Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Scamander, Binatang Gaib, dan Sebuah Koper Tua

Film prekuel dari seri Harry Potter tentang jagat keajaiban di Amerika. Bukan hanya obat rindu, tapi juga relevan dengan politik ekstrem kanan yang tengah melanda dunia.

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

New York tahun 1926.

Seorang lelaki Inggris tinggi, kurus, dan ringkih dengan jas berwarna biru dan rompi cokelat bahan suede membawa sebuah koper tua yang berisi sebuah dunia keajaiban yang tak terbayangkan. Seorang Amerika tambun berkumis yang tergesa-gesa menuju sebuah bank untuk mendapatkan pinjaman modal membangun toko roti juga membawa koper kulit serupa. Mereka berpapasan dan bertabrakan. Koper tertukar. Dan yang terjadi adalah kekacauan sekaligus petualangan panjang: binatang-binatang gaib dengan bentuk ganjil menyelip keluar dari koper cokelat itu dan ingin mencicipi kehidupan New York yang gilang-gemilang.

Hanya J.K. Rowling yang bisa memulai sebuah cerita (novel ataupun film) dengan cerdas dan membuat pembaca/penontonnya tak ingin berhenti mencari tahu kelanjutan kisah itu. Bagi para Potterhead, meski hanya sekilas, mereka mengenal nama Newt Scamander, si pemuda Inggris ringkih yang disebut-sebut dalam serial Harry Potter. Scamander adalah seorang magizoologis, ahli hewan gaib, yang karyanya berjudul Fantastic Beasts and Where to Find Them menjadi salah satu buku bacaan wajib para penyihir di sekolah Hogwarts.

Setting film ini adalah 70 tahun sebelum dunia Harry Potter dimulai. Scamander masih mengumpulkan dan merawat sekumpulan binatang gaib itu, dari si kecil Niffler, binatang serupa platipus yang gemar mencuri benda-benda berkilau; hingga Erumpent, yang berbentuk seperti badak raksasa dan dalam tubuhnya memancarkan cahaya. Koper itu, seperti juga platform 9Âľ atau boks telepon umum dalam jagat Harry Potter, seperti sebuah "gerbang" yang memberikan sebuah dunia tak terbatas yang berisi jagat sihir. Di dalam koper itu kita akan menyaksikan binatang-binatang gaib yang dirawat dengan penuh kasih oleh Scamander.

Dalam pencarian binatang-binatang gaib yang terpencar ke sana-kemari, kita berkenalan dengan Jacob Kowalski (Dan Fogler), no-maj alias manusia tanpa kemahiran sihir (sama seperti kaum muggle dalam dunia Harry Potter) yang secara tak sengaja menyaksikan segala keajaiban yang terjadi. Tergopoh-gopoh bersama Newt, dan dua penyihir perempuan, kakak-adik Tiba Goldstein (Katherine Waterston) dan Queenie (Alison Sudol), ia berkeliling kota mencari binatang yang hilang. Petualangan itu kemudian berubah menjadi perlawanan terhadap kumpulan fanatik masyarakat New York yang anti-sihir. Di antara kejar-mengejar itu, keempatnya juga harus bermain petak umpet—dengan keagungan ilmu sihir mereka—dari mata MACUSA (Magical Congress of the United States of America), yang kepala keamanannya dijabat oleh Percival Graves (Colin Farrell).

Tak seperti kedelapan film Harry Potter yang diangkat dari tujuh novelnya, kali ini Rowling turun tangan menulis skenarionya. Jadi baru kali ini para Potterhead menyaksikan sebuah karya Rowling tanpa mengetahui detail plot dan cerita, apalagi kelokan dan kejutan pada akhir cerita. Rowling dan sutradara David Yates (yang sudah menyutradarai beberapa film terakhir Harry Potter) tentu saja melempar beberapa referensi yang sudah kita kenal. Bukan hanya mantra "Alohomora" dan serangkaian mantra yang kita kenal di Hogwarts, tapi juga nama Albus Dumbledore dan si penyihir yang sudah memilih ke jalan gelap, Gellert Grindelwald, disebut-sebut. Akhir dari film yang mengejutkan jelas memberikan karpet merah untuk empat episode berikutnya.

Kita masih harus menjelajahi apa yang terjadi dengan Albus Dumbledore dan penyihir ilmu hitam Grindelwald. Apalagi Rowling pernah mengutarakan di depan umum bahwa di dalam bayangannya Dumbledore adalah lelaki yang jatuh hati kepada Grindelwald sebelum mereka menjadi musuh besar akibat kematian Ariana Dumbledore, adik bungsu Albus.

Yang menarik sebetulnya adalah betapa konsistennya Rowling dalam memasukkan tema anti-fasisme dan anti-rasialisme dalam karyanya. Sementara dalam seri Harry Potter para penyihir ilmu hitam selalu menghina manusia biasa tanpa kemampuan sihir sebagai kaum "mudblood"; sebaliknya, di tanah Amerika, Rowling memperlihatkan bagaimana masyarakat New York yang fanatik anti-penyihir begitu militan hingga Presiden MACUSA Sera­phina Picquery (Carmen Ejogo) sangat keras melarang para penyihir memamerkan kemampuan sihir mereka karena: jika para no-maj mengungkap dunia sihir, akan terjadi perang besar. Meski ketika film ini tengah digarap Donald Trump dan politik Amerika belum heboh, Rowling dengan terbuka sudah menyatakan bahwa Trump jauh lebih buruk daripada tokoh Voldemort dan Rowling akan selalu menantang sektarian dan rasisme. Sentimen ini terasa menjadi roh dari film ini: pertentangan dua kaum (sihir dan non-sihir), tapi juga pertentangan manusia dan binatang gaib.

Dengan memasukkan beberapa referensi penting dalam film pertama seri "Fantastic Beasts and Where to Find Them" ini, mungkin akan ada beberapa momen yang agak membingungkan mereka yang sama sekali awam dari jagat Harry Potter, terutama relevansi tokoh jahat Grindelwald. Hal lain yang menjadi problem, film ini penuh sesak dengan subplot yang bercabang kian-kemari. Dalam novel-novel Harry Potter, ketika Rowling menjahit beberapa subplot, sutradara dan penulis skenario langsung memangkasnya agar plot bisa berfokus pada cerita utama: Harry Potter.

Tapi, karena Rowling kini sudah memulai debutnya sebagai seorang penulis skenario, beberapa subplot itu berdesakan kian-kemari dan cukup mengganggu.

Selebihnya, Newt Scamander yang begitu mencintai para binatang gaib—mengingatkan kita pada tokoh Hagrid dengan peliharaannya—menyajikan sebuah visual yang begitu fantastis hingga rasanya kita tak ingin keluar dari koper cokelat miliknya.

Leila S. Chudori


Fantastic Beasts And Where To Find Them
Sutradara: David Yates
Skenario: J.K. Rowling
Pemain: Eddie Redmayne, Katherine Waterston, Dan Fogler, Alison Sudol, Colin Farrell, Samantha Morton, Ezra Miller,

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus