Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Romantisisme Seorang Astronom Tua

Teater Koma mementaskan bagian ketiga trilogi Gemintang. Rangga Riantiarno secara kuat memainkan seorang astronom sepuh yang terombang-ambingkan cinta.

19 Desember 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pentas Teater Koma dengan judul Cinta Semesta. Dokumentasi Teater Koma

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADEGAN awal cukup memikat. Seorang astronom tua di Observatorium Bosscha, Lembang, mendekati teleskop. Rambut dan cambangnya telah memutih semua. Ia menunduk dan mengintip teropong bintang, seolah-olah terus-menerus mengecek kondisi angkasa luar. Ia tampak gelisah. Ia sedang menanti kedatangan alien yang bakal turun ke Lembang, alien yang pernah membuatnya terpesona di masa muda. Astronom tua itu adalah Arjuna. Kini umurnya sudah 80 tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada Juni 2018, di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Teater Koma mementaskan Gemintang, yang bertema agak futuristik. Dalam tontonan itu dikisahkan Arjuna masih muda, berumur sekitar 20 tahun. Arjuna, yang bekerja di Observatorium Bosscha, mampu mengadakan kontak terus-menerus dengan sesosok perempuan dari planet Ssumvitphphpah, yang jaraknya 12 miliar tahun. Makhluk planet lain itu sampai datang ke bumi untuk menemui Arjuna. Arjuna terkejut karena parasnya demikian cantik. Arjuna jatuh hati. Karena nama alien itu begitu sulit diucapkan, Arjuna memanggilnya dengan nama Sumbadra.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arjuna sepuh kini tetap dimainkan oleh Rangga Riantiarno. Makeup rambut dan cambang putih mampu menyulap sosoknya sehingga wajahnya menjadi sangat berbeda dengan saat memainkan Arjuna tatkala muda. Sejak menit awal sampai akhir di panggung, Rangga mampu menjadi seorang saintis lanjut usia yang masih sehat fisiknya, tajam ingatannya, tapi penuh keraguan dalam soal cinta. Pertunjukan Cinta Semesta ini dipentaskan Teater Koma di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ) tanpa penonton, lalu disiarkan lewat Loket Live dan GoPlay dengan tiket seharga Rp 75 ribu. Sebagaimana pertunjukan Gemintangbackdrop dan artistik panggung dipenuhi ilustrasi digital berupa panorama tata surya dan visual wahana antariksa yang digarap penata panggung Deden Bulqini dari Bandung.

Pentas Teater Koma dengan judul Cinta Semesta. Dokumentasi Teater Koma

Beberapa kali dalam adegan seolah-olah muncul manusia-manusia hologram. Tentu efek visual itu lebih terasa apabila kita menonton langsung di GKJ dibanding di layar laptop. “Untuk pementasan Cinta Semesta, saya betul-betul lepas. Saya serahkan sepenuhnya kepada Idris Pulungan untuk menyutradarai,” tutur Nano Riantiarno. Idris sampai menggunakan sepuluh kamera agar rekaman pementasan bisa dinikmati penonton dengan nyaman via laptop ataupun telepon seluler.

Semenjak menit awal, Rangga berduet dengan Sari Madjid, yang memerankan Chan Lan Nio, perempuan astronaut asal Cina yang juga sepuh, berumur 75 tahun. Arjuna berkenalan dengan Chan di Cina dan pernah bersama melakukan perjalanan antargalaksi mengunjungi lima planet. Tokoh Chan Lan Nio belum muncul saat Teater Koma mementaskan Gemintang pada 2018.  

“Chan Lan Nio sebetulnya saya perkenalkan di sekuel kedua Gemintang yang saya beri judul Galaksi. Namun durasi Galaksi ini hampir empat jam. Untuk tontonan online, kami memutuskan memainkan lebih dulu bagian ketiga trilogi yang hanya 99 menit,” tutur Nano. Chen Lan Nio dikisahkan sebagai astronaut yang amat mencintai Arjuna. Demikian besar cintanya sampai ia rela berpindah kewarganegaraan menjadi warga Indonesia dan tinggal di Lembang agar tiap hari bisa menengok dan mengurus Arjuna di Bosscha. Tapi cintanya bertepuk sebelah tangan. Sebab, Arjuna masih bermimpi mengawini sang alien.

Bisa dikatakan duet Rangga dan Sari Madjid merupakan jantung pemeranan. Dialog dan gesturkulasi dua orang wreda yang mempercakapkan hal-hal kecil, dari sepatu terbalik sampai soal kecemburuan, itu terasa komunikatif meski tidak seintim percakapan tentang “kematian” sepasang manusia sepuh dalam naskah Kereta Kencana (adaptasi Les Chaises karya Eugène Ionesco oleh W.S. Rendra).

Bagi mereka yang kerap menonton Koma, aksen dan intonasi kalimat-kalimat Sari Madjid terasa tidak berbeda jauh dibanding peran-perannya terdahulu. Secara keseluruhan, pertunjukan ini hanya menggunakan lima pemain (biasanya tontonan Koma cenderung semikolosal). Tiga pemeran selain Rangga dan Sari Madjid adalah Sekar Dewantari, yang memainkan Sri Ratu Saspikaraturnakasih dari Planet Pispakanakasssuah; Hengky Gunawan, yang memerankan Ababakababa, penasihat sang Ratu; dan Bunga Karuni, yang berperan sebagai Sumbadra. Bisa dibilang pertunjukan ini dimotori generasi kedua Teater Koma. Sebab, Sekar Dewantari adalah putri aktor senior Koma, Budi Ros; Bunga Karuni putri aktris gaek Koma, Daisy Lantang; dan Rangga, seperti kita ketahui, putra Nano Riantiarno.

Satu adegan percakapan Sumbadra dengan Arjuna membuat Arjuna memutuskan bahwa ia harus realistis dalam memilih cinta, tapi kurang kuat. Sumbadra akhirnya kembali melakukan perjalanan antargalaksi menemui Arjuna di Bosscha. Perawakannya masih muda, berbeda dengan Arjuna yang sudah uzur. Sumbadra menjelaskan, terdapat perbedaan waktu antara bumi dan planetnya. Durasi setahun di bumi setara dengan beberapa menit saja di planetnya. Itulah sebabnya dia masih muda. Perihal perbedaan waktu—yang menyebabkan perbedaan fisik—secara logika tidak mungkin tak diketahui oleh Arjuna sebelumnya sebagai astronom. Tapi adegan itu dibuat Nano menjadi penyebab satu-satunya yang membuat Arjuna bersikap mengenai dilema asmaranya.

Pada usianya yang ke-80 tahun, akhirnya Arjuna meminang Chan Lan Nio. “Biarlah kita mati sebagai suami-istri,” kata Arjuna. Chan mengenang hari itu tepat 50 tahun mereka berkenalan. “Hari ini tanggal 6 Juni 2049, 50 tahun yang lalu kita pertama kalinya bertemu,” ucapnya. Sepasang saintis berusia 80 dan 75 tahun itu kemudian saling berikrar menjadi suami-istri di Bosscha.

Sejak awal sampai akhir, Bosscha menjadi setting drama. Mungkin Nano belum tahu bahwa Indonesia tahun depan akan membuat observatorium terbesar di Asia Tenggara di perbukitan Timau, Kupang, Nusa Tenggara Timur. Lingkungan Observatorium Bosscha kini dianggap sudah tidak ideal untuk peneropongan bintang karena telah penuh permukiman yang menyebabkan polusi cahaya.

Perbukitan Timau jauh dari permukiman, memiliki langit yang lebih sering bebas awan dibanding tempat lain di Indonesia. Karena posisi observatorium di tengah Nusantara, nantinya bukan hanya tata surya di belahan langit utara yang bisa diamati, tapi juga di langit selatan. Observatorium ini bakal menggunakan teleskop besar dengan diameter 3,8 meter. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional berencana menggunakan observatorium tersebut untuk program pendeteksian kemungkinan adanya alien dan planet baru yang layak huni. Bila setting drama tahun 2049, tentunya lebih tepat observatorium yang digunakan Arjuna adalah di Timau, bukan Bosscha. Tapi tentu pertunjukan tidak bisa dituntut sedemikian akurat. Toh, ini drama yang sepenuhnya fiksi.  

Tema tentang ruang angkasa sendiri bukan pertama kali ada dalam teater Indonesia. Naskah Ozone karya Arifin C. Noer, misalnya, mengisahkan sekawanan perampok yang melakukan perjalanan antariksa. Waska, Ranggong, dan Borok menjelajahi alam semesta dengan pesawat ruang angkasa untuk mencari kematian. Sebab, di bumi mereka susah mati. Kostum mereka seperti astronaut, dengan helm dan tabung oksigen. Naskah Arifin penuh dengan kalimat bertema perenungan tentang kosmos dan kematian. Sedangkan Riantiarno tak ingin masuk ke masalah itu. Temanya hanya kerinduan dan kebimbangan cinta, suatu kisah yang bisa ditonton oleh publik luas, bukan hanya kalangan teater.  

Pentas Teater Koma dengan judul Cinta Semesta. Dokumentasi Teater Koma

Ujung drama ini adalah gereja. Kedua mempelai, Arjuna dan Chan Lan Nio, dalam balutan jas dan gaun pengantin putih-putih, menerima sakramen pernikahan di gereja. Sebuah ending yang menarik dan tak terduga. Sebuah perkawinan yang anggun. Visual digital menampilkan interior sebuah katedral megah. Kedua mempelai sepuh itu saling menggenggam tangan diiringi suara vokal Naomi Lumban Gaol, yang menjadi penyanyi gereja. Ini adegan terbaik.  

Dengan durasi hanya 99 menit, pertunjukan Koma ini terasa padat dan menghibur. Tidak melelahkan pula walau ditonton di layar ponsel. Di sisi lain, pentas drama ini terutama mampu mendemonstrasikan akting Rangga. Dibanding dalam pementasan Koma lain, baru kali ini ia sangat menonjol. Kita benar-benar merasakan kehadirannya sebagai aktor.

SENO JOKO SUYONO
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Seno Joko Suyono

Seno Joko Suyono

Menulis artikel kebudayaan dan seni di majalah Tempo. Pernah kuliah di Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. Pada 2011 mendirikan Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) dan menjadi kuratornya sampai sekarang. Pengarang novel Tak Ada Santo di Sirkus (2010) dan Kuil di Dasar Laut (2014) serta penulis buku Tubuh yang Rasis (2002) yang menelaah pemikiran Michel Foucault terhadap pembentukan diri kelas menengah Eropa.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus