Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PAPUA menghadapi masalah nyata krisis kemanusiaan. Ratusan ribu orang mengungsi. Anak-anak tewas karena busung lapar serta gizi buruk. Mereka terjebak konflik antara militer Indonesia dan kelompok bersenjata. Di Maybrat, Papua Barat Daya, pasokan pangan terhenti. Belasan anak disebut-sebut tewas karena diare dan busung lapar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maybrat merupakan satu dari enam daerah konflik Papua yang merana setelah serangan kelompok bersenjata Papua ke pos komando rayon militer di Kisor pada September 2021. Lima daerah konflik lain adalah Kabupaten Puncak, Yahukimo, Intan Jaya, Nduga, dan Pegunungan Bintang. Jumlah pengungsi di enam wilayah ini diperkirakan 60-100 ribu orang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka, jika kini ada inisiatif jeda kemanusiaan Papua dengan harapan bisa seperti penyelesaian konflik Aceh pada 2000, prasyarat niat baik ini tidak cukup. Selain karakter konfliknya berbeda, konflik Papua memperlihatkan cara pandang timpang pemerintah Indonesia. Di Aceh, kelompok yang ingin memisahkan diri dari Republik Indonesia berada dalam wadah tunggal Gerakan Aceh Merdeka. Di Papua, ada begitu banyak kelompok dan kepentingan yang menyusup dan berkelindan di dalamnya. Pemerintah menjuluki mereka sebagai kelompok separatis, kelompok kriminal, bahkan teroris.
Karena itu, jeda kemanusiaan yang ditandatangani di Jenewa, Swiss, pada 11 November 2022 pun menjadi naskah kesepahaman yang kosong. Selain tak melibatkan elemen masyarakat yang berkonflik, tak ada otoritas yang menjamin kesepahaman itu berjalan. Pemerintah Indonesia hanya diwakili Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Dari Papua ada United Liberation Movement for West Papua, Wali Gereja Papua, dan Majelis Rakyat Papua. Tak ada Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian RI, dan organ-organ negara yang selama ini berhadapan dengan orang Papua.
Jika jeda kemanusiaan Papua bertujuan mengurus pengungsi, menghentikan kekerasan, dan melakukan gencatan senjata, para delegasi tak usah terbang ke Jenewa untuk merundingkannya. Tiga soal itu seharusnya menjadi tugas pemerintah. Penyelesaiannya ada di Jakarta. Pemerintah mesti menyetop pendekatan keamanan di Papua, hentikan pelabelan kelompok yang menuntut keadilan dengan sebutan-sebutan peyoratif yang menegaskan diskriminasi, lalu kedepankan dialog.
Problem Papua adalah problem ketidakadilan karena pemerintah Indonesia terus mengeruk sumber daya alam pulau ini seraya meminggirkan suara-suara masyarakat di sana. Maka bukan jeda kemanusiaan Papua yang dibutuhkan orang Papua, tapi jeda eksploitasi, moratorium keinginan Jakarta memperdaya Papua seraya mengiming-iminginya dengan janji kemakmuran dan kesejahteraan.
Konflik yang tak henti lebih dari setengah abad telah memakan korban. Untuk menghentikannya perlu inisiatif tiga pihak: TNI/Polri, pemerintah daerah termasuk Wali Gereja dan Majelis Rakyat Papua, serta kelompok bersenjata. Pemerintah pusat sebagai otoritas yang memayunginya mesti menjamin semua inisiatif itu berjalan. Tanpa itu semua, jeda kemanusiaan selamanya tak akan terwujud.
Transparan dan inklusif adalah prasyarat jeda kemanusiaan. Tanpa prinsip ini, jeda kemanusiaan hanya nama. Mereka yang bertikai bisa tak mematuhinya karena tak punya niat menyelesaikan konflik melalui jalan damai. Maka, ketimbang terbuai harapan palsu jeda kemanusiaan yang akan dilaksanakan hingga Februari 2023, lebih baik pemerintah menyelesaikan problem konkret di Papua akibat konflik itu.
Jika urusannya kelaparan dan kekurangan gizi pengungsi, Kementerian Sosial atau Kementerian Kesehatan yang menjamin pasokan pangan kepada pengungsi Papua. Jika urusannya gencatan senjata, TNI/Polri dan kelompok bersenjata yang stop berperang. Apabila urusannya kekerasan, diplomasi adalah jalan terbaik menghentikannya.
Dengan tak terpenuhinya prasyarat-prasyarat itu, jeda kemanusiaan malah membawa masalah baru ke dalam konflik Papua. Kelompok bersenjata yang tak diajak berunding akan makin mengeraskan sikap, TNI/Polri yang mempertahankan doktrin “NKRI harga mati” selamanya akan menganggap elemen Papua sebagai musuh dan kelompok separatis. Jalan dialog pun menjadi terputus, sementara krisis kemanusiaan terus berlangsung dan korbannya terus berjatuhan.
Artikel:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo