Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
+ Njonja Santoso: Saja memang perlu hak-hak dasar dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Ketua Panitia Ketjil: Tidak perlu, karena Negara Indonesia berdasar kedaulatan rakjat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERCAKAPAN di atas adalah potongan debat yang tak selesai antara Maria Ulfah (Njonya Santoso) dan Sukarno (Ketua Panitia Ketjil) dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) pada 13 Juli 1945. Debat itu memperlihatkan bahwa sengketa tentang hak asasi manusia telah memiliki akar panjang dalam sejarah pendirian Indonesia. Maria Ulfah adalah orang pertama yang mempertanyakan mengapa hak asasi manusia sama sekali tidak dimasukkan ke Rancangan Undang-Undang Dasar. Usul Ulfah itu ditolak oleh Sukarno dengan argumen “karena negara Indonesia berdasar kedaulatan rakyat, maka hak asasi manusia tidak perlu (lagi—penulis) dimasukkan ke dalam UUD”.
Argumen Sukarno menyiratkan dua kemungkinan: pertama, hak asasi tak perlu dijamin dalam konstitusi karena sudah ada demokrasi (kedaulatan rakyat), dengan itu boleh jadi ia berpandangan bahwa demokrasi dengan sendirinya memberikan jaminan hak asasi. Kedua, hak asasi tidak perlu dijamin di konstitusi karena, selama rakyat sebagai satu totalitas terefleksikan kepentingannya di dalam negara, otomatis hak bukan lagi suatu masalah.
Argumen pertama menyiratkan pandangan demokratik yang kosmopolitan ketika hak asasi dan demokrasi diterima dalam koherensi. Sementara itu, tafsir kedua menyiratkan pandangan yang lebih condong pada gagasan politik komunitarian ketika hak asasi ditolak oleh suatu pandangan partikular mengenai kedaulatan rakyat. Melihat suasana sidang BPUPK saat itu yang dipengaruhi rezim fasis Jepang, tafsir kedua tampaknya yang lebih mungkin.
Terlepas dari penolakan Sukarno, pertanyaan Maria Ulfah itu telah membuka pikiran akan pentingnya ideal hak asasi manusia dalam debat pendirian negara. Dalam sidang-sidang selanjutnya, Soepomo dan Sukarno terus mengesampingkan hak asasi dari konstitusi, tapi Hatta secara gigih menekankan pentingnya hak-hak untuk melindungi warga negara diatur di dalam konstitusi. Akhirnya, meski tidak banyak, pasal mengenai hak terutama hak berserikat dan berkumpul serta hak menyatakan pendapat bisa dimasukkan ke konstitusi pertama Indonesia.
Perdebatan yang diwarisi gagasan Maria Ulfah dan Hatta, Sukarno, serta Soepomo terus mengalir dalam lintasan sejarah hingga sekarang. Kita tahu, pada akhirnya di atas kertas pendirian Maria Ulfah dan Hatta tampil sebagai pemenang dalam konstitusi kita hari ini. Undang-Undang Dasar 1945 Indonesia pasca-amendemen telah memiliki pasal-pasal yang memberikan jaminan prinsipiil hak-hak asasi manusia di dalamnya. Indonesia telah meratifikasi pelbagai instrumen utama HAM. Secara normatif, Indonesia pasca-reformasi adalah negara yang mengakui prinsip-prinsip utama HAM. Namun, dalam praktiknya, penolakan terhadap ideal-ideal hak asasi manusia terus muncul dan kini malah menguat.
Penolakan substansial terhadap hak asasi bisa datang dai pelbagai arah: populisme agama, fasisme, dan pandangan partikularisme kebudayaan. Namun, untuk konteks Indonesia, penolakan terhadap hak asasi manusia banyak bersumber dari gagasan negara kekeluargaan di Indonesia.
Negara kekeluargaan, kata David Bourchier, dibangun berdasarkan ide organisis yang mengutamakan persatuan, kekeluargaan, dan totalitas. Di dalam organisisme, yang diutamakan dan yang dianggap baik, sesuai, dan selaras dengan kepentingan nasional adalah “yang menyeluruh”, yang total. Itu sebabnya, kebebasan dan hak-hak individual yang merupakan inti dari hak asasi manusia sulit diakui, dianggap buruk, menyimpang, bahkan pernah subversif.
Menurut Bourchier, selain bersumber dari filsafat organisisme Barat, pandangan negara organisis di Indonesia mendapat sumber rujukan dari rembesan filsafat yang dianut oleh fasisme Jepang. Filsafat Jepang menggarisbawahi pentingnya prinsip Kokutai no Hongi, yang menekankan keharusan: pertama, penolakan semua pandangan Barat, termasuk liberalisme, komunisme, anarkisme, dan sosialisme. Kedua, pandangan bahwa keluarga dan kekaisaran mentransformasikan pelbagai perbedaan sosial. Ketiga, menegaskan hubungan integral antara individu-keluarga-negara. Keempat, negara merupakan bentuk perluasan dari keluarga. Kelima, individu tidak dapat diasingkan dari negara dan selalu mendapat posisi yang dialokasikan oleh negara di dalam peran-peran di dalam masyarakat (Bourchier, 2015, halaman 83).
Dalam konteks Indonesia, pandangan organisis ini diajukan oleh Soepomo selama sidang BPUPK pada 1945. Dalam sidang BPUPK tanggal 31 Mei 1945, Soepomo memperkuat dalil-dalil negara kekeluargaan yang dicampurkannya dengan model masyarakat dan nilai tradisional Jawa dengan menekankan keharmonisan serta kebersatuan penguasa dan rakyat dengan basis partikularisme sosial dan budaya:
Kita sekarang menindjau negara Asia, ialah dasar negara Dai Nippon. Negara Dai Nippon berdasar atas persatuan lahir dan batin jang kekal antara Jang Maha Mulia Tenno Heika, negara dan rakjat Nippon seluruhnja. Tenno adalah pusat roehani dari seluruh rakjat. Negara bersandar atas kekeluargaan. Keluarga Tenno jang dinamakan: “Koshitu” ialah keluarga jang terutama.
Dasar persatuan dan kekeluargaan ini sangat sesuai pula dengan tjorak masjarakat Indonesia.
Pandangan organisis Soepomo ini oleh Orde Baru dikembangkan dalam paket dan postur yang lebih lengkap dengan diturunkan dalam dua pranata politik, yakni pertama, penyisipan organisisme dalam tafsir ideologi politik Pancasila yang tunggal, sakral, dan penuh dengan “pengecualian budaya”. Kedua, menautkan ide totalisme, harmoni, dan persatuan negara-rakyat dalam kebijakan ekonomi pembangunan negara (developmental state). Organisisme menjadi kerangka dasar dan orientasi ideologis yang mendasari seluruh aspirasi tentang pembangunan dan “kemajuan” Indonesia. Di bawah kondisi ini, hak asasi manusia ditolak sebagai norma dan gagasan, ditekan sebagai aspirasi dan imajinasi politik.
Krisis ekonomi dan reformasi politik 1998 memberikan dobrakan ganda baik kepada organisisme maupun kepada gagasan developmentalisme yang dijaminnya. Reformasi politik memaksa perubahan dalam matriks ideologi politik organisisme: seluruh tabu politik yang dikonstruksi atas nama basis harmoni, kekeluargaan, dan totalitas digantikan dengan kritik, kebebasan, dan pluralisme politik.
Pada saat yang sama, karena krisis finansial, developmental state Orde Baru, yakni negara yang secara aktif mencengkeram pelbagai sektor ekonomi, dihantam dengan tuntutan-tuntutan baru yang dibawa oleh neoliberalisme untuk lebih membuka diri terhadap kekuatan pasar global.
Untuk sesaat—sebagaimana dicatat oleh Bourchier—Indonesia menikmati suasana politik yang sedikit kosmopolit. Namun pandangan holisme, kekeluargaan, dan kesatuan organis dalam memandang manusia, negara, dan masyarakat rupanya telah telanjur berurat-akar dalam tradisi politik di Indonesia serta terus beresonansi setiap kali muncul kebutuhan untuk merumuskan identitas nasional, dari zaman ke zaman, dari rezim-rezim pasca-Soeharto. Pada masa pemerintahan Joko Widodo, organisisme menguat kembali dalam rangka menjawab dua keperluan: konsolidasi politik pembangunan (neo developmental state) dan jawaban atas populisme agama.
Kembalinya negara organisisme dan developmental state di masa kini tidak membutuhkan syarat-syarat politik baru yang lebih rumit karena seluruh perangkat keras dan lunak warisan Orde Baru masih tersedia secara lengkap dalam matriks kepolitikan Indonesia. Sebaliknya, ia dengan segera menghasilkan mimpi buruk lama dalam hak asasi manusia: kekerasan di Papua, impunitas, menyempitnya ruang civic yang ditandai dengan rontoknya kebebasan berpendapat dan berekspresi, kekerasan terhadap komunitas di sekitar sumber daya alam, kerusakan lingkungan, kemerosotan demokrasi, politik hukum yang makin represif.
Yang lebih mengkhawatirkan, kombinasi baru organisisme dan developmental state di Indonesia kini menghadirkan déjà vu yang masih terasa intim dalam ingatan: birokrasi yang korup, meredupnya politik posisi demokratik, kebijakan ekonomi dan infrastruktur yang terkonsentrasi di tangan negara.
Pengalaman masa lalu menunjukkan salah satu sumber daya rusak negara pembangunan di bawah organisisme adalah ia mengandalkan skema, model, dan tahap yang abstrak dalam klaim akan progres. Akibatnya, ia mengabaikan eksistensi manusia yang konkret. Ia puas atas berdirinya bendungan, kebun, tambang, serta infrastruktur dan jatuh pada anggapan bahwa itulah perubahan yang dengan otomatis akan membawa semua orang ke dalam kemajuan. Kalau ada korban atau yang tercecer, itu ekses.
Dari sini, pada akhirnya developmental state menceraikan kebebasan dan martabat manusia dari pembangunan, menjadikan ekonomi identik dengan kekerasan. Namun, sebagaimana ditulis Tania Muray Li, “Like their colonial predecessors, contemporary national development regimes sometimes resort to violence to achieve their objectives, but regular use of violence indicates weakness.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo