Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LANGKAH perfilman Indonesia pada awal 2020 cukup meyakinkan. Setelah membukukan 129 judul film pada 2019 dengan total penonton hampir menyentuh angka 52 juta, tren perfilman diproyeksikan terus meningkat. Benar, sejumlah film yang dirilis teatrikal pada awal tahun dapat dengan cepat meraih lebih dari 1 juta penonton. Ada Milea: Suara dari Dilan, Nanti Kita Cerita tentang Hari Ini, dan Akhir Kisah Cinta Si Doel yang masing-masing ditonton oleh 3,1 juta, 2,2 juta, dan 1,1 juta orang. Tapi lalu Maret datang. Semua tiba-tiba terhenti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kita tak perlu diingatkan lagi bahwa masa pandemi ini telah menghambat laju hampir semua industri, termasuk industri perfilman Indonesia. Ada kegagapan yang kentara saat pertama kali semua jaringan bioskop dinyatakan harus tutup per 23 Maret. Belum ada yang tahu bagaimana harus beradaptasi dengan situasi luar biasa ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penjurian Film Pilihan Tempo 2020 lewat Google Meet, 7 Desember 2020. Tempo/Gunawan Wicaksono
Film yang baru sebentar mencicipi layar bioskop seperti Mariposa dari Falcon Pictures harus turun dan tak ada jaminan kapan dapat diputar kembali. Judul-judul yang sudah antre, seperti Tersanjung: The Movie, Tarung Sarung, dan kisah horor yang difilmkan berdasarkan utas viral di Twitter berjudul KKN di Desa Penari, harus membubarkan barisan begitu saja. Untuk beberapa waktu, nyaris tak ada aktivitas dalam dunia perfilman. Pada 21 April lalu, Koalisi Seni Indonesia mendata 30 proses produksi, rilis, dan festival film yang batal atau ditunda karena wabah Covid-19.
Seiring dengan waktu, perlahan-lahan penghuni ekosistem ini mencari celah. Penyedia layanan over-the-top (OTT) seperti Netflix, Iflix, dan GoPlay yang tadinya merupakan lapis distribusi kedua setelah festival dan bioskop mulai dilirik sebagai jalur utama. Film Guru-guru Gokil menjadi salah satu judul pertama yang tayang perdana secara resmi lewat jalur OTT, diikuti Bucin.
Penjurian Film Pilihan Tempo 2020 lewat Google Meet, 7 Desember 2020. Tempo/Gunawan Wicaksono
Pilihan OTT pun makin beragam, baik dari luar maupun yang dikembangkan oleh anak negeri seperti Mola TV, Bioskop Online, Viu Indonesia, dan Disney+ Hotstar. Setiap platform berlomba menggaet pelanggan dengan menghadirkan konten orisinal. Tiga bulan terakhir, sebagian besar penyedia layanan putar film online telah semarak dengan beragam film cerita panjang terbaru. Lewat cara ini, kita dapat menonton judul seperti Mudik, Story of Kale: When Someone's in Love, Sejuta Sayang Untuknya, atau Bidadari Mencari Sayap.
•••
DI tengah situasi yang tak menentu inilah Film Pilihan Tempo hadir kembali. Situasi perfilman nasional tahun ini tak dapat dibilang menggairahkan. Tapi kami memutuskan tetap meneruskan tradisi pemilihan film terbaik beserta kategori pendukungnya yang telah berlangsung sejak 2011ini agar dapat merekam apa yang terjadi dalam dunia perfilman Indonesia sepanjang tahun yang kelabu. Kami juga ingin tetap memberikan apresiasi kepada jejaring produser, sineas, dan distributor yang terus menjaga api sinema meski pandemi menciptakan batas-batas yang belum pernah kita jumpai.
Seperti biasa, film-film yang kami pertimbangkan adalah film cerita panjang berdurasi minimal 60 menit yang dirilis selama Desember 2019-November 2020. Saluran rilis bisa berupa bioskop, festival, komunitas, dan tentu saja layanan OTT. Daftar judul yang kami sisir jelas tak sepanjang tahun-tahun sebelumnya. Kendati begitu, kami tak mengendurkan kualitas penjurian dan tetap mengacu pada standar Tempo tatkala memilih nomine dan pemenang untuk tujuh kategori: Film Pilihan, Sutradara Pilihan, Skenario Pilihan, Aktris dan Aktor Utama Pilihan, serta Aktris dan Aktor Pendukung Pilihan.
Tim juri terdiri atas awak redaksi Tempo yang sehari-hari meliput agenda film, menulis artikel dan ulasan sinema, serta menyunting tulisan film. Selain itu, kami mengundang tiga juri dari luar yang tekun mengamati perfilman dan dapat menawarkan beragam perspektif. Mereka adalah Hikmat Darmawan, kritikus film yang saat ini menjabat Ketua Bidang Program Dewan Kesenian Jakarta; Adrian Jonathan Pasaribu, pendiri situs kajian film Cinema Poetica; dan Andina Dwifatma, akademikus di Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, yang juga novelis. Selain sebagai juri, Hikmat, Adrian, dan Andina turut menyumbangkan tulisan dalam laporan khusus ini untuk ulasan film, sutradara, dan skenario terbaik.
Adrian Jonathan Pasaribu. Dok. Pribadi
Tak ada penganan atau teh dan kopi di ruang rapat Tempo yang menemani diskusi juri seperti tahun-tahun sebelumnya. Pertemuan juri sepenuhnya berlangsung secara virtual. Kami juga tak menyambangi ruang-ruang putar alternatif untuk menonton judul-judul yang dipertimbangkan. Tautan daring (online) dan aplikasi layanan streaming di telepon seluler menjadi perangkat utama saat penilaian.
Hal pertama yang diperhatikan oleh juri saat penilaian dimulai adalah film komedi menjadi genre yang paling menonjol dalam daftar film tahun ini. Sejumlah judul menawarkan premis menarik dan humor yang tak murahan, seperti Mekah I'm Coming, Imperfect, dan Sejuta Sayang Untuknya. Entah kebetulan entah tidak, banyak pula film yang dirilis setelah wabah melanda merupakan perwakilan genre komedi, seperti Guru-guru Gokil, Sabar Ini Ujian, Benyamin Biang Kerok 2, dan Warkop DKI Reborn 4. Betapapun demikian, kami tentu tak hanya menonton satu genre untuk penjurian. Berbagai film panjang yang muncul pada tahun ini kami perhatikan. Kami juga menyimak film-film yang muncul dari daerah, seperti Debu Muara dari Surabaya.
Tak pelak, diseminasi film lewat jalur OTT juga membuka ruang untuk munculnya tema-tema yang dalam situasi biasa akan sulit menarik perhatian bioskop. Misalnya persoalan pemeluk agama berbeda yang hidup bersama seperti yang dihadirkan Bidadari Mencari Sayap. Namun masih banyak juga tema yang tak jauh dari selera populer dengan kemasan yang tak memberi kesan, seperti percintaan remaja ala Di Bawah Umur atau kisah motivasi mengejar mimpi ke luar negeri sebagaimana digambarkan dalam Rentang Kisah dan Pemburu di Manchester Biru.
Andina Dwifatma. Dok. Pribadi
Juri juga mendiskusikan persoalan representasi kelas dan diskursus kaum kota versus kampung yang muncul dalam sejumlah film. Story of Kale: When Someone's in Love menghadirkan diskusi seputar toxic relationship dan kekerasan dalam hubungan dengan cukup baik, tapi lanskap cerita dinilai masih berpusat pada lingkaran borjuis. Sebaliknya, film Mudik telah mencoba menghadirkan persoalan orang kampung tapi sudut pandang yang dipakai masih terjebak pada stereotipe atas kampung. Kasus serupa, meski dengan cara berbeda, juga muncul dalam Guru-guru Gokil.
Film yang kami pertimbangkan sebagai pemenang antara lain dua judul dari Citra Sinema dan MD Pictures, yakni Sejuta Sayang Untuknya dan Bidadari Mencari Sayap yang ditayangkan lewat Disney+ Hotstar. Begitu pula Mekah I'm Coming, yang sempat masuk bioskop pada awal Maret lalu dan kini dapat disaksikan lewat Viu Indonesia. Film Jakarta, City of Dreamers arahan Robby Ertanto yang tayang perdana di Black Night Film Festival, Estonia, juga masuk daftar nomine film terbaik pilihan Tempo.
Sedari awal, Mekah I'm Coming menjadi judul yang menarik perhatian. Tayang perdana di Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) akhir tahun lalu, film ini tak hanya mencolok di dalam kotak genre komedi, tapi juga unggul dalam daftar film lain berdasarkan berbagai aspek sinematik. Mekah menyajikan masalah sosiologis terkait dengan simbolisme agama dan obsesi berlebihan pada proses naik haji lewat komedi visual serta penyuntingan yang luwes.
Sudah lama sinema Indonesia kehilangan karya komedi berisi sekelas Si Doel Anak Sok Modern (Sjuman Djaja, 1976), Kejarlah Daku Kau Kutangkap (Chaerul Umam dan Asrul Sani, 1986), atau Cintaku di Rumah Susun (Nya Abbas Akup, 1987). Mekah, yang merupakan film panjang perdana sutradara Jeihan Angga, dinilai berpotensi mengembalikan marwah komedi kita. Jarang sebuah film komedi masuk ke kritik agama, apalagi kritik agama yang tak menggurui. Menggigit tanpa melukai. Lucu tanpa sarkasme. Dan problemnya aktual. Itulah yang bisa disajikan oleh Jeihan. “Ini film yang padu dari sisi komedi dengan sudut pandang yang bagus dan membuka banyak hal dalam masyarakat kita lewat topik penipuan haji,” ujar Hikmat Darmawan.
Hikmat Darmawan. Dok. Pribadi
Dengan alasan-alasan itu, kami bulat menetapkan Mekah I'm Coming sebagai Film Pilihan Tempo tahun ini. Karena keunggulan film ini tak lepas dari penyutradaraan yang baik dan naskah yang rapi, kami pun bersepakat menobatkan Jeihan Angga sebagai Sutradara Pilihan dan naskah Mekah menjadi Skenario Pilihan Tempo 2020.
Pengisi daftar nomine Sutradara Pilihan lain adalah Robby Ertanto (Jakarta, City of Dreamers), Herwin Novianto (Sejuta Sayang Untuknya), dan Angga Dwimas Sasongko (Story of Kale: When Someone's in Love). Adapun pesaing Jeihan dan Mekah dalam kategori skenario pilihan adalah Wira Putra Besari (Sejuta Sayang Untuknya), Aria Kusumadewa (Bidadari Mencari Sayap), serta Ernest Prakasa dan Meira Anastasia (Imperfect). “Skenario Mekah I'm Coming yang paling ‘bulat’ dan hampir tak ada adegan yang sia-sia,” kata Andina Dwifatma.
Perdebatan cukup lama terjadi ketika juri memilih aktris yang paling gemilang berakting di antara lima nama yang masuk nominasi. Juri menilai banyak penampilan aktris utama yang menonjol, bahkan mengemudikan jalannya film. Daftar ini diisi oleh Syifa Hadju (Sejuta Sayang Untuknya), Putri Ayudya (Mudik), Michelle Ziudith (Mekah I'm Coming), Jessica Mila (Imperfect), dan Maudy Koesnaedi (Si Doel The Movie 3).
Pengunjung saat menunggu penayangan film di bioskop KCM Jatiasih di Bekasi, Jawa Barat, Kamis, 5 November 2020. Tempo/Hilman Fathurrahman W.
Pada akhirnya, juri memilih bintang muda Syifa Hadju sebagai pemenang karena ia dapat menaklukkan berbagai tuntutan peran sebagai anak sekolah menengah atas yang dibesarkan oleh orang tua tunggal dan harus berjuang secara ekonomi. Syifa juga tak gentar tatkala beradu akting dengan aktor sebesar Deddy Mizwar. “Dia dapat mengimbangi, bahkan mengarahkan Deddy Mizwar dalam sejumlah adegan,” ucap Adrian Pasaribu.
Pilihan lebih sulit datang saat tim menentukan pemenang kategori Aktor Utama Pilihan. Kali ini bukan banyaknya pilihan penyebabnya, melainkan justru terlalu sedikit. Hanya ada tiga nomine dalam kategori ini, yaitu Ardhito Pramono (Story of Kale: When Someone's in Love), Deddy Mizwar (Sejuta Sayang Untuknya), dan Rizky Nazar (Mekah I'm Coming). Juri berharap ada talenta segar dalam keaktoran layaknya Syifa Hadju. Namun dua aktor muda dalam nominasi ini ternyata belum mampu menandingi kefasihan akting Deddy Mizwar. Meski karakter Deddy sebagai Aktor Sagala tak jauh berbeda dengan peran Naga Bonar yang lekat sekali dengan dirinya, dia adalah jangkar dalam film Sejuta Sayang Untuknya. Inilah alasan juri menetapkan Deddy Mizwar sebagai Aktor Utama Pilihan.
Juri tak mengalami kesulitan serupa di kategori Aktris Pendukung Pilihan. Dengan cepat kami memilih Dea Panendra sebagai yang paling layak menang. Dea menjadi Khansa dalam film Jakarta, City of Dreamers. Dia harus memainkan berbagai lapisan karakter sebagai pengguna narkotik dan perias mayat. Skenario film ini mendesak Dea menggali batas-batas ketubuhan di bawah pengaruh obat dan Dea mampu menaklukkan tantangan itu. Dia unggul atas Jajang C. Noer dalam film yang sama dan mendiang Ria Irawan dalam Mekah I'm Coming.
Pemotretan Jeihan Angga oleh fotografer Tempo, Gunawan Wicaksono, di Desa Gamplong, Sleman, 14 Desember 2020.
Nama senior muncul sebagai yang terkuat dalam kategori Aktor Pendukung Pilihan. Juri menilai karakter Nano Riantiarno sebagai sosok ayah dalam Bidadari Mencari Sayap membutuhkan dimensi yang luas dan berat. Nano harus memerankan seorang bapak yang anak perempuannya terzalimi dalam suatu pernikahan beda agama. Di saat yang sama, sebagai minoritas karena etnisnya, dia tak memiliki ruang gerak yang leluasa. Namun Nano sanggup mengarahkan setiap adegan saat dia muncul dengan halus dan memantik perubahan pada tokoh lain. Itulah alasan kami memilih pemimpin Teater Koma tersebut di antara nomine lain: Totos Rasiti (Mekah I'm Coming) dan Umay Shahab (Sejuta Sayang Untuknya).
•••
PEMBACA, pilihan-pilihan yang kami sajikan dalam laporan khusus ini menjadi bukti bahwa para sineas tetap berupaya memberikan yang terbaik meski nyaris sepanjang 2020 kita semua harus berhadapan dengan pagebluk.
Saat edisi ini disusun, dunia perfilman sudah kembali menunjukkan geliat walau masih lambat dan penuh kewaspadaan. Film The Science of Fiction arahan Yosep Anggi Noen yang kami menangkan tahun lalu telah berani menyapa penonton di bioskop. Begitu pula Generasi 90-an: Melankolia oleh M. Irfan Ramli, yang sempat ditunda tanggal rilisnya. Sejumlah festival film juga menemukan cara untuk tetap berjalan secara virtual, seperti Madani Film Festival, JAFF, dan Festival Film Dokumenter. Beberapa rumah produksi pun telah mengumumkan bahwa mereka terus menggarap karya-karya baru dengan tetap memperhatikan prosedur karantina dan protokol kesehatan yang ketat.
Kami yakin paceklik ini akan berakhir. Mari kita nantikan capaian-capaian baru sinema Indonesia pada tahun mendatang.
Tim Liputan Khusus Film Pilihan Tempo 2020
Penanggung Jawab:
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Pemimpin Proyek:
Moyang Kasih Dewimerdeka
Penulis dan Dewan Juri:
Adrian Jonathan Pasaribu, Andina Dwifatma, Hikmat Darmawan, Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim, Isma Savitri, Moyang Kasih Dewimerdeka, Dian Yuliastuti
Penyunting:
Seno Joko Suyono, Nurdin Kalim
Penyunting Bahasa:
Edy Sembodo, Hardian Putra Pratama, Iyan Bastian
Periset Foto:
Gunawan Wicaksono (Koordinator), Jati Mahatmaji, Ratih Purnama Ningsih
Desainer:
Djunaedi, Munzir Fadly, Arif Mudi Handoko
Digital:
Rio Ari Seno
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo