Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Musim Panen Pinjaman Seret

Potensi kredit macet mengancam industri perbankan nasional. Angka rasio kredit bermasalah yang sebenarnya bisa dua kali lipat dari sekarang.

27 Maret 2017 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Muhammad Suhada kapok berurusan dengan pinjaman jangka pendek kreditor informal ataupun perorangan. Gara-gara pinjaman ini, Direktur Utama PT Malia Sahid itu terjerat beban utang dengan bunga mencekik 5-7 persen per bulan. Ia terpaksa mengajukan permohonan pinjaman ke kreditor informal hingga miliaran rupiah karena membutuhkan dana segar demi ekspansi proyek properti yang ditekuninya.

Ia membutuhkan suntikan dana untuk ongkos operasional, bayar tukang, dan biaya material. Sebelum ekspansi, ia telah memperoleh pinjaman bank untuk membiayai proyek sebelumnya. Namun pinjaman tersebut belum cair semua. Ia lantas mencari jalan pintas, berutang ke kreditor informal.

Perhitungannya salah. Proyek propertinya tak segera laku sehingga ia tak bisa membayar pinjaman. Akibatnya, utang ke bank dan kreditor informal menumpuk. Dua tahun lalu, Suhada harus kehilangan salah satu proyek besarnya lantaran gagal bayar ke bank. Walhasil, usaha propertinya di Yogyakarta diakuisisi perusahaan lain buat menutup utang. "Sekarang sudah insaf. Kalau bisa, jangan lagi," kata pengurus Kamar Dagang dan Industri Daerah Istimewa Yogyakarta itu kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Pinjaman ke kreditor informal banyak dilakukan sebagai alternatif. Selain prosesnya cepat, syaratnya mudah dan tanpa ikatan. Hal itu diakui Ketua Umum Koperasi Himpunan Pimpinan Pendidik Pelatihan Kewirausahaan Indonesia Rifat Saugi. Menurut dia, debitor yang tidak bankable biasanya akan mencarinya.

Tak hanya memodali proyek, Rifat bahkan berani menawarkan takeover kredit di bank. Fasilitasnya mulai ratusan juta hingga satu triliun rupiah. "Dibandingkan dengan kami, bunga perbankan memang lebih murah," ujar Rifat kepada Tempo, Kamis pekan lalu. "Tapi yang saya tangani biasanya orang yang menghindari bank."

Menurut Suhada, kontraktor atau supplier proyek pemerintah ataupun swasta sudah biasa memanfaatkan pembiayaan tenor pendek berbunga tinggi. Modal awal biasanya datang dari pinjaman personal. Sedangkan biaya konstruksi didapat dari berutang ke bank. Saat dana bank cair, pinjaman personal langsung dilunasi.

Kala perekonomian baik, kebiasaan itu tak memicu masalah. "Sekarang properti tak laku, bunga utang terus menggelembung, akhirnya gagal bayar," kata Suhada. Kejadian ini banyak dialami pengusaha lain, termasuk kontraktor yang menggarap proyek-proyek infrastruktur. Padahal mereka harus melunasi pinjaman ke bank. Seorang pemasok yang biasa menggarap proyek PLN membenarkan hal tersebut. Ia mengatakan pembayaran proyek kerap telat.

Tak aneh bila kredit macet atau non-performing loan (NPL) sektor konstruksi melambung tinggi. Menurut catatan statistik perbankan yang dipublikasikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), per Januari lalu NPL sektor konstruksi mencapai 4,51 persen. Angka ini cukup mengkhawatirkan karena sudah mendekati ambang batas 5 persen.

Rata-rata rasio kredit macet industri perbankan Januari lalu adalah 3,09 persen (gross) dan 1,31 persen (net). Naiknya kredit macet ini memaksa bank menambah pencadangan. Akibatnya, laba mereka tergerus. Laba Bank Mandiri, misalnya, menyusut hingga 30 persen lebih. Sedangkan Bank Permata Tbk menangguk kerugian hingga Rp 6 triliun.

Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III OJK Irwan Lubis mengatakan angka ini mengalami kenaikan bila melihat kualitas kinerja perbankan tahun-tahun sebelumnya. Pada 2015, NPL masih di level 2,2 persen. Tahun lalu, rasio kredit macet menyentuh 2,98 persen.

Menurut Irwan, risiko kredit macet meningkat meski harga komoditas mulai membaik dan banyak bank melakukan restrukturisasi. "Tapi itu masih terkendali," ujarnya Rabu pekan lalu.

Risiko kredit macet menjadi risiko paling besar di industri perbankan. Survei yang dilakukan PricewaterhouseCoopers terhadap industri perbankan Indonesia pada 2017 mencatat, NPL masih menjadi kekhawatiran utama para bankir Indonesia. Sebanyak 94 persen bankir yakin NPL masuk tiga tantangan tertinggi tahun ini.

Angka itu jauh dibandingkan dengan survei 2015 dan 2014, yang mencatat 67 persen dan 49 persen bankir khawatir kredit macet menjadi ancaman utama. "Sensitivitas terhadap risiko kredit berada pada tingkat tertinggi sejak kami melakukan survei pada 2010," kata Financial Service Industry Leader PricewaterhouseCoopers Indonesia David Wake dalam keterangan persnya pada awal Maret lalu.

Itu sebabnya, anggota Komisi Keuangan dan Perbankan Dewan Perwakilan Rakyat, Andreas Eddy Susetyo, meminta regulator dan industri perbankan lebih waspada menghadapi risiko kredit macet. Menurut dia, angka kredit macet yang sebenarnya bisa lebih tinggi daripada yang dipublikasikan saat ini. "Faktualnya, angka NPL gross bisa dua kali lipat dari yang sekarang," ujar Andreas, Selasa pekan lalu.

Menurut dia, angka NPL sekarang tampak lebih rendah karena ada relaksasi dari OJK. Relaksasi yang dimaksud adalah Peraturan OJK Nomor 11 Tahun 2015 tentang Ketentuan Kehati-hatian dalam Rangka Stimulus Perekonomian bagi Bank Umum. Aturan itu terbit pada Agustus 2015 dan berlaku hingga dua tahun.

Dalam peraturan itu, OJK banyak memberikan kelonggaran bagi bank dalam perhitungan restrukturisasi piutang. "Misalnya, dengan aturan itu, debitor yang semestinya sudah call 3 (seret) masih bisa dikategorikan call 2 (sulit bayar)," kata Andreas.

Pelonggaran aturan restrukturisasi kredit bermasalah itu dimanfaatkan bank untuk mempercantik kualitas kreditnya. Sejumlah bank besar telah berhasil menekan NPL dengan memanfaatkan stimulus tersebut mulai akhir tahun lalu. Di antaranya PT Bank Negara Indonesia Tbk, PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank CIMB Niaga Tbk, PT PermataBank, dan PT Bank Central Asia Tbk. Empat bank BUMN bahkan menghapus buku (write off) kredit macet hingga Rp 24,8 triliun tahun lalu.

Seorang kepala departemen pengawas bank di OJK mengungkapkan kekhawatiran serupa. Menurut dia, angka kredit macet yang sebenarnya akan terlihat bila relaksasi OJK berhenti pada Agustus 2017. Ia memperkirakan akan banyak lagi yang jatuh mulai tahun ini. Sebab, bila relaksasi dibuka, banyak bank belum siap.

Anggota Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Destry Damayanti, menduga relaksasi itu membuat banyak debitor yang seharusnya sudah berkategori seret (call 3 atau 4) bisa direstrukturisasi. Dengan begitu, debitor tetap berada pada kategori kesulitan cicilan (call 2). Bahkan relaksasi itu memungkinkan nasabah lancar (call 1) melakukan restrukturisasi.

Destry khawatir karena debitor yang masuk kategori call 2 ini sangat banyak. Bila dilihat secara keseluruhan, angkanya mencapai Rp 997 triliun. Padahal total kredit nasabah call 3 sampai 5 (macet) hanya Rp 197 triliun. Total kredit perbankan saat ini Rp 4.313 triliun. "Kalau ada kontraksi ekonomi di luar perkiraan, yang call 2 ini jatuh menjadi NPL," kata Destry.

Irwan Lubis mengatakan kebijakan pelonggaran diberikan sebagai upaya contra cyclical menghadapi situasi yang masih lesu pada 2015-2016. Upaya pelonggaran itu untuk memberi waktu debitor dan bank bernapas. Sebab, kemampuan debitor membayar tengah menurun akibat permintaan domestik dan harga komoditas yang turun.

Selama dua tahun bank-bank dilonggarkan untuk merestrukturisasi kreditnya. OJK menilai restrukturisasi sejumlah perbankan cukup berhasil. Rasio kredit macet sebagian debitor cenderung bergerak ke arah yang lebih baik. "Perbaikan akibat dari restrukturisasi ini berkontribusi 1-1,5 persen ke perbaikan NPL," ujar Irwan Lubis. Menurut dia, OJK akan mengevaluasi apakah kebijakan tersebut dilanjutkan atau dihentikan pada Agustus nanti.

l l l

BILA dilihat per sektor, peringkat pertama rasio kredit bermasalah adalah sektor pertambangan. Rasio kredit macet di sektor ini menyentuh 6,29 persen. Angka ini sedikit membaik dibandingkan dengan NPL sektor pertambangan per Juli 2016, yang mencapai 6,77 persen.

Gara-gara itu, kata Sekretaris Jenderal Asosiasi Pemegang Izin dan Kontraktor Tambang Kalimantan Selatan Muhammad Solikin, perbankan menghindari pengucuran kredit ke usaha pertambangan. Walhasil, perusahaan jasa tambang menghadapi kesulitan serupa.

Meski kini harga komoditas berangsur pulih, perbankan masih menghindari pengucuran kredit ke sektor ini. Sedikitnya 70 persen dari 845 pemegang izin usaha pertambangan di Kalimantan Selatan berhenti berproduksi. Di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, NPL tambang di atas 40 persen.

Destry Damayanti mengatakan sektor pertambangan terkena imbas akibat jatuhnya harga komoditas. Itu terjadi karena kondisi perekonomian global dan domestik belum membaik. "Risiko NPL batu bara cukup besar," ujar Destry.

Menurut dia, NPL tambang dan penggalian melonjak tinggi akibat booming komoditas dalam 10 tahun terakhir. Puncaknya pada 2010-2011, saat bank jorjoran mengucurkan kredit ke sana. Di luar perhitungan, harga ternyata anjlok pada 2014. Kredit macet terjadi sejak 2015 hingga sekarang.

Direktur Utama PT Bank Mandiri Tbk Kartiko Wirjoatmodjo mengatakan rasio kredit macet naik akibat imbas penurunan harga komoditas. Bank pelat merah ini sebenarnya tidak memberikan pinjaman ke tambang batu bara sehingga tidak terkena efek langsung pada 2014. Efeknya baru terasa pada 2015-2016 karena pelemahan harga komoditas berimbas ke sektor lain. "Di secondary impact, baru kami kena," kata Kartiko saat ditemui pada Kamis pekan lalu.

Tingginya angka kredit macet sepanjang tahun lalu itu lantaran Mandiri terlalu agresif mengucurkan pinjaman di segmen menengah. Segmen korporat yang menjadi basis nasabah Mandiri relatif stabil dengan NPL 1 persen. Adapun rasio kredit bermasalah sektor komersial melejit hingga menyentuh 10-an persen. "Kalau 1998, yang banyak kena debitor korporat. Pada siklus kali ini paling besar di segmen menengah," ujar Kartiko.

Ia membenarkan, kredit komersial sudah oversized. Dari total Rp 500-an triliun kredit yang dikucurkan, sebanyak Rp 160 triliun untuk nasabah komersial dan Rp 50 triliun nasabah bisnis. Di segmen ini, plafon kredit per debitor mulai Rp 100 miliar hingga Rp 1 triliun. Di sektor inilah banyak pengusaha kelas menengah yang ingin naik kelas dengan banyak mengajukan permohonan pinjaman.

Sektor industri di segmen ini antara lain industri pendukung tambang dan migas, seperti tongkang, kontraktor, dan persewaan rig. Saat harga minyak dan batu bara jatuh, mereka rontok. Sektor lain adalah sektor yang dulu bersaing dengan barang impor, misalnya baja. Pengusaha di sektor ini rontok saat baja Cina menyerbu Indonesia. Segmen lain adalah rokok dan kertas. Saat permintaan turun, hanya perusahaan kertas besar yang bertahan.

Menurut Kartiko, hampir semua kreditor menengah terkena imbas pelemahan harga komoditas. Bank Mandiri banyak mengucurkan kredit kepada pengusaha menengah saat ekonomi menggeliat pada 2010-2011. "Maksud kami ingin bangun sektor riil. Ternyata risikonya besar juga," kata Kartiko.

Ada juga debitor nakal. Mandiri adalah satu dari tujuh bank yang "tertipu" kredit bodong Rockit Aldeway. Perusahaan pemecah batu ini menggangsir dana Rp 836 miliar. Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI menemukan adanya dugaan suap kepada pegawai Bank Mandiri agar memuluskan pinjaman Rockit.

Bank Mandiri juga membawa 17 debitornya ke ranah hukum. Kartiko mengakui, melonjaknya kredit macet dan terungkapnya kasus fraud disebabkan oleh mekanisme kerja di perbankan yang agak kendur.

Agus Supriyanto, Ayu Prima Sandi


Tertekan Kredit Bermasalah

MENGEREM rasio kredit macet menjadi pekerjaan rumah industri perbankan hari-hari ini. Setelah pada akhir 2016 rasio kredit naik dari tahun sebelumnya, angka rasio pinjaman bermasalah terus melaju hingga menembus level 3 persen per Januari lalu. Otoritas Jasa Keuangan menyebutkan penyebab utama situasi ini adalah harga komoditas yang masih fluktuatif dan kondisi perekonomian yang lesu. Meski mayoritas bankir melihat kondisi pasar tahun ini akan membaik, risiko terhadap kredit tetap perlu diwaspadai.

Perkembangan NPL Perbankan Nasional (persen)
2011: 2,17
2012: 1,87
2013: 1,77
2014: 1,16
2015: 2,49
2016: 2,9

Lima Besar Kontributor NPL Secara Nominal (persen)
Perdagangan besar: 27,4
Pengolahan: 20,3
Perikanan dan pertanian: 11,5
Pertambangan dan galian: 10,3
Transportasi: 6,27

Pertumbuhan Kredit Macet Bank BUMN (Rp triliun)
2012: Total Kredit 959,13 NPL: 21,25 (2,22%)
2013: 1.181,73 22,47 (1,9%)
2014: 1.325,09 25,64 (2,33%)
2015: 1.536,85 35,74 (2,99%)
2016: 1.759,78 50,34 (2,99%)
2017 (januari): 1.744,05 52,21 (2,99%)

Nilai Hapus Buku Kredit Macet Bank BUMN (Rp triliun)

Bank Mandiri:
2015: 5,99
2016: 11,41
Perubahan: 90,34%

BRI
2015: 7,81
2016: 8,47
Perubahan: 8,42%

BNI
2015: 2,47
2016: 3,18
Perubahan: 71,7%

BTN
2015: 1,25
2016: 1,71
Perubahan: 36,82%

Kinerja Bank Umum Konvensional

CAR (%)
Desember 2016
22,93
Januari 2017
23,21

ROA (%)
Desember 2016
2,23
Januari 2017
2,46

BOPO (%)
Desember 2016
82,22
Januari 2017
83,94

LDR (%)
Desember 2016
90,70
Januari 2017
89,59

Laju Pertumbuhan Kredit Perbankan (%)
2012: 23
2013: 21,4
2014: 11,4
2015: 10,1
2016: 7,87
2017: 10-12 (estimasi)

Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Laporan Keuangan Perbankan (diolah Tempo)

Glosarium
NPL: Rasio kredit bermasalah atau non-performing loan
CAR: Rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio
ROA: Return on assets
BOPO: Beban operasional dan pendapatan operasional
LDR: Rasio kredit berbanding penerimaan dana atauloan-to-deposit ratio

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus