Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mobil pengantar yoghurt. Saya memasuki Nagorno-Karabakh dengan menumpang mobil pengantar yoghurt pada pertengahan Oktober lalu. Nagorno-Karabakh adalah sebuah wilayah bekas Uni Soviet yang secara de facto berada di daerah Kaukasus Selatan dan secara de jure berada di wilayah Azerbaijan. Akses masuk satu-satunya ke daerah itu adalah melalui jalan raya dari Kota Goris, Armenia.
Tiba di Goris lepas tengah hari, maka sudah tidak ada lagi angkutan umum. Jalan begitu sepi. Jangankan angkutan umum, mobil biasa saja jarang sekali lewat. Maka menumpang mobil apa saja adalah satu-satunya jalan. Saat itu sudah pukul dua siang. Masih harus menempuh jarak sekitar 100 kilometer lagi menuju Stepanakert, ibu kota Nagorno-Karabakh.
Saya berdiri di persimpangan jalan menuju Stepanakert, dan hanya ada beberapa mobil lewat menuju arah sebaliknya. Beberapa menit berlalu, ada beberapa truk tentara lewat. Tapi mereka hanya lewat sambil melambaikan tangan. Setelah sekitar setengah jam, sebuah mobil pickup lewat. Saya mengacungkan jempol untuk menumpang, dan mereka berhenti. Duduk di bangku depan, ada dua pria umur 20-an. Mereka tak bisa berbahasa Inggris tapi memberi isyarat agar saya masuk ketika saya bertanya, "Stepanakert?"
Tujuan akhir mereka memang Stepanakert. Kami bercakap-cakap dengan bahasa Inggris terbatas dan bahasa isyarat. Mobil ini ternyata mengantar yoghurt dalam kemasan. Jalan menuju Stepanakert berkelok-kelok menyusuri tebing tapi sangat mulus. Di tepi jalan terdapat plang-plang bertulisan "Jalan ini dibangun dengan dana masyarakat Armenia". Jarang sekali ada mobil di depan atau belakang kami. Sepinya jalan yang kami lalui membuat saya agak cemas. Bagaimanapun saya perempuan yang sendirian bersama dua pria asing di negara asing yang sepi.
Tapi perasaan mengatakan bahwa dua pria ini baik. Dan itu terbukti hingga akhir perjalanan. Mereka memberi saya makan roti, cokelat, dan tentu saja yoghurt yang mereka bawa. Mobil berhenti di setiap desa kecil untuk mengantarkan yoghurt ke beberapa tempat. Perjalanan yang seharusnya hanya dua jam akhirnya menjadi lima jam.
Kami tiba di perbatasan Armenia dan Nagorno-Karabakh, di sebuah pos penjagaan di antara dua tebing. Paspor saya dicek, dicatat, dan dikopi. Namun mereka tidak menerbitkan visa. Saya diminta datang ke kantor Kementerian Luar Negeri Nagorno-Karabakh di Stepanakert untuk mendapatkan visa dan surat jalan. "Nanti kamu harus menunjukkan visa dan surat jalan itu di pos ini lagi saat keluar dari Karabakh," kata petugas.
Bendera Armenia dan bendera Nagorno-Karabakh berkibar berdampingan di depan pos. Jadi inilah Nagorno-Karabakh, negara yang tidak diakui oleh dunia. Di mata semua negara di dunia, wilayah dengan luas 4.400 kilometer persegi atau lebih kecil dari Bali yang luasnya 5.780 kilometer persegi itu adalah bagian dari Azerbaijan.
Saya agak gugup menyadari bahwa menurut hukum internasional berarti saya masuk secara ilegal ke wilayah negara lain. "Itu Azerbaijan," ujar teman baru saya di pickup sambil menunjuk bukit di kejauhan di sebelah kanan kami, lalu memperagakan tanda pistol dengan jarinya. "Ini Karabakh," katanya menunjuk jalan dan kota kecil yang tampak di depan kami.
Hingga saat ini wilayah Nagorno-Karabakh masih menjadi perebutan antara Armenia dan Azerbaijan. Boleh dibilang konflik Nagorno-Karabakh merupakan salah satu konflik paling berkepanjangan di wilayah bekas Uni Soviet. Akar konflik di Nagorno-Karabakh sudah ada sejak berabad-abad lalu, akibat kompetisi antara penduduk Kristen Armenia dan penduduk muslim di bawah pengaruh Turki dan Persia. Pada akhir abad ke-19, daerah ini menjadi bagian Kerajaan Rusia. Pada akhir Perang Dunia I, Soviet membentuk daerah otonomi Nagorno-Karabakh di bawah Soviet Socialist Republic of Azerbaijan meskipun penduduknya mayoritas Armenia, demikian dikutip dari BBC.
Pada 1980-an, parlemen Nagorno-Karabakh memilih untuk bergabung dengan Armenia dan memicu kekerasan yang makin lama membesar menjadi perang. Pecahnya Uni Soviet dimanfaatkan oleh Nagorno-Karabakh untuk memproklamasikan kemerdekaan. Tindakan itu menjadi awal perang berdarah yang membunuh lebih dari 30 ribu orang dan membuat sekitar satu juta orang harus mengungsi.
Etnis Armenia mengambil alih Nagorno-Karabakh, juga beberapa daerah Azerbaijan di luar Nagorno-Karabakh, sehingga menciptakan buffer zone penghubung antara Karabakh dan Armenia. Etnis Azeri (Azerbaijan) terpaksa melarikan diri keluar dari Nagorno-Karabakh ke Azerbaijan. Sedangkan etnis Armenia melarikan diri dari Azerbaijan.
Perjanjian gencatan senjata akhirnya ditandatangani pada 1994. Sejak saat itu pembicaraan damai terus diupayakan dengan difasilitasi oleh Organization for Security and Co-operation in Europe (OSCE). Prancis, Rusia, dan Amerika Serikat mengetuai Minsk Group untuk mencari upaya damai bagi Karabakh. Sejauh ini upaya damai belum membuahkan hasil.
Meski ada gencatan senjata, konflik masih membara seperti api dalam sekam. Pelanggaran gencatan senjata terus terjadi di garis depan, dengan korban yang terus berjatuhan dari sisi Azerbaijan ataupun Karabakh.
Rusia diduga ada di balik Armenia. Sedangkan Azerbaijan didukung Turki. "Jika negara hebat seperti Rusia mau berhenti mendukung Armenia, negara penjajah dan teroris dalam konflik di Nagorno-Karabakh, Rusia akan memenangi hati 1,7 miliar populasi muslim," kata Yalcin Topcu, chief advisor Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, seperti dikutip dari APA, 21 November 2016.
Sementara itu, di ibu kota Nagorno-Karabakh, kehidupan berlangsung seperti biasa. Toko-toko menjual tren pakaian terbaru, buah-buahan segar melimpah di pasar. Anak-anak berjalan kaki dengan riang ke sekolah, tersenyum dan melambaikan tangan kepada saya.
Dua pemuda yang memberi saya tumpangan mengantar saya ke sebuah hostel murah di pusat kota. Biayanya 3.000 dram atau sekitar Rp 80 ribu. Saya lalu pergi ke kantor kementerian luar negeri untuk melapor. Saya diminta mengisi formulir, termasuk kota yang akan dikunjungi selama di Nagorno-Karabakh.
Petugas bertanya dengan ramah apakah saya mau visa ditempel di paspor atau diletakkan terpisah di luar. Spontan saya menjawab ditempel. "Ditempel?" ujarnya dengan nada yang membuat saya merasa seperti salah menjawab pertanyaan guru. "Uhm, tolong dipisah saja," kata saya. Bu petugas pun tersenyum dan mengiyakan.
Oke, mungkin ini jawaban yang benar. Punya visa Nagorno-Karabakh di paspor akan membuat seseorang ditolak masuk Azerbaijan dan mungkin akan menjadi masalah juga di negara lain.
Pusat Kota Stepanakert yang bersih dan rapi dengan jalanan lebar dan trotoar yang lapang membuat seperti berada di sebuah kota di Eropa. Bedanya, di sini banyak sekali tentara. Sebagian besar masih sangat muda, mungkin usia mereka baru belasan tahun.
Tidak ada pos penjagaan di jalan. Tidak ada pemeriksaan identitas setiap beberapa kilometer seperti di Aceh saat menjadi daerah operasi militer. Meski ada banyak sekali tentara berkeliaran, sebagian besar mereka tidak membawa senjata. Suasananya justru mengingatkan pada suasana Kota Magelang, Jawa Tengah, saat para tentara yang sedang belajar di Akademi Militer pelesir ke pusat kota. Tapi tentu saja saya tidak berada di garis depan tempat konflik bersenjata yang masih terus berlangsung.
Tak sembarang orang bisa melihat apa yang terjadi di garis depan. Bersama tiga turis lain di hostel, kami mencoba mengunjungi Agdam, kota Azerbaijan yang hancur lebur akibat perang pada 1993. Penghuninya yang sebagian besar etnis Azeri melarikan diri dan meninggalkan kota tersebut tanpa bisa kembali lagi. Kini Agdam menjadi kota hantu, kota tak berpenghuni yang penuh dengan bangunan kosong dan lapuk.
Kami naik marshrutka (minibus) dari Stepanakert ke Askeran, lalu mencoba mencari taksi ke arah Agdam. Tidak ada yang bersedia mengantar kami ke sana. Jangankan ke kotanya, ke arah kota itu saja tidak ada yang mau. Beberapa orang bahkan marah setelah mengetahui kami ingin menuju arah tersebut. "Mau apa kalian di sana? Tidak ada apa-apa di sana, hanya Agdam," kata seorang pria dengan nada keras.
Kami memutuskan berjalan kaki saja. Kami baru berjalan sekitar dua kilometer saat seorang laki-laki berpakaian sipil mengendarai mobil SUV datang dari belakang dan menghentikan langkah kami. Dia bertanya kami mau ke mana. Kami mengaku hanya akan jalan-jalan sebentar. "Saya polisi. Jalan-jalan di sekitar sini boleh saja. Tapi kalian sebaiknya membatalkan niat ke Agdam," kata pria itu.
Ups, rupanya dia sudah tahu tujuan kami yang sebenarnya. "Agdam itu ada di garis depan. Berbahaya," ujarnya. Entah benar entah tidak, karena saya membaca cerita banyak turis yang sudah mengunjungi Agdam. Tapi kami pun patuh dan membatalkan niat pergi ke Agdam.
Sesampainya kami di hostel, pemilik hostel rupanya sudah dihubungi. "Polisi menelepon saya. Jangan ke Agdam. Askeran, Tigranakert, Sushi (nama-nama kota lain di Karabakh), no problem. Agdam, problem," ujarnya. Setelah dipikir-pikir, kami memang sangat menarik perhatian, rombongan empat orang asing berjalan di jalanan yang sepi menuju arah kota terlarang.
Saya ingin bertanya lebih dalam mengenai kondisi di Nagorno-Karabakh dengan para warga, tapi mengalami kendala bahasa. Jarang sekali orang yang bisa berbahasa Inggris. Jika ada, bahasa Inggris mereka terbatas. Pada hari ketiga, saya memutuskan melanjutkan perjalanan ke Yerevan, ibu kota Armenia.
Beberapa hari kemudian, saat saya telah berada di dalam taksi di Yerevan, radio menyiarkan terjadinya kontak senjata yang menelan korban jiwa. Gurgen Ayvazya, pria Armenia berusia 20 tahun yang sedang menjalani wajib militer, terbunuh di garis depan pada 28 Oktober lalu. Menurut situs Armenia, Azerbaijan memprovokasi dengan menembakkan senapan dan melontarkan granat. Menurut situs Azerbaijan, Armenialah yang melanggar perjanjian damai dengan menembaki tentara Azerbaijan. "Selama ada korban tewas dari kedua belah pihak, tidak ada yang memenangi perang ini. Semua adalah korban," kata sopir taksi itu.
Stepanakert, Nagorno-Karabakh, 5 April lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo