Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Pulang ke Armenia

Saat konflik membakar Armenia, banyak warganya hengkang ke Suriah. Tapi, setelah Suriah dilanda konflik, mereka kembali ke kampung halamannya.

28 November 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Kamu sudah melihat Ararat? Sayang sekali, ya, kamu belum bisa melihat Ararat," kata hampir semua orang yang saya temui di Yerevan, ibu kota Armenia. Awan gelap memayungi Yerevan dua minggu tanpa henti selama saya berada di sana mulai pertengahan Oktober hingga awal November lalu.

Gunung Ararat adalah kebanggaan Armenia dan dianggap sebagai lambang negara. Cap resmi Armenia di paspor saya berbentuk Gunung Ararat. Tak terhitung lagi puisi dan lagu yang diciptakan untuk memuja Ararat. Tapi cinta warga Armenia kepada Ararat boleh dibilang bagai pungguk merindukan bulan. Mereka hanya bisa menatap Ararat tanpa bisa menyentuhnya.

Tak seperti pungguk dan bulan yang terpisah ribuan kilometer, Armenia dan Ararat hanya dipisahkan oleh Sungai Arax. Ararat, gunung kesayangan Armenia, tidak terletak di dalam negeri, tapi masuk wilayah Turki. Gunung itu bisa dilihat jelas dari Yerevan, begitu dekat tapi tak terjangkau.

Posisi terdekat untuk melihat Ararat adalah Khor Virap, sebuah gereja di dekat perbatasan Turki-Armenia. Armenia dan Turki hanya berjarak sepelemparan batu, tak sampai satu kilometer. Tapi jangan coba-coba nekat menyeberang. "Kamu bisa ditembak dari kedua negara," ujar seorang warga. Maklum, hubungan antara Armenia dan Turki masih panas-dingin.

Ararat terdiri atas dua gunung. Puncak tertingginya 5.137 meter di permukaan laut dan diselimuti salju abadi. Ararat dulu dipercaya sebagai tempat berlabuhnya perahu Nabi Nuh. Gunung ini menjadi saksi sejarah Armenia yang selalu berada di tengah-tengah perang dan penaklukan. Penguasa Bizantium Haraklios berbaris di sepanjang Armenia untuk menaklukkan Persia. Bangsa Arab, Seljuk, Mongol, dan Turki bergantian atau berebut menaklukkan kawasan ini. Sampai akhirnya Kerajaan Rusia dan Kesultanan Ottoman berbagi wilayah dengan batas Sungai Arax. Ararat jadi bagian Turki dan Armenia menjadi bagian Uni Soviet hingga saat kemerdekaan pada 1992.

Armenia adalah sebuah negara di Kaukasus yang terkunci di daratan tanpa punya lautan. Dia dikelilingi empat negara, yaitu Georgia, Azerbaijan, Iran, dan Turki. Dari empat negara ini, Armenia tak punya hubungan baik dengan Turki dan sedang berperang melawan Azerbaijan. Akibatnya, perbatasan yang dibuka hanya perbatasan dengan Iran dan Georgia.

Penduduknya berjumlah sekitar tiga juta orang. Mungkin kurang karena banyak warga Armenia yang bekerja di luar negeri. "Misalnya di rumah saya. Kami tercatat sebagai keluarga yang terdiri atas empat orang. Tapi ibu dan kakak saya bekerja di luar negeri. Saya yakin banyak keluarga yang kondisinya sama," kata Khachatur Najaryan, seorang penduduk.

Banyak warga Armenia yang tadinya pindah ke Suriah akhirnya balik ke kampung halaman ketika Suriah dilanda konflik. Sejarah agaknya berulang, tapi dari arah sebaliknya. Sekitar seratus tahun lalu, saat genosida dilakukan terhadap orang Armenia, Suriah menjadi tempat aman bagi warga Armenia yang mengungsi. Mereka yang berhasil melarikan diri dari kekejaman pembantaian massal 1915 ditampung dan diterima di kota-kota di Suriah, termasuk Aleppo.

Tapi, empat tahun lalu, Gaidzag Jabaghchourian meninggalkan Aleppo. Bersama ayah, ibu, dan adiknya, ia mengemasi barang, memuatnya di dalam mobil, dan mengungsi ke Armenia. Lahir dan besar di Aleppo, Gaidzag dan keluarganya adalah warga Suriah keturunan Armenia.

Perang yang menghantam Suriah memaksa warga Suriah keturunan Armenia pulang kembali ke tanah leluhurnya. "Rumah saya di Aleppo sudah hancur tak berbentuk. Rumah saya, tetangga, teman-teman, semuanya," ujar Gaidzag saat ditemui di restoran lahmajun Gaidz di Yerevan, awal November lalu.

Pria 28 tahun itu membuka warung lahmajun, sejenis piza ala Armenia yang terbuat dari roti tipis dengan aneka macam topping. Rasanya lezat sekali. Saya mencoba lahmajun-nya dan langsung menghabiskan empat potong.

Sebelum datang ke Armenia, Gaidz punya toko roti sendiri di Aleppo. "Saya punya toko roti sendiri sejak berumur 22 tahun," katanya bangga. Perang membuat dia harus memulai semuanya dari nol saat pertama kali tiba di Yerevan. Dia membawa peralatan membuat roti dan membuka toko roti. Namun membuka toko roti ternyata bukan pilihan terbaik. Dia lalu memutuskan membuka warung lahmajun. Warung pertamanya terletak di sebuah daerah yang lebih sepi.

"Saat itu kami benar-benar harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan," ucapnya. Kini restoran lahmajun Gaidz terletak di Nalbandyan 5, lokasi strategis di depan stasiun kereta, hanya beberapa meter dari Republic Square, "alun-alun" Kota Yerevan. "Mungkin kelak saya akan ke Aleppo lagi untuk mengurus properti kami, dan bertemu dengan keluarga yang masih di sana, tapi tidak untuk tinggal," ujarnya. Paman dan bibinya masih tinggal di Aleppo karena mereka masih berharap perang bisa segera usai.

Keluarga Gaidz hanya satu dari ribuan pengungsi dari Suriah. Menurut data The Economist pada 2015, Armenia adalah negara dengan jumlah pengungsi Suriah terbanyak ketiga di Eropa setelah Jerman dan Swedia. Padahal Armenia bukanlah negara kaya. Menurut laporan Bank Dunia, tingkat kemiskinan di Armenia mencapai 25,2 persen. Artinya, seperempat populasi Armenia hidup dengan uang kurang dari US$ 2,5 (sekitar Rp 32.500) per hari.

Karena kondisi ekonomi itulah tidak mudah membuka bisnis di Armenia. "Bisnis tak begitu bagus. Pelanggan kami lumayan banyak kalau musim panas. Tapi, ketika musim beranjak dingin, bisnis ikut lesu," kata Gaidz. Seandainya perang berakhir pun Gaid tetap tak ingin kembali ke Suriah. "Suriah setelah perang akan menjadi Suriah yang lain, Suriah yang sama sekali baru dan asing bagi kami," ujarnya. Apalagi ayahnya sudah meninggal dua tahun lalu dan dimakamkan di Yerevan.

Meski awalnya terpaksa, Gaidzag tak ingin pergi lagi. "Sekarang Armenia adalah rumah. Kami tidak punya tempat lain untuk pulang," ucapnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus