Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Penduduk di sekitar Bandara Internasional Yogyakarta berhadapan dengan polisi dan anggota TNI.
Sebagian dari mereka bertahan di sebuah masjid yang akhirnya ikut diruntuhkan.
Mereka yang direlokasi tak bisa lagi bertani dan tak mendapatkan penghasilan.
TUGINAH belum lama terbangun pada suatu pagi tahun 2017. Berniat memanen cabai di lahan depan rumahnya, dia melihat belasan alat berat sudah berderet di jalan Desa Glagah, Kecamatan Temon, Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta. Ia lalu menyaksikan ekskavator meratakan lahan cabai itu. “Saya dan tetangga-tetangga tidak bisa berbuat apa-apa,” kata Tuginah, kemudian menangis, Rabu, 16 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ibu empat anak itu menolak menyerahkan lahan miliknya yang akan dijadikan kawasan Bandar Udara Internasional Yogyakarta. Ada sekitar 550 keluarga di pesisir pantai selatan Jawa yang meliputi lima desa di Kecamatan Temon yang terkena dampak proyek itu. Dari jumlah itu, 37 keluarga bertahan. Tuginah enggan menyerahkan lahan empat petak miliknya yang ditanami cabai, semangka, dan padi, sejak 2012. Pada pertengahan Juni 2017, Presiden Joko Widodo menetapkan pembangunan bandara itu dalam proyek strategis nasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum lahan Tuginah dan penduduk lain diobrak-abrik, petugas pematok lahan datang ke kawasan itu. Tuginah berdiri di hadapan ratusan polisi dan tentara yang mengawal petugas pematok ke halaman rumahnya. “Saya didorong dan dipukul,” ujarnya. Namun Tuginah bergeming dan membentak petugas di hadapannya. Hari itu patok-patok bandara tak terpasang di pekarangannya.
Menurut Tuginah, bentrokan antara penduduk dan petugas penggusuran bukan cuma sekali itu terjadi. Suatu kali, adu dorong terjadi kembali. Tuginah menyaksikan teman-temannya yang tergabung dalam Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo mengalami kekerasan. Dia sempat menyelamatkan seorang perempuan yang dadanya diinjak petugas.
Tuginah, penyintas penggusuran akibat pembangunan Bandar Udara Internasional Yogyakarta, di Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 16 Desember 2020. Tempo/Pito Agustin
Muhdi, 65 tahun, warga Dusun Sidorejo, Desa Sindutan, membenarkan adanya perlakuan tersebut. Setelah Agustus 2017, penggusuran dimulai. Muhdi menuturkan, seorang tetangganya yang histeris naik ke genting saat alat berat bersiap meratakan rumahnya. Tangan dan kaki tetangganya itu kemudian diikat oleh petugas. “Seperti kambing mau disembelih,” ucap Muhdi. Banyak penduduk, kata dia, menangis saat digusur. Muhdi sendiri tak kehilangan rumah, tapi lahan seluas 3.000 meter persegi miliknya tergusur.
Sebagian penduduk akhirnya menerima direlokasi ke tempat lain dan mengambil ganti rugi. Namun sebagian lagi ngotot tak menyerahkan lahan mereka. Pada Januari 2018, Ombudsman Republik Indonesia Provinsi DI Yogyakarta meminta kegiatan pengosongan dan pembongkaran lahan dihentikan. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia pun berkali-kali mendatangi lokasi itu. Anggota Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan ada berbagai persoalan kemanusiaan dalam penggusuran. Dia mencontohkan, meski pembangunan belum dimulai, lahan milik penduduk sudah dimasuki alat berat. Anam juga menyinggung soal aliran listrik dan air yang dimatikan.
Koordinator Paguyuban Warga Penolak Penggusuran Kulon Progo, Sofyan, bercerita, penduduk yang bertahan mencoba menanami kembali lahannya. Namun ekskavator kembali menggilas lahan tersebut. Berkali-kali mencoba, akhirnya mereka menyerah karena kehabisan duit untuk membeli bibit dan pupuk. Setelah lahan kosong, giliran rumah yang dihancurkan. Sebagian penduduk, termasuk Tuginah, mendirikan tenda di luar pagar bandara. Menyambung hidup, dia menjual potongan kayu dari pepohonan yang terlibas buldoser.
Menurut Sofyan, ada 18 orang yang bertahan di Masjid Al-Hidayah di Desa Palihan, yang berada di kawasan bandara. Setiap hari mereka bergumul dengan polusi udara dan suara akibat aktivitas alat berat. Anak-anak yang bersekolah pun harus melintasi pagar yang dijaga petugas. “Kadang kami harus bersitegang dengan mereka,” tutur Sofyan. Pada 12 Desember 2018, masjid itu akhirnya diruntuhkan. Bertahan lebih dari enam bulan, Sofyan dan keluarganya pindah ke rumah saudaranya, 10 kilometer dari kawasan bandara.
Kehidupan masyarakat yang menerima relokasi dan ganti rugi tak sepenuhnya membaik. Kepala Dukuh Kragon II, Wiharto, 55 tahun, yang tinggal di rumah relokasi Palihan, mengatakan duit ganti rugi habis terpakai untuk membangun rumah atau membeli mobil yang akan digunakan sebagai taksi online. Namun pekerjaan sebagai pengemudi taksi online juga tak menghasilkan duit yang cukup. Akibatnya, kata Wiharto, sebagian anak dari keluarga yang terkena dampak tak lagi melanjutkan sekolah.
Menurut Wiharto, mereka yang direlokasi sebenarnya berharap bisa mendapat pekerjaan di bandara seperti yang dijanjikan. Tapi mereka terganjal batasan usia. “Kami minta toleransi umur pun tak diberi. Tak ada penduduk terkena dampak yang jadi karyawan, paling satpam kontrak,” ujarnya.
Muhdi, 60 tahun, warga Desa Sindutan, mengatakan banyak orang tua kesulitan mendapatkan uang. Padahal dulu penghasilan mereka cukup untuk memenuhi kebutuhan bulanan. Bahkan, kata Muhdi, banyak penduduk dari wilayah lain datang ke sana untuk menjadi buruh tani atau menyewa lahan. “Kami yang usia sepuh pun masih bisa bertani, tapi sekarang tidak bisa lagi,” ucapnya.
Koordinator Divisi Advokasi Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta, Julian Duwi Prasetia, menilai terjadi pelanggaran terhadap hak ekonomi, sosial, dan budaya penduduk yang terkena dampak proyek bandara. Dia mencontohkan, mereka yang memegang sertifikat lahan dan rumah pun tetap digusur. “Mereka kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan sebagai petani,” kata Julian.
General Manager PT Angkasa Pura I Bandara Internasional Adisutjipto yang sebelumnya merangkap pelaksana tugas General Manager Bandara Internasional Yogyakarta, Kolonel Penerbang Agus Pandu Purnama, membantah terjadi pelanggaran hak asasi manusia. “Sudah ada mediasi dengan Komnas HAM dan sudah selesai,” ujarnya pada Sabtu, 19 Desember lalu.
Pandu juga mengklaim sebagian penduduk yang terkena dampak telah diterima sebagai pekerja. Syaratnya memang harus berusia di bawah 30 tahun. “Mereka bekerja di bagian keamanan, pemeliharaan fasilitas, operasional, juga cleaning service,” katanya. Dia membenarkan mereka bekerja dalam status alih daya alias outsourcing. Pandu menyatakan kewajiban membayar ganti rugi pun telah dilaksanakan Angkasa Pura.
Juru bicara Pengadilan Negeri Wates, Edy Sameaputy, mengatakan, dari uang Rp 854 miliar yang dititipkan Angkasa Pura untuk ganti rugi penduduk yang terkena dampak, kini tersisa Rp 9,129 miliar. Edy mengatakan ada 14 berkas pengambilan ganti rugi yang belum diproses. Di antara mereka yang akhirnya mengambil ganti rugi adalah Tuginah dan Sofyan. “Kalau tidak terima ganti rugi, saya dan keluarga tak bisa hidup,” ujar Tuginah, yang harus membiayai sekolah empat anaknya. Sedangkan Sofyan menyatakan hanya mengambil haknya yang telah dirampas. “Sampai kapan pun saya tidak menerima lahan saya direbut.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo