Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tiga bulan belakangan, pengawas perbankan Otoritas Jasa Keuangan sering bekerja ekstrakeras. Jadwal rapat sekitar 900 pengawas itu bertambah banyak dan kerja lembur tak terelakkan. Tak sekadar menjalankan tugas pengawasan, auditor senior juga harus berbagi ilmu kepada auditor baru hasil rekrutmen, yang jam terbangnya belum lama. "Waktu kerja lebih panjang, rapat menjadi lebih banyak," kata Irwan Lubis, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan OJK, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Kerumitan itu lantaran jumlah pengawas perbankan OJK yang menyusut. Sejak Januari lalu, dari 1.173 auditor, sekitar 300 karyawan "pulang kampung" ke tempat kerja lama, yakni Bank Indonesia. Sisanya bertahan di OJK. Mereka pengawas perbankan Bank Indonesia yang diperbantukan ke OJK sejak tiga tahun lalu.
Migrasi auditor itu akibat berpindahnya kewenangan pengawasan perbankan dari bank sentral ke OJK. Berstatus sebagai pegawai yang diperbantukan, ribuan auditor itu diberi kesempatan memilih berkarier di Bank Indonesia atau OJK paling lambat dua tahun setelah kepindahan. Referendum digelar dua tahun lalu. Tenggat bagi pegawai untuk memilih jatuh pada Desember 2015. Hasilnya, sekitar 30 persen karyawan memilih balik ke Bank Indonesia. Arus balik dari OJK ke Bank Indonesia resmi dimulai pada 1 Januari 2017.
Irwan menilai berkurangnya jumlah auditor bakal mempengaruhi kinerja pengawasan terhadap industri perbankan. Pengawas ini bertugas menilai kesehatan perbankan yang menyangkut empat aspek, yaitu kekuatan permodalan, profil risiko, kemampuan bank mencetak laba atau rentabilitas, serta tata kelola yang bertanggung jawab atau governance. Untuk menghindari bolong-bolong pengawasan, OJK merekrut auditor dari industri perbankan.
Langkah ini memikat sejumlah auditor di perbankan karena upah di lembaga Otoritas lebih jumbo ketimbang di industri bank. Direktur Utama Bank Mandiri Kartiko Wirjoatmodjo mengakui ada perpindahan sekitar 20 tenaga pengawas kredit ke OJK. Perpindahan ini membuat manajemen Mandiri ketar-ketir. "Saya bilang jangan banyak-banyak," katanya. Walhasil, pengawasan Bank Mandiri dilakukan oleh mantan pegawainya yang sekarang bekerja untuk OJK. "Kita diawasi oleh mantan anak buah."
Bukan hanya kehilangan auditor berpengalaman, Bank Mandiri juga kesulitan mendapatkan auditor baru berkualitas. Alasannya, OJK juga merekrut pengawas yang baru lulus sarjana. Industri bank kalah dengan OJK karena tawaran gaji di OJK jauh lebih menggiurkan. Di OJK, karyawan baru bergaji Rp 12 juta per bulan. Adapun gaji karyawan baru di bank BUMN sebesar Rp 8 juta per bulan. Ini membuat bank BUMN seperti Mandiri kesulitan mendapatkan pengganti auditor yang pindah ke OJK.
Kondisi ini bisa membuat kinerja pengawasan terhadap pengucuran kredit melemah. Apalagi Irwan Lubis menyebutkan ada sejumlah temuan mengenai lemahnya sistem pengendalian internal kredit bermasalah. Buruknya sistem pengendalian karena ada penyimpangan terhadap standar operasional yang ditetapkan OJK. "Ada pemberian kredit yang tidak hati-hati dan analisisnya tidak prudent," ujarnya.
Meski demikian, Irwan enggan menyebutkan buruknya sebagian pengendalian internal di industri perbankan merupakan imbas tersedotnya sumber daya manusia ke OJK. Namun, bila rekrutmen OJK benar berdampak seperti itu, Irwan menilai seharusnya manajemen bank sudah menyiapkan antisipasi. "Kalau kurang orang, jangan dibiarkan," ucapnya.
Akbar Tri Kurniawan, Agus Supriyanto, Ayu Primasandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo