Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KARTIKO Wirjoatmodjo tidak berbasa-basi saat menceritakan rapor Bank Mandiri. Pada Kamis petang pekan lalu, direktur utama bank pelat merah ini mengakui tingginya angka kredit macet sepanjang tahun lalu akibat terlalu agresif mengucurkan pinjaman bagi nasabah di segmen menengah. "Exposure kami di segmen ini oversized. Hal ini yang sedang kami bereskan," kata Kartiko saat ditemui Tempo di ruang kerjanya.
Kinerja bank berkode BMRI ini menurun sepanjang tahun lalu. Salah satu indikatornya adalah rasio kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) yang melonjak ke level 3,96 persen pada akhir 2016. Padahal, pada periode yang sama tahun sebelumnya, rasio kredit macet Bank Mandiri hanya 2,29 persen. Walhasil, laba BMRI pada tahun lalu merosot 32,1 persen menjadi Rp 13,8 triliun. "Pukulan kami berat karena 43 persen portofolio kredit berasal dari segmen menengah," ujarnya.
Persoalannya, meningkatnya rasio kredit macet tak cuma terjadi di Bank Mandiri. Menurut Deputi Komisioner Pengawasan Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan Irwan Lubis, NPL perbankan nasional terus merangkak naik. Pada akhir tahun lalu, NPL perbankan mencapai 2,9 persen. Ini lebih tinggi 5 basis point ketimbang posisi pada akhir 2015 sebesar 2,4 persen. "Per Januari 2017 ini malah hampir menyentuh 3,1 persen," kata Irwan, Rabu pekan lalu.
Itu sebabnya, menurut Irwan, mayoritas bank mulai berbenah. Bank Mandiri, misalnya, sudah diminta mengevaluasi sistem pemberian kredit di kantor cabang atau wilayah. "Ada pendelegasian wewenang pemberian kredit yang cukup tinggi," ucap Irwan. "Tapi tidak dilengkapi sarana dan SDM yang kompetensinya memadai."
Selama ini, menurut Kartiko Wirjoatmodjo, Bank Mandiri memberikan kewenangan persetujuan kredit maksimal Rp 250 miliar kepada kantor wilayah. Alasannya, situasi perekonomian yang bagus membuat permintaan kredit dari perusahaan menengah yang ingin berekspansi kian pesat. Persetujuan kredit yang semula hanya di kantor pusat didelegasikan untuk mempercepat proses penyaluran pinjaman.
Persoalannya, tak ada yang bisa menduga penyaluran pinjaman mulai macet pada akhir 2016. Untuk mengerem laju kredit bermasalah, mulai Maret ini perseroan memutuskan hanya memberi kewenangan persetujuan kredit di kantor wilayah maksimal Rp 10 miliar per nasabah.
Tak cuma itu, Bank Mandiri akan melanjutkan program restrukturisasi utang. Terutama, kata Kartiko, untuk debitor yang cash flow dan bisnisnya sehat tapi tidak memiliki cukup dana untuk membayar bunga. Perseroan akan menghapusbukukan pinjaman (write off) dan melakukan penagihan (collection). "Kami juga menggeser penyaluran kredit ke korporasi dan sektor mikro serta konsumer," katanya.
PT Bank Permata Tbk juga menggeber strategi bersih-bersih. Direktur Utama Bank Permata Ridha D.M. Wirakusumah mengatakan perusahaan meningkatkan pencadangan Rp 12,2 triliun, naik tiga kali lipat dari 2015 yang hanya Rp 3,6 triliun. Perseroan menempuh upaya ini demi menahan laju NPL kotor yang pada akhir 2016 menyentuh level 8,83 persen, naik dari 2,74 persen pada akhir 2015.
Permata akan memperoleh suntikan modal melalui rights issue Rp 3 triliun. Kebijakan ini demi menuntaskan program serupa yang dimulai tahun lalu sebesar Rp 5,5 triliun. "Kedua rights issue ini akan meningkatkan cadangan modal Bank Permata Rp 8,5 triliun," ujar Ridha lewat keterangan tertulis, Selasa pekan lalu.
Cara lain menurunkan kredit macet adalah menjual aset bermasalah. Dalam keterbukaan informasi ke Bursa Efek Indonesia pada Jumat dua pekan lalu, Bank Permata menyebutkan telah menjual kredit bermasalah sebesar Rp 1,12 triliun. Tanpa menyebutkan nama debitor, Wakil Direktur Utama Bank Permata Julian Loong Choon Fong mengatakan pembeli aset bermasalah ini adalah perusahaan Luksemburg, yakni CVI CVF III LUX Master SARL. Penandatanganan perjanjian jual-beli tagihan bersyarat ini, kata Julian, dilakukan pada 4 Maret 2017. Adapun pembayaran diterima pada 8 Maret 2017.
Ayu Primasandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo