Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Hilang Gizi Bayi Pengungsi

Konflik di Papua menimbulkan gelombang pengungsian nyaris tanpa henti. Sejumlah anak meninggal karena gizi buruk.

1 Januari 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

NICO Fatem lahir dengan tubuh kurus. Menghirup udara dunia pertama kali pada 27 Oktober 2022, ia lahir di barak pengungsi Papua di Kumurkek, ibu kota Kabupaten Maybrat, Provinsi Papua Barat Daya. Hari itu sekitar dua pekan sebelum jeda kemanusiaan—inisiatif menghentikan konflik dan mengurus pengungsi Papua—ditandatangani, pada 11 November 2022. Nico diduga mengidap gizi buruk.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Habel Sori, kakek Nico, bercerita, cucunya tak mendapat asupan nutrisi yang baik sejak dalam kandungan ataupun setelah dilahirkan. Berdiam di pengungsian, ibunda Nico, Yohana, cuma bisa makan sekali sehari tanpa lauk. Hanya dedaunan dari sekitar tempat pengungsian yang menemani nasi di piring. “Waktu istirahatnya juga tak tentu,” kata Habel saat dihubungi, Sabtu, 31 Desember 2022.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bobot tubuh Nico tak kunjung bertambah. Menurut Habel, Yohana terus berusaha menyusui putranya. Namun, tanpa makanan bergizi, produksi air susu Yohana tak lancar. Kondisi Nico pun terus memburuk. Pada 25 Desember lalu, kala Natal tiba, Nico sampai pada ajalnya. Tubuh bangsainya yang tergerus gizi buruk dibungkus kain lampin marun sebelum dikuburkan.

Bukan pilihan Yohana untuk melahirkan di kamp pengungsian. Bersama Habel, warga Kampung Aikus, Distrik Aifat Timur Tengah, itu mengungsi setelah konflik antara kelompok bersenjata dan aparat keamanan meletus di Maybrat pada 2 September 2021. Empat prajurit Tentara Nasional Indonesia tewas dalam penyerbuan di pos persiapan Komando Rayon Militer Kisor di Distrik Aifat Selatan.

Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer Organisasi Papua Merdeka, bertanggung jawab atas penyerangan pos itu. Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, mengklaim operasi tersebut dijalankan oleh pasukan Komando Daerah Pertahanan IV Sorong Raya. Hingga Oktober 2022, polisi telah menangkap sebelas orang yang diduga terlibat dalam penyerbuan itu.

Keadaani anak-anak yang mengungsi di Distrik Aitinyo, Maybrat, Papua Barat, Agustus 2022. Tim Koalisi Kemanusiaan untuk Maybrat

Kasus malanutrisi diperkirakan juga menimpa sejumlah bayi di barak-barak pengungsi warga Maybrat. Koordinator Koalisi Kemanusiaan Maybrat, Pastor Bernardus Bofitwos Baru, mencatat sedikitnya 12 anak meninggal sejak eksodus penduduk ke kamp pengungsian. Di antaranya tiga bayi yang menderita gizi buruk dengan tubuh yang kerempeng.

Jumlah anak balita yang meninggal diperkirakan lebih tinggi daripada yang tercatat. Sebab, masih banyak pengungsi bermukim di hutan Papua yang terkenal ganas dan minim tumbuhan pangan. Sebelumnya, sejumlah kasus gizi buruk juga tercatat terjadi di wilayah lain di Papua.

Baca: Cerita Bayi Lari Dikejar yang Lahir di Hutan Papua

Pastor Bernardus juga mendengar keluh dari para mama di kantong-kantong pengungsi bahwa anak-anak mereka mengalami gizi buruk. “Para ibu cuma makan keladi sehingga berpengaruh ke kualitas air susu,” ujar padri Ordo Santo Agustinus ini.

Kepala Dinas Persandian dan Statistik Maybrat, Manfred Mate, membantah adanya kasus gizi buruk di wilayahnya. Meski demikian, ia mengakui ada bayi meninggal karena faktor fasilitas kesehatan yang buruk. “Pemerintah sudah memberi makan dan minum. Sekalipun tak memenuhi, tapi itu sudah membantu,” tuturnya.

Busung lapar juga menimpa anak-anak pengungsi di Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan. Seperti di Maybrat, konflik yang terus bergolak di sana memaksa warga sipil mengungsi. Pada 5 Desember 2022, kelompok bersenjata menyerang enam orang di Distrik Oksebang. Dua warga yang bekerja sebagai tukang ojek tewas dalam peristiwa itu.

Maybrat dan Pegunungan Bintang merupakan dua dari enam kabupaten yang diusulkan menjadi lokasi jeda kemanusiaan Papua yang diprakarsai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, United Liberation Movement for West Papua, dan Majelis Rakyat Papua. Salah satu isinya ialah membuka koridor kemanusiaan untuk menangani pengungsi.

Baca: Lobi Mengegolkan Jeda Kemanusiaan Papua di Jenewa

Obet Nego Naa, dokter yang berdinas di Distrik Ok Aom, Pegunungan Bintang, bercerita, ia sempat menangani seorang anak yang menderita gizi buruk. Tubuh anak itu ceking. Badannya lemas dan kesadarannya menurun ketika dibopong bapaknya ke pusat kesehatan masyarakat di Kampung Bulangkop.

Keadaani anak-anak yang mengungsi di Distrik Aitinyo, Maybrat, Papua Barat, Agustus 2022. Tim Koalisi Kemanusiaan untuk Maybrat

“Saya mendiagnosis busung lapar dan dehidrasi parah sehingga harus dirujuk ke rumah sakit yang punya dokter anak,” kata Obet. Namun nyawa bayi itu tak tertolong.

Obet memperkirakan jumlah penderita gizi buruk di wilayahnya cukup banyak. Tapi ia kesulitan mencatat datanya karena tak semua bayi dibawa ke puskesmas ketika ada penimbangan badan ataupun saat sakit. Obet meyakini anak-anak di daerah konflik menderita malanutrisi karena melihat para mama cuma makan ubi. “Mereka sangat kekurangan nutrisi,” ujarnya.

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia yang dirilis Kementerian Kesehatan pada 2021, sebanyak 34,5 persen anak balita di Maybrat mengalami stunting. Data yang sama menunjukkan prevalensi stunting anak balita di Pegunungan Bintang mencapai 55,4 persen—tertinggi di antara kabupaten lain di Provinsi Papua yang waktu itu belum dimekarkan.

Menurut Obet, tenaga kesehatan di wilayah itu sulit mendatangi para pengungsi lantaran faktor keamanan. Ia mencontohkan, pada November 2021, seorang tenaga kesehatan tewas setelah diserang kelompok bersenjata. “Kami tak bisa mengakses semua wilayah karena tak ada jaminan keamanan,” ucapnya. Akibatnya, penanganan penyakit dan kekurangan gizi pada anak terhambat.

•••

BUKAN hanya bayi dan anak, kondisi pengungsi di daerah konflik umumnya sengsara. Lamberti Faan, warga Distrik Aifat Timur Tengah, Kabupaten Maybrat, meninggalkan kampungnya tiga hari setelah penyerangan pos koramil persiapan Kisor atau pada 5 September 2021. Ia tinggal di rumah kerabatnya di Aifat Utara—sekitar sejam perjalanan bermobil, lantas pindah ke Sorong.

Menurut Lamberti, pemerintah sempat mengirim bantuan paket bulanan berisi lima kilogram beras, mi instan, gula, dan kadang-kadang sekaleng sarden untuk tiap keluarga. Namun bantuan hanya diterima lima kali. “Satu paket juga cuma cukup untuk makan dua hari karena kami tinggal bersama keluarga besar di pengungsian,” tutur perempuan 35 tahun itu.

Mencukupi makan sehari-hari, pengungsi mengais umbi dan tumbuh-tumbuhan di pekarangan. Bahan makanan itu biasanya cuma cukup untuk disantap satu kali. Mereka tak makan lagi sampai keesokan hari. Lamberti menyebutkan orang tua yang punya anak kadang tak makan seharian karena jatah ransumnya tak cukup.

Baca: Enam Dekade Berlumur Konflik di Papua

Tinggal di tempat pengungsian lebih dari setahun, Lamberti rindu pulang ke rumah. Ia sempat menengok pondoknya di Kampung Faan Kahrio, Distrik Aifat Timur Tengah, pada Januari 2022. Lamberti menyaksikan pintu dan daun jendela rumahnya tanggal. Perabot dan kasur berantakan. “Kampung kami sudah menjadi pos tentara. Sulit kembali ke sana,” kata Lamberti.

Kondisi serupa dialami kerabat Lamberti, Yonas Faan. Yonas meminta istrinya berkemas-kemas sesaat setelah mendengar kabar penyerangan pos tentara di Kisor pada 2 September 2021. Ia langsung membayangkan operasi penyisiran tentara dan polisi ke kampung seperti ketika seorang polisi di perusahaan kayu tewas diserang kelompok bersenjata pada 2019.

Sejak penyerbuan pos tentara, kampung-kampung di Maybrat bak kota mati. “Semua penduduk pergi dan aliran listrik berhenti,” ujar Yonas. Dusun-dusun itu sebelumnya mengandalkan setrum dari mesin diesel yang menyala saban malam hingga subuh. “Mau pulang tapi tak ada jaminan keamanan di kampung,” ucapnya.

Abel Assen, 32 tahun, tak kalah nestapa. Ia pergi dari Kampung Kamat, Distrik Aifat Timur Raya, pada 4 September 2021 atau dua hari setelah penyerangan. Berjalan kaki bersama lima keluarga lain, ia masuk hutan Aifam. Di sana mereka tinggal sepekan untuk menghindari penyisiran oleh pasukan militer.

Di hutan, Abel tidur dengan alas seadanya. Ia menebang pohon sagu dan membuat tenda dari alang-alang. Keluarga yang lain membawa terpal plastik untuk dipakai sebagai atap hunian sementara. Menurut dia, ada sedikitnya 30 anak dalam rombongan yang tinggal bersamanya di tengah hutan. “Mereka ikut makan tanaman yang bisa kami petik di hutan,” kata Abel.

Pengungsi laki-laki membuat sampan dari kayu-kayu hutan. Perahu kecil itu dipakai menyisir Sungai Kamundan untuk tiba di Kumurkek, ibu kota Kabupaten Maybrat. Di sini, Abel tinggal bersama anak dan istrinya di hunian sementara.

Abel merindu kampung halamannya. Namun, sebagaimana dusun lain di Maybrat, kampung Abel porak-parik karena penyisiran aparat. Ia mendapat informasi dari tetangganya yang sempat pulang ke Kamat bahwa rumahnya rusak dan perabot seperti televisi raib. “Saya memilih bertahan dan mati di pengungsian jika militer masih berjaga di kampung kami,” tuturnya.

Konflik bersenjata juga memaksa Dolya Uburuangge mengungsi. Dolya meninggalkan kampungnya di Distrik Mapenduma, Kabupaten Nduga, sejak pembunuhan pekerja PT Istaka Karya pada Desember 2018. Kelompok bersenjata pimpinan Egianus Kogeya menjadi dalang penyerangan itu.

Baca: Episode Kedua Operasi Militer di Nduga

Dolya lekas mengemasi pakaian begitu mendengar kabar penembakan karyawan PT Istaka. Ia sadar bahwa kampungnya tak aman lagi karena tentara akan segera menyisir permukiman dan memburu pelaku penyerangan. Mengajak kerabatnya, Dolya kabur dan bermukim di hutan.

Berdiam di rimba sekitar dua bulan, Dolya dan pengungsi lain mengandalkan tumbuhan di hutan sebagai makanan. Sesekali, jika petang datang dan situasi aman, mereka pergi ke kebun untuk mengambil umbi-umbian di ladang. “Kami makan dan melakukan apa saja untuk bertahan hidup di tengah hutan,” kata Dolya.

Menginjak bulan ketiga mengungsi, Dolya dan rombongan pengungsi berjalan ke luar hutan dan mencari jalan raya menuju Wamena—kota terdekat yang berjarak sekitar 85 kilometer. Di Kabupaten Jayawijaya yang kini menjadi ibu kota Provinsi Papua Pegunungan Tengah itu, Dolya dan para pengungsi bertahan di barak dan indekos yang disewa untuk muhajirin.

Dolya sempat menerima bantuan bahan kebutuhan pokok dari pemerintah daerah. Namun, pada 2020, para pengungsi tak lagi mendapat jatah beras. Mencukupi kebutuhan makan sehari-hari, mereka mengandalkan pemberian masyarakat sekitar dan bantuan dari relawan yang jadwalnya tak ajek. “Kami mau pulang juga tak bisa karena kampung dikuasai tentara,” ucapnya.

Baca: Trauma Lama Warga Nduga

Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden, Theofransus Litaay, yang menangani isu Papua, mengklaim jumlah pengungsi di daerah konflik berangsur-angsur menurun. Mayoritas pengungsi Papua disebut telah kembali ke kampung mereka. Walau begitu, ia mengakui masih ada kelompok yang memilih bertahan di tempat penampungan karena alasan keamanan dan kelengkapan infrastruktur.

Suasana didalam pengungsian di Distrik Aitinyo, Maybrat, Papua Barat, Agustus 2022. Tim Koalisi Kemanusiaan untuk Maybrat

Theofransus menyebutkan pemerintah berupaya membangun rumah, sekolah, dan puskesmas di kampung asal pengungsi. Ia meminta mereka yang mengetahui soal krisis pangan dan gizi buruk yang menimpa anak-anak segera melapor agar bisa lekas ditangani. “Anggarannya tersedia dan otonomi baru membuat pengambilan keputusan menjadi lebih cepat,” ujarnya.

Di tengah ketidakjelasan pelaksanaan jeda kemanusiaan Papua, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia mendapat laporan tentang krisis pangan dan gizi buruk pengungsi Papua. Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro telah memperoleh informasi mengenai kematian sejumlah anak balita di kantong pengungsi karena malanutrisi. “Penanganan pengungsi Papua harus didahulukan,” kata Atnike.

HUSSEIN ABRI DONGORAN, MAHARDIKA SATRIA HADI, ERWAN HERMAWAN

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Raymundus Rikang

Raymundus Rikang

Menjadi jurnalis Tempo sejak April 2014 dan kini sebagai redaktur di Desk Nasional majalah Tempo. Bagian dari tim penulis artikel “Hanya Api Semata Api” yang meraih penghargaan Adinegoro 2020. Alumni Universitas Atma Jaya Yogyakarta bidang kajian media dan jurnalisme. Mengikuti International Visitor Leadership Program (IVLP) "Edward R. Murrow Program for Journalists" dari US Department of State pada 2018 di Amerika Serikat untuk belajar soal demokrasi dan kebebasan informasi.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus