Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI ATAS tanah kosong sebelah pabrik kabel di Jalan Daan Mogot Kilometer 16, Jakarta Barat, akan dibangun 25 menara apartemen. Selasa pekan lalu, puluhan pekerja sudah berkumpul di lahan seluas 16 hektare tersebut.
Mereka hendak memulai pembangunan kantor pemasaran apartemen Daan Mogot City atau kerap disingkat Damoci. Kantor pemasaran kompleks apartemen ini berlantai empat. Lantai dua akan menjadi ruang display apartemen itu.
Siang itu Slamet Bokir, mandor bagian kelistrikan, sedang memotong besi ketika anak buahnya, Yanto, melintas di antara percikan bunga api. "Bos," kata Yanto menyapa. Slamet, yang berasal dari Sragen, Jawa Tengah, sudah sebulan menggarap kantor pemasaran Damoci. Ia mengajak beberapa buruh, termasuk Yanto, asal Surakarta, Jawa Tengah. Siang itu Yanto bertugas membolongi atap buat jalan masuk kabel.
Tak jauh dari Yanto, seorang pekerja asal Cina mengelas baja rangka balkon apartemen. Lelaki itu berjongkok di atas rangka balkon lantai dua untuk menyambung potongan baja ringan. Dia baru mengaitkan cantelan tali pengaman tubuh ke rangka baja tumpuan bila mengelas dengan posisi setengah berdiri.
Ketika pekerja asal Cina itu mengelas rangka balkon, Marketing Vice Manager Greentown China Holdings Limited Rocky Lu berkeliling memeriksa kesesuaian rancang bangunan. "Saya sementara akan menetap di Indonesia untuk proyek ini," ujar Rocky dengan bahasa Inggris yang fasih.
Apartemen Daan Mogot City menjadi penanda hadirnya China Communications Construction Company Limited Group (CCCG) sebagai pemain baru bisnis properti di Indonesia. Damoci akan digarap oleh Greentown, anak usaha CCCG di bidang properti. Kelompok usaha milik pemerintah Cina itu sebetulnya sudah 20 tahun mengerjakan sejumlah proyek konstruksi di Indonesia dengan bendera PT China Harbour Indonesia.
Sejak tiga tahun lalu, CCCG membeli tanah di Daan Mogot. "Karena pasar properti di sini bagus. Makanya kami berani," kata General Manager Sales Marketing PT China Harbour Indonesia Ferry Thahir, Rabu dua pekan lalu.
Untuk mewujudkan apartemen jumbo ini, perusahaan menyiapkan US$ 1 miliar atau setara dengan Rp 12,9 triliun. US$ 100 juta di antaranya buat belanja lahan. Pada tahap pertama, CCCG akan membangun delapan menara dengan 250-400 unit apartemen setiap tower. Pembangunan akan dimulai pada Maret 2017 dan diharapkan selesai akhir 2019. Perusahaan asal Cina itu mengembangkan proyek ini tanpa rekan bisnis lokal. "CCCG sudah 20 tahun di sini. Sudah hafal harga paku di Indonesia," ucap Ferry.
Damoci membidik konsumen segmen menengah dan menengah ke bawah dengan bukaan harga Rp 400-an juta atau Rp 15 juta per meter persegi. Ini berbeda dengan kebiasaan Greentown yang selalu membidik konsumen kelas atas.
Menurut Ferry, tantangan terbesar bagi CCCG adalah memperbaiki citra produk Cina yang dianggap murahan oleh sebagian besar konsumen Indonesia. "Sudah kami ajak beberapa agen untuk melihat garapan Greentown di Cina biar mereka tahu bagaimana hasil kerja kami," ujarnya.
Head of Research & Consultancy PT Savills Consultants Indonesia Anton Sitorus menilai ekspansi CCCG ke bidang properti sebagai upaya Cina mengekspor kapital ke luar negeri. Pemerintah Cina memang sering menugaskan ekspansi itu kepada perusahaan milik negara. "Indonesia salah satu destinasi investasi yang penting bagi Cina," kata Anton di kantornya di Jakarta, Jumat tiga pekan lalu.
CCCG melirik bisnis properti di Indonesia, menurut Anton, karena pasar properti di negeri asalnya makin jenuh. Anton pernah berdiskusi dengan perwakilan Beijing Urban Construction Group (BUCG), BUMN properti milik Cina lainnya, beberapa waktu lalu di Beijing. Menurut pengurus Beijing Urban, banyak wilayah di Cina yang menjadi "kota hantu" karena kelebihan pasokan hunian. "Pasarnya enggak terlalu besar. BUCG juga mulai mencari pasar ke negara lain," ujar Anton.
Selain kemunculan CCCG, bisnis properti tahun depan akan kedatangan pemain yang sebelumnya tak pernah "menjawil" sektor hunian. Salah satunya kelompok usaha Astra International (ASII). Grup bisnis ini sebelumnya lebih banyak bermain di sektor otomotif. "Empat tahun lalu Astra tak main properti. Sekarang kami bangun apartemen Anandamaya Residence," kata Presiden Direktur Astra International Prijono Sugiarto di World Trade Centre 2, Jakarta, akhir September lalu.
Astra menggelontorkan Rp 3,5 triliun untuk menggarap apartemen supermewah Anandamaya. Mereka menawarkan Anandamaya sebagai hunian "wah" di jantung bisnis Jakarta. Bukaan harganya saja Rp 95 juta per meter persegi. Unit terkecil, seluas 131 meter persegi, harganya Rp 12,5 miliar. Unit termegah luasnya 363 meter persegi. Harganya tinggal dikalikan saja. Unit paling mewah itu mengusung paket komplet dengan empat kamar tidur dan kolam renang pribadi. "Total ada 509 unit apartemen. Sudah laku 91 persen," ujar Prijono.
Keberanian Astra menapaki bisnis properti, menurut Anton Sitorus, tidak lepas dari tabungan tanah mereka di Jalan Jenderal Sudirman, Jakarta. Dukungan juga datang dari pemegang saham mayoritas Astra, Jardine Cycle & Carriage, anak usaha grup bisnis Jardine Matheson yang berbasis di Hong Kong. Lewat Jardine Strategic, kelompok Jardine Matheson pun menguasai 50 persen saham Hong Kong Land Holdings Ltd. "Sebagai perusahaan besar, Astra bisa dibilang terlambat masuk bisnis properti," kata Anton.
Untuk menggarap Anandamaya, Astra dan Hong Kong Land patungan mendirikan PT Astra Land Indonesia. "Akan ada proyek kedua dan ketiga lagi," ucap Prijono. Belum genap sebulan Prijono bicara, Astra Land sudah meneken kesepakatan membentuk perusahaan patungan dengan anak usaha PT Modernland Realty Tbk, PT Mitra Sindo Makmur, untuk mengembangkan lahan perumahan skala kota seluas 70 hektare di Jakarta Timur.
Kemunculan Astra dan CCCG dalam bisnis properti nasional, menurut Executive Director of Investment Cushman & Wakefield Indonesia Handa Sulaiman, sebetulnya tidak mengagetkan. Astra memang belum berpengalaman tapi berkongsi dengan Hong Kong Land yang sudah jago. Sedangkan CCCG memilih membawa Greentown. "Pada tahun-tahun mendatang, mereka bakal terus membesar. Itu," kata Handa, "akan menggairahkan bisnis properti Jakarta."
Pemain asing lain di industri hunian pada tahun depan adalah Tokyu Land. Anak usaha Tokyu Fudosan Holdings, Jepang, ini sudah puluhan tahun mengembangkan hunian di Indonesia. Tapi sebelumnya mereka hanya memegang saham minoritas. Salah satu proyeknya, kondominium Setiabudi Sky Garden, Jakarta, mereka bangun bersama dengan PT Jakarta Setiabudi International Tbk, Shimizu, dan Frasers Hospitality.
Mulai akhir tahun ini, Tokyu berupaya berdikari di atas merek sendiri. Mereka mengusung kondominium BRANZ Simatupang, Jakarta Selatan, dan BRANZ BSD, Tangerang Selatan. Dua apartemen menengah ke atas itu baru beroperasi mulai 2018, tapi pemasarannya sudah gencar. Dua pekan lalu, Sales Executive BRANZ BSD Joni Rahmat sibuk merayu pengunjung Mal Gandaria City di Jakarta Selatan. Joni berusaha mengajak pengunjung mal mampir ke gerai BRANZ yang menawarkan kondominium dengan harga mulai dari Rp 1,2 miliar.
Menurut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia Eddy Hussy, ramainya pemain properti asing tidak bisa dielakkan. Dia pun waswas terhadap pebisnis properti dari Cina yang kerap menawarkan harga lebih murah. Meski begitu, "Kalau ada yang bisa bikin hunian lebih murah, pertanda baik juga," ujar Eddy di Senayan, Jakarta, Jumat dua pekan lalu.
Eddy mendesak pemerintah memperhatikan pengusaha properti lokal agar bisa bertahan dari gempuran asing. "Bagaimanapun, yang mengawali bisnis properti adalah pengusaha lokal," katanya. "Jangan setelah mulai manis langsung dicaplok asing."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo