Sekitar 1,3 juta orang di Indonesia diperkirakan mengonsumsi narkotik dan obat-obatan terlarang. Jumlah omzet peredarannya secara nasional mencapai ratusan miliar rupiah per hari. Lahan bisnis yang menggiurkan itu melibatkan kalangan profesional, mahasiswa, pelajar, cewek-cewek anak baru gede, juga sejumlah oknum penegak hukum. Selingan ini mengupasnya dari berbagai aspek?bisnis, dampak kesehatan dan sosial, metode penyembuhan, dan perspektif sains. Laporan oleh Setiyardi dan Mustafa Ismail (Jakarta), dan Upik S. (Bandung). Kelik M. Nugroho menuliskannya.
Kampus, juga sekolah, adalah pintu masuk budaya narkotik dan obat-obat terlarang. Bahan-bahan kimia yang bisa menciptakan halusinasi pikiran dan merangsang kelenjar untuk membuka "mata pikiran" itu diedarkan di dan lewat kampus. Edo, 32 tahun, seorang distributor di Bandung, mengungkapkan rute bisnisnya yang beromzet Rp 10 juta per hari. Dia menyebut sekolah tinggi pariwisata, universitas negeri terkenal, dan sekolah tinggi ilmu ekonomi ternama di Bandung sebagai bursa bisnisnya. Sejumlah pelajar di sebuah sekolah menengah umum swasta di Kota Kembang itu menjadi pelanggannya. Kabar lain, kampus-kampus swasta di Jakarta juga menjadi pasar yang "ramai" untuk barang-barang haram itu.
Namun, kampus hanya salah satu jalur peredaran "keluarga si putih"?sebutan mudah untuk narkotik, putaw, sabu-sabu, heroin, ganja, nipam, magadon, dan pil ekstasi. Tempat lain yang menjadi bursa transaksi barang terlarang ini, menurut pemantauan Kepolisian Daerah Metro Jaya 1999, adalah diskotek, karaoke, pub, bioskop, terminal bus, stasiun kereta api, bandara, pelabuhan, dan hotel. (Baca: Ceruk Bisnis Keluarga Si Putih)
Tempat-tempat hiburan "gelap" seperti diskotek, karaoke, dan bioskop menjadi lokasi favorit transaksi. Cara penjualan di diskotek biasanya setengah gelap. Banyak cewek-cewek baru gede yang suka ngelayap di diskotek nyambi berjualan keluarga si putih. Namun, ada juga diskotek yang berdagang secara terang-terangan. Sebuah rumah ajojing di Bandung menjual paket minuman air mineral seharga Rp 50 ribu per botol. Mahal? Tentu tidak karena sebutir pil ekstasi ditempelkan di "telapak kaki" botol, sebagai bagian dari paket.
Rentetan dari bursa-bursa transaksi itu tentu menjalar ke kampung-kampung. Soalnya, banyak penjual dari kalangan pelajar, mahasiswa, dan cewek-cewek pecandu itu yang tinggal di rumah-rumah kos kaum urban. Lisa, 21 tahun, cewek pecandu yang sering berajojing di sebuah diskotek di Cikini, Jakarta, contohnya. Lisa, yang nyambi berjualan pil di tempat itu, memilih tinggal di kos-kosan kawasan Gunungsahari, Jakarta. "Soalnya, teman-teman kos di situ kebanyakan pecandu," kata Lisa.
Menjadi salah satu menu makanan sehari-hari kalangan miring kaum muda kota besar, bisnis keluarga si putih tampaknya menggiurkan. Kalangan profesional, seperti yang terungkap dari data para tersangka di Mapolwiltabes Bandung, banyak yang terlibat mendulang rezeki haram ini. Bisik-bisik di kalangan mantan pecandu yang dirawat di Pesantren Inabah Suryalaya, Tasikmalaya, menyebutkan, sejumlah aparat polisi dan militer di Bandung dan Jakarta terlibat juga.
Kabar miring lain, seorang cucu mantan pejabat Orde Baru mengelola bisnis pil ekstasi dengan omzet ratusan miliar per bulan. Jaringan bisnis itu meliputi kota-kota Bandung, Medan, Semarang, Yogya, dan Denpasar. Bahkan, jaringan itu sampai ke negara tetangga Malaysia dan Australia. Dengan jumlah asumsi konsumen secara nasional sebanyak 1,3 juta orang, tak berlebihan bila omzet peredaran keluarga si putih di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 390 miliar per hari.
Kalangan remaja adalah yang paling rentan terhadap godaan barang-barang haram itu. Merujuk pengalaman di Amerika Serikat, survei yang dipublikasikan Departemen Kehakiman di negeri itu menunjukkan bahwa masalah terpenting yang dihadapi remaja adalah soal penyalahgunaan obat-obatan terlarang (31 persen). Masalah menyangkut si putih itu dianggap lebih menjadi momok kehidupan sehari-hari dibandingkan dengan masalah tekanan sosial (14 persen), kejahatan (14 persen), dan masalah seksual (7 persen). Soal problem penyalahgunaan keluarga si putih itu tampak serius, sehingga anggaran pemerintah AS untuk penanggulangannya sebesar US$ 165,5 miliar, hampir sebesar anggaran untuk pembangunan perumahan rakyat.
Godaan keluarga si putih datang dari banyak pintu. Riset di AS yang dilansir kios internet Drug Free For a New Century menyebutkan berbagai penyebab ketergiuran orang pada obat-obatan terlarang, juga alkohol. Ada yang karena sekadar penasaran ingin mengetahui kenikmatannya, juga banyak yang karena tekanan dan ajakan teman dekat, atau karena ada anggota kelurganya yang kecanduan.
Sejumlah orang secara sadar mengonsumsi obat karena ingin menghilangkan trauma masa lalu, misal karena gagal sekolah atau pemerkosaan pada masa kecil. Semua itu ditopang oleh pemahaman yang salah menyangkut obat-obatan. Misalnya, percaya bahwa obat menambah kekuatan fisik dan mental, juga bahwa obat tak berbahaya. Sebagian lain percaya bahwa obat bisa mengurangi gejala depresi. Semua penyalahgunaan obat itu dimungkinkan oleh kelonggaran norma di masyarakat dan kemudahan untuk memperolehnya, ya, seperti yang bisa dilihat di sejumlah diskotek di Jakarta itu.
Namun, ada satu penyebab yang tampaknya menjadi benang merah universal manusia: gairah untuk memperoleh pengalaman sensasional. Pengalaman kejiwaan itu disebut psychedelic, yang digambarkan sebagai sebuah serangan yang tiba-tiba, spontan, dan sama sekali tidak disangka-sangka. Sejumlah ilmuwan Barat menganalisis pengalaman semacam itu memiliki benang merah kesamaan dengan pengalaman "spiritual" para yogi yang menjalani metode meditasi kundalini yoga.
Dalam ajaran yoga, setiap manusia memiliki kundalini (sebuah "kekuatan" yang disimbolkan sebagai ular), yang bila ia berhasil bangkit melewati enam cakra (simpul-simpul saraf di dalam tubuh), tingkat kesadarannya mencapai sahasrara. Secara fisiologis, cakra tertinggi, ya sahasrara itu, terletak di tengah jidat, pas di antara dua mata. Disimbolkan sebagai mata, ia disebut mata ketiga. Sebutan lain untuk itu adalah mata batin, atau mata pikiran. Bila mata ini terbuka, dimensi realitas yang sama sekali baru dan berbeda akan bisa disaksikan. Bila benar begitu, gairah untuk bisa menyaksikan "dimensi realitas yang sama sekali baru dan berbeda" itu sejatinya universal, seperti yang didambakan para seniman besar dunia, para yogi, dan ahli mistik.
Narkotik dan obat-obatan memang bisa merangsang kelenjar untuk menghantarkan orang ke pengalaman psychedelic itu. Tapi, dampak kesehatannya sangat buruk. Selain bisa mengakibatkan kelainan paru-paru, bahan-bahan kimia itu bisa mengganggu fungsi lever, menimbulkan penyakit hepatitis C, juga bisa menyebabkan maut. Tak hanya itu. Dampak sosialnya juga supermahal. Riset di AS pada 1990, yang diungkapkan kios internet Drug Free For a New Century, mengungkapkan ongkos sosial akibat kriminalitas yang berhubungan dengan penyalahgunaan alkohol dan obat sebesar US$ 57 miliar lebih.
Indonesia juga telah menyingsingkan lengan untuk menanggulangi penyalahgunaan keluarga si putih. Departemen Sosial telah mendirikan enam panti rehabilitasi mental di berbagai kota seperti Tangerang, Bogor, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Medan untuk penyembuhan para pecandu. Sekitar 11 lembaga swasta juga mendirikan panti semacam di berbagai daerah. Tapi, keseriusan dan prestasi aparat penegak hukum menyangkut pemberantasan sumber peredaran keluarga si putih masih dipertanyakan.
Laporan Kepolisian Daerah Metro Jaya tahun 1998 menyebutkan, lembaga penegak hukum itu hanya berhasil menyelesaikan sekitar satu atau dua perkara per hari. Kerja itu tidak sebanding dengan jumlah omzet obat-obatan di Jakarta, yang sehari saja diperkirakan mencapai miliaran rupiah. Pun belum pernah terdengar penjual kelas kakap semacam nama cucu pejabat Orde Baru, yang disebut-sebut bisa disentuh polisi.
Kejahatan narkotik dan obat-obatan, seperti kata Letnan Kolonel Polisi H. Abdullah H.S., Kepala Satuan Serse Narkotik Polda Metro Jaya, memang sulit diberantas. Soalnya, kejahatan itu biasanya memiliki jaringan internasional yang bersifat tertutup dan sangat eksklusif. Tapi, lebih sulit sebetulnya menanggulangi akibat penyalahgunaan keluarga si putih itu pada masa depan sebuah bangsa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini