9 Agustus 2023, puluhan karya Lempad (1862-1978) dipamerkan di c|artspace, Nusa Dua, Bali, dalam pameran "Darkness is White". Di sini lukisan Cupak Gerantang juga dipajang. Meski kertas lukisan itu sudah menguning dan kucal, gambaran keburukan karakter Cupak nyata membayang. Di kertas itu Lempad bertutur bahwa Cupak menjadi raja yang berfoya-foya dengan kuasa, harta, dan wanita. Garis-garisnya yang liris dengan persis menggubah wajah Cupak yang penuh senyum tapi bengis.
Di banyak kertasnya Lempad memang suka mengungkap sifat miring manusia. Lukisan Pangeran Kodok, misalnya, berkisah ihwal Pangeran Putu Oka yang berjasa meluhurkan nasib dan perilaku masyarakat Bali. Rangda tidak senang dengan kenyataan itu sehingga Oka lantas diperangi dan dikutuk menjadi seekor kodok. Namun, meski berwujud kodok, Oka tetap melakukan tugas baiknya. Malam dijaga dengan suaranya. Sawah dijaga dari serangan hama dengan lidahnya. Setiap orang disapa dengan teduh matanya.
Benda seni untu upacara ritual yang dipamerkan di c/artspace, Nusa Dua, Bali. Dok. Agus Dermawan T
Pada suatu hari si kodok menolong seorang putri sombong yang nyaris tercebur kolam lantaran selalu berjalan dengan wajah menengadah ke langit. Pertolongan kodok ini menyebabkan si putri menyadari kecongkakannya. Ia pun ingin memelihara kodok itu di rumahnya. Menimbang niat baik putri itu dan kebaikan hati kodok, semesta segera menggugurkan kutukan Rangda. Sosok kodok pun kembali menjadi Pangeran Putu Oka dan menikahi sang putri. Lempad menggambarkan kisah ini hanya dalam tarikan garis-garis tipis. Satu gaya yang melahirkan mitos agak salah kaprah bahwa Lempad adalah pelukis superminimalis.
Pameran ini menegaskan bahwa Lempad adalah pelukis yang mendalami tema-tema kompleksitas situasi batin dan perilaku manusia dalam hubungannya dengan kekuasaan dan masyarakat. Maka terpajanglah lukisan Impian Dharmawangsa yang mendongengkan firasat buruk dari alam niskala. Ada pula lukisan Ngereh yang menceritakan para setan sedang menghasut Rangda agar segera melepas para leak ke tengah kehidupan orang-orang yang sedang bahagia. Lempad sering mengatakan para leak akan selalu hadir sebagai oposisi atas ketenteraman, kebaikan, dan kenyamanan.
Lebih jauh, lewat Impian Dharmawangsa dan Ngereh, Lempad menunjukkan antusiasmenya dalam mengolah warna di sela-sela garis pena yang serba detail. Gradasi dari hitam dan abu-abu menuju putih ditampilkan dalam banyak sisi. Begitu juga pembubuhan warna merah marun, oker, dan kuning. Dua lukisan di atas seperti membuktikan bahwa Lempad tidak selalu terpaku pada yang minimalis. “Saya orang yang lekat dengan tradisi. Tapi saya orang bebas. Saya juga bisa memberontak terhadap diri saya sendiri,” ucapnya.
Kebebasan tersebut ia tunjukkan secara nyata ketika bergaul erat dengan Walter Spies dan Rudolf Bonnet, para patron seni lukis dalam perkumpulan Pita Maha. Ketika Spies dan Bonnet mendorong para pelukis Bali mendekat pada sekularisme, Lempad tetap berada dalam klasikisme dan tradisionalisme. Kemerdekaan Lempad juga ditunjukkan lewat puluhan karyanya yang menghadirkan gambaran liar hubungan seksual manusia, yang mengacu (atau bahkan lepas) pada primbon Kama Sutra.
Keagungan nama Lempad bukan hanya lahir dari lukisannya, tapi juga jenis ciptaannya yang lain. Ia juga terkenal sebagai undagi atau arsitek tradisional Bali yang ketat merujuk pada seni, filosofi, dan agama. Ia pembuat desain bade atau menara ngaben. Ia perancang ornamen pahat batu estetika bangunan. Ia bahkan menatah wayang kulit seperti yang didemonstrasikan lewat tatahan Dewi Saraswati yang amat detail dan “sangat modern”. Lempad tak lupa merancang bebanten atau perangkat persembahan dalam upacara sembahyang di pura.
Menariknya, pameran juga menyuguhkan maket kayu serta bebanten rancangan Lempad. Bahkan dipajang juga patung-patung serta topeng-topeng ciptaannya yang ternyata bentuknya serba buntet. Ini tidak seperti lukisannya yang mendeformasi obyek-obyeknya secara elongated (meninggi dan memanjang). Lukisan Lempad selama bertahun-tahun dikagumi sebagai karya agung, tapi (anehnya) tidak dipandang sebagai obyek tontonan. Itu sebabnya penggagas pameran ini mengemasnya dalam presentasi multimedia. Maksudnya tentu agar generasi milenial tertarik mengapresiasi.
I Gusti Nyoman Lempad (tengah). (Foto: Dok. Agus Dermawan T)
Maka ruang pun dibikin gelap. Dalam kegelapan itu, lampu secara otomatis pelan-pelan menyorot sejumlah obyek dan penonton dipersilakan menyimak. Beberapa jenak kemudian lampu menyurut, disambut lampu berbeda yang menerangi materi lain. Penonton diminta berpindah pandang sesuai dengan pergerakan cahaya. Dalam ruang lamat-lamat terdengar musik Bali. Di bagian lain replika bebanten Lempad, menyebar mewangi bunga dan dupa.
Presentasi multimedia ini menstimulasi tiga indra utama (penglihatan, pendengaran, dan penciuman) sehingga jagat Lempad pelan-pelan merasuk, mencatatkan kesan. Apalagi di tengah pameran ada layar hitam yang menayangkan video mapping perjalanan garis Lempad sebelum menjadi bentuk. Lalu dalam gelap ruangan itu saya mencari patung batu Rattenfänger von Hameln (Peniup Seruling dari Hamelin). “Itu patung kebanggaan. Karena itu saya taruh di depan rumah,” kata Lempad, 50 tahun lalu. Tapi pencarian saya nihil. Yang saya temukan adalah karya I Gusti Nyoman Sudara dan I Gusti Nyoman Darta, para pengikut Lempad.
Dengan materi yang mirip, pameran "Darkness is White" pernah digelar di Galeri Salihara, Jakarta, pada 2019. Namun pergelaran di Bali terasa jauh berbeda presentasi, ambience, lingkungan, tenget, dan suasana magisnya.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Cupak Gerantang sampai Sekarang"