Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM dua tahun terakhir, Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Riau menerima laporan pengaduan dari puluhan anggotanya. Termasuk yang paling sering melapor adalah pengembang rumah murah di Kabupaten Kampar, Riau. Isi pengaduan mereka serupa: merajalelanya pungutan liar dalam mengurus pembangunan rumah murah di kota itu.
Menurut Ketua Apersi Riau Idham Khalik, pungutan liar menghadang pengembang dari rukun tetangga, kelurahan, kecamatan, hingga kantor dinas pekerjaan umum kabupaten. Ketika mengurus izin mendirikan bangunan satu unit rumah masyarakat berpenghasilan rendah lancar, misalnya, pengembang harus menyiapkan Rp 50 ribu untuk lurah dan Rp 100 ribu buat camat. "Karena pungutan liar, ongkos perizinan rumah murah bisa mencapai jutaan," kata Idham.
Kendati memberatkan, menurut Idham, pengembang terpaksa membayar pungutan liar. Soalnya, mereka tak mau kehilangan kesempatan karena lokasi pembangunan rumah di kota itu cukup strategis. Posisinya tak jauh dari pusat pendidikan.
Asisten II Bidang Perekonomian dan Pembangunan Provinsi Riau Masperi tidak menampik kabar bahwa masih ada pungutan liar kepada pengembang perumahan murah di daerahnya. Termasuk, menurut dia, di Kabupaten Kampar. Dia berjanji akan berkoordinasi dengan Pemerintah Kabupaten Kampar untuk menindaklanjuti laporan pungutan liar dari kelurahan sampai tingkat dinas. "Kalau terbukti, akan kami sikat habis," ucapnya.
Berdasarkan laporan yang masuk ke Apersi, pungli dapat menaikkan ongkos perizinan menjadi 2-10 kali lipat. Kondisi ini, menurut Ketua Umum Apersi Edi Ganefo, mempersulit pembangunan rumah murah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. "Selama ini pembangunan rumah murah selalu tersandung pembiayaan," ujarnya.
Edi menambahkan, rendahnya permintaan pasar dan terbatasnya akses ke perbankan menyulitkan pengembang membangun perumahan murah seperti keinginan pemerintah. Dari kebutuhan rumah murah sebanyak 11,4 juta unit yang dirilis Badan Pusat Statistik 2015, sekitar 80 persen konsumennya merupakan pekerja informal. Mereka termasuk kalangan yang sulit mendapatkan fasilitas pembiayaan perumahan dari bank.
Untuk membantu pembiayaan rumah murah, tahun ini pemerintah mengalokasikan dana subsidi sebesar Rp 11,7 triliun. Angka itu membantu pembiayaan 837 ribu unit rumah murah. Sebanyak Rp 9,2 triliun dicairkan dalam skema Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) dan Rp 2,5 triliun dalam skema Subsidi Selisih Bunga (SSB). Karena dana FLPP telah habis terserap, pemerintah kini mengandalkan skema SBB. Namun, dari target 400 ribu rumah dalam skema terakhir, realisasinya baru 37 ribu unit.
Menurut Edi, perbankan tidak tertarik memfasilitasi skema subsidi selisih bunga karena harus menanggung kredit seratus persen. Sedangkan dalam skema fasilitas likuiditas pembiayaan, rasio kreditnya 90 persen dari dana pemerintah. "Perbankan seperti alergi terhadap skema SSB," katanya.
Direktur Keuangan Bank Tabungan Negara (BTN) Imam Nugroho Soeko mengatakan bank memang lebih tertarik pada kredit pemilikan rumah yang menggunakan skema FLPP. Alasannya, dalam skema itu, perbankan tak perlu menyiapkan tambahan likuiditas. Ganjalan lain, dalam skema SSB, pemerintah juga harus mempersiapkan alokasi subsidi hingga masa kredit perumahan selesai. "Kuat enggak pemerintah menganggarkan setiap tahun, karena SSB nanti semakin tinggi?" ujarnya.
Adapun status pekerja informal nasabah, menurut Imam, tidak selalu menjadi masalah. Perbankan hanya melihat kemampuan nasabah membayar angsuran dan bunga pinjaman. Sepanjang nasabah mampu, bank akan mengabulkan permohonan kredit mereka. "Kami tak membedakan pekerja formal dan informal," katanya.
Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Maurin Sitorus mengatakan pemerintah akan berusaha maksimal menyiapkan fasilitas pembiayaan. Karena itu, ia meminta kesanggupan pengembang untuk menyediakan pasokan rumah murah. "Produksi rumah yang kami pertanyakan," ujarnya.
Berdasarkan catatan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, program 1 juta rumah tahun lalu hanya terlaksana 699.720 unit. Itu meliputi pembangunan rumah baru (627.043 unit) dan peningkatan kualitas rumah layak huni (72.727 unit). Tahun ini, sampai 12 Oktober lalu, realisasi program sejuta rumah hanya mencapai 415 ribu unit. "Kami berharap realisasi pembangunan rumah murah tahun ini lebih baik," kata Maurin.
Untuk tahun depan, Maurin meyakini realisasi pembangunan rumah murah akan meningkat. Pemerintah mengandalkan realisasi paket kebijakan ekonomi ke-13, yakni pemangkasan berbagai perizinan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah. Selama ini, menurut dia, kontribusi biaya perizinan terhadap harga rumah sekitar 20 persen.
Dengan kebijakan baru, Maurin memperkirakan 30 persen biaya perizinan terpangkas. Waktu mengurus perizinan pun akan lebih cepat, dari 981 hari menjadi 44 hari. Pemangkasan perizinan, menurut dia, akan berdampak pada turunnya harga Rp 6-8 juta untuk rumah murah di Pulau Jawa dan Sumatera.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat juga mengalokasikan anggaran Rp 15,6 triliun untuk bantuan pembiayaan perumahan pada tahun depan. Rinciannya: untuk 375 ribu rumah dengan skema FLPP disediakan dana sekitar Rp 9,7 triliun, buat 225 ribu rumah SSB sebesar Rp 3,07 triliun, dan bantuan uang muka 550 ribu rumah senilai Rp 2,2 triliun.
Pemerintah juga menyiapkan dana Rp 8,5 triliun untuk membangun 136.034 hunian, yang terdiri atas rumah susun, rumah khusus, rumah swadaya, serta dukungan prasarana, sarana, dan utilitas.
Untuk mengejar kekurangan pasokan perumahan sebanyak 11,4 juta unit, pemerintah sedang menyiapkan kebijakan baru. Di antaranya bantuan pembiayaan perumahan bagi pekerja informal. Pemerintah akan memilih sepuluh kota sebagai proyek percontohan skema ini pada tahun depan.
Pada tahap awal, pemerintah mengalokasikan dana Rp 5 miliar untuk membiayai 166 unit rumah bersubsidi yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam skema pembiayaan yang baru ini, pemerintah akan memberikan insentif dana sekitar 27 persen dari uang muka dan bebas pajak pertambahan nilai.
Direktur Jenderal Penyediaan Perumahan Syarif Burhanuddin mengatakan pemerintah berencana melonggarkan definisi rumah murah yang harganya ditentukan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 113 Tahun 2014 tentang aturan bebas pajak pertambahan nilai (PPN).
Syarif mengusulkan rumah tapak seharga Rp 300-400 juta masuk kategori rumah murah, tapi tidak perlu bebas PPN. Hal itu, kata dia, untuk mengakomodasi kebutuhan masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 7 juta per bulan yang ingin membeli rumah murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo