Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pameran lukisan Lempad, maestro Bali.
Dominasi warna hitam dan putih serta garis.
Menampilkan jenis karya Lempad yang lain.
KEHIDUPAN seni I Gusti Nyoman Lempad tak lepas dari kehidupan di puri Istana Ubud, Bali. Selain karena darah seni dari ayahnya yang seorang undagi (arsitek) istana, ia pun meneruskan pengabdian ayahnya sebagai undagi yang nyaris terbuang keluar istana. Konon, ia belajar dari undagi lain sebelum akhirnya berinteraksi dengan seniman Barat, Walter Spies. Menurut pengamat seni Jean Couteau, Lempad berkarya setelah 1893, tatkala Puri Ubud I di bawah pimpinan Tjokorda Gde Raka Soekawati. Pemimpin ini mengalahkan penguasa dari Puri Negara di dekat Batuan dan menjadi penguasa terkaya di Bali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prestise kebesaran sang Raja kemudian diwujudkan dalam pembangunan gedung dan berbagai upacara yang sangat megah. “Inilah yang menjadi acuan antropolog Clifford Geertz untuk menyebut Bali sebagai sebuah negara teater,” katanya di sela-sela diskusi pameran karya I Gusti Nyoman Lempad, "Darkness is White", di Galeri c|artspace, Nusa Dua, Jumat, 21 Juli lalu. Ia mengatakan tugas arsitek adalah mewujudkan tapak atau kesaktian sang raja guna menjaga prestise kerajaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karyanya menonjol dengan warna monokrom dan garis-garis. Interaksi dengan Spies yang menetap di Ubud pada 1925 mengungkit kreativitas Lempad. Ia melihat garis bisa dijadikan alat untuk menciptakan gambar yang hidup. Apalagi saat itu mulai ada kertas yang memungkinkannya untuk menarik garis dengan sempurna. Sebelumnya Lempad melukis untuk kepentingan rerajahan di atas kain yang memiliki makna spiritual dalam upacara.
Couteau menyebutkan garis ala Lempad adalah sepenuhnya garis memori karena mengungkapkan ingatan yang penuh dan tanpa keterputusan ketika ia mulai ditarik di atas kertas. Ini berbeda dengan gaya pelukis modern yang memperlakukan garis sebagai sebuah metode untuk mengekspresikan gagasan mereka. Tema-tema lukisan Lempad tak jauh dari wiracarita populer seperti Mahabharata dan Ramayana. Namun dia pun menjelajah hingga cerita populer seperti kisah tentang leak dan kehidupan percintaan dalam Kama Sutra.
Pengaruh Lempad pada seni rupa modern Bali terpatri sejak ia bersama Spies dan Tjokorda Gde Agung Sukawati mendirikan komunitas perupa Pita Maha untuk mewadahi interaksi seniman Barat yang tinggal di Ubud dan seniman lokal. Menariknya, interaksi ini bersifat setara sehingga tidak cukup jelas bila disebut siapa mempengaruhi siapa. Menurut I Gusti Nyoman Darta, cucu Lempad, yang kini juga menjadi seorang pelukis, sebelum bertemu dengan Spies, kakeknya melukis manusia seperti membuat wayang yang baru hidup saat digerakkan. Setelah itu, Lempad melihat tubuh sebagai garis yang bergerak dengan bentuk yang berubah-ubah.
Tapi hal yang tak berubah adalah penggunaan tiga warna dasar atau tridatu dalam lukisan Lempad. Ketiga warna itu adalah merah sebagai lambang Dewa Brahma (pencipta), hitam simbol Dewa Wisnu (pemelihara), dan putih sebagai wujud Dewa Iswara/Syiwa (pelebur). Lalu diberinya sentuhan warna kuning keemasan. “Kuning itu lambang kejayaan, tapi pasti akan memudar. Sedangkan tridatu akan selamanya seperti itu,” Darta menyebutkan ucapan kakeknya tentang filosofi warna tersebut.
Karya Lempad juga banyak memperlihatkan erotisme. Menurut Jean Couteau, hal itu bagian dari pengaruh modernitas karena Lempad menjadi lebih berani mengeksploitasi tema-tema individual. Karya-karya itu menggambarkan perilaku seksual yang menyimpang, misalnya antara para buta dan binatang. Salah satu yang ditampilkan adalah Three Monkey. Couteau menyebutkan cerita tentang erotisme yang menyimpang sebenarnya hal umum dalam percakapan orang Bali saat itu. Kadang hal itu sebagai simbol interaksi kekuatan kosmologi. Tapi baru setelah bergaul dengan Walter Spies dan Rudolf Bonnet hal itu diekspresikan oleh Lempad dalam lukisan.
Selain puluhan lukisan karya sang maestro, ada pula topeng dan replika pembuatan bade yang dibongkar-pasang. “Ini karya yang unik dan mungkin digunakan Lempad sebagai media pembelajaran,” tutur Andar Manik, kurator pameran. Pengunjung pun bakal disuguhi animasi karya-karya Lempad sehingga mendapatkan sudut pandang yang baru. Yang menarik, sajian pun diakhiri dengan pemutaran film Lempad of Bali karya sutradara Australia, John Darling dan Lorne Blair, yang mendokumentasikan pengabenan Lempad. Dalam film itu terungkap bahwa sehari sebelum kematiannya pada 25 April 1978, Lempad telah memberikan isyarat dengan meminta salah satu anaknya menghaturkan sesaji khusus ke pura keluarga.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Monokrom dan Garis Memori"