Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
DPR masih gamang menentukan skema revisi UU Cipta Kerja setelah mengatur omnibus dalam UU PPP.
Ada gelagat enggan menyentuh pasal-pasal bermasalah dalam revisi UU Cipta Kerja.
Cacat hukum UU Cipta Kerja bukan hanya pada ketentuan omnibus, tapi juga minimnya partisipasi publik.
JAKARTA – Sinyal bahwa pengesahan revisi Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) hanya sebagai legalitas Undang-Undang Cipta Kerja semakin kuat. Setidaknya hingga kemarin, setelah revisi UU PPP mengakomodasi metode omnibus dalam sistem legislasi, Dewan Perwakilan Rakyat masih gamang untuk merevisi substansi Undang-Undang Cipta Kerja yang dianggap sarat masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Ketua Badan Legislasi DPR, Achmad Baidowi, mengatakan secara formal, konsep omnibus law telah diatur dalam UU PPP yang telah direvisi. Dengan demikian, revisi UU Cipta Kerja harus merujuk pada ketentuan baru tersebut agar sesuai dengan putusan Mahkamah Konstitusi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Walau begitu, menurut Baidowi, Dewan dan pemerintah masih mempertimbangkan sejumlah mekanisme untuk membahas revisi UU Cipta Kerja. Opsinya, perubahan hanya mencakup ketentuan formal untuk disesuaikan dengan metode omnibus atau turut membahas ulang sejumlah materi dalam UU Cipta Kerja yang banyak dipersoalkan kelompok masyarakat sipil. “Kami masih perlu pembahasan dengan fraksi-fraksi, pemerintah, dan ahli mengenai skema revisi,” kata Baidowi kepada Tempo, kemarin. Ia berharap pembahasan revisi UU Cipta Kerja bisa dimulai tahun ini untuk memenuhi tenggat yang ditentukan Mahkamah Konstitusi.
Rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa, 24 Mei 2022, mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Aturan hasil revisi ini menambahkan ketentuan tentang omnibus, yakni mengubah dan mencabut materi sejumlah peraturan perundang-undangan dalam satu produk peraturan perundang-undangan. Hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera yang menyatakan tak sepakat dengan pengesahan revisi UU PPP, dengan alasan pembahasan selama lima bulan cenderung terkesan kejar tayang.
Suasana sidang putusan UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 25 November 2021. TEMPO/Muhammad Hidayat
Ruang lingkup UU PPP tak sebatas pada pembuatan undang-undang, tapi juga peraturan di bawahnya. Namun, sejak digulirkan pada awal tahun ini, rencana revisi UU PPP ini disinyalir hanya untuk mengakomodasi legalitas UU Cipta Kerja. Mahkamah Konstitusi telah menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak punya kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, salah satunya karena teknik omnibus tak diatur dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Sejak dibacakan pada 25 November 2021, putusan MK itu memang memantik perdebatan. Putusan "inkonstitusional bersyarat"—yang baru dalam putusan uji materi undang-undang—dianggap ambigu. Meski menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum, majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Anwar Usman menyatakan UU Cipta Kerja tetap berlaku, "Sepanjang tidak dimaknai tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun sejak putusan ini diucapkan."
Perbedaan penafsiran mengemuka soal apa yang semestinya dilakukan pemerintah dan DPR terhadap UU Cipta Kerja. Pusat perdebatannya ada pada perintah kepada pemerintah dan DPR agar memperbaiki UU Cipta Kerja. Sebagian kalangan menafsirkan putusan MK hanya memerintahkan perbaikan pada pembentukan UU Cipta Kerja—yang dalam pertimbangan putusan MK disebutkan "cacat secara formal".
Selama ini, UU PPP tak mengenal model perubahan banyak undang-undang dalam satu undang-undang baru atau omnibus law. Opsinya, pemerintah dan DPR cukup merevisi UU PPP dengan menambahkan tata cara pembentukan omnibus law. Atau, UU PPP tak direvisi, namun materi UU Cipta Kerja disusun ulang dengan memecahnya dalam bentuk 11 undang-undang baru—sesuai dengan jumlah kluster di dalamnya.
Tak sedikit pula pakar hukum yang berharap agar pemerintah dan DPR tak berkutat di urusan prosedural pembentukan undang-undang, melainkan juga memperbaiki banyak materi dalam UU Cipta Kerja yang dianggap bermasalah. Pandangan ini berlandaskan bagian pertimbangan putusan MK yang juga menyatakan "pembentuk undang-undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat".
Namun gelagat pemerintah dan Dewan enggan mengutak-atik isi UU Cipta Kerja terbaca pada Februari lalu ketika memulai pembahasan revisi UU PPP. Sebab, sejak awal draf revisi didominasi penambahan ketentuan baru tentang teknik omnibus dalam pembuatan undang-undang. Dan kini, setelah revisi UU PP telah mengakomodasi metode omnibus, rencana revisi UU Cipta Kerja masih jadi tanda tanya besar.
Ketua Badan Keahlian DPR, Inosentius Samsul, memberi sedikit bocoran. Menurut dia, revisi UU Cipta Kerja kelak hanya menyentuh urusan formal. Artinya, pasal-pasal pendahuluan sebagai dasar hukum UU Cipta Kerja akan merujuk pada model omnibus yang sudah dirumuskan dalam UU PPP. “Sehingga terlalu berlebihan kalau mengubah substansi,” kata dia. “Ini lebih pada sistem omnibusnya dulu seperti putusan MK.” Badan Keahlian DPR sudah merumuskan kajian awal mengenai urgensi revisi Cipta Kerja.
Ketua Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul. dpr.go.id
Ketua Badan Legislasi DPR, Supratman Andi Agtas, pernah menyatakan rencana yang berbeda. Ia mengatakan revisi UU Cipta Kerja ada kemungkinan akan menyentuh pula hal-hal substansi—bukan hanya pada bab pendahuluan yang menjelaskan aturan formal. Sebab, dengan putusan MK yang menyebut beleid ini cacat formal, penyusunan UU Cipta Kerja harus diulang dari awal. “Tapi kan nanti tergantung kesepemahaman politik antara pemerintah dan DPR,” kata Supratman kepada Tempo, Kamis, 14 April 2022.
Politikus Partai Gerindra ini menilai jenis perubahan itu akan ditentukan oleh siapa pengusul revisi—pemerintah ataukah DPR. Sebab, kedua lembaga punya cara pandang dan kepentingan berbeda dalam menyikapi putusan MK.
Sikap pemerintah juga belum terang. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly, beberapa waktu lalu, menyebutkan bahwa pemerintah menghormati putusan MK. Adapun skema revisi UU Cipta Kerja, kata dia, akan dibahas lebih dulu dengan DPR.
Sejumlah pakar hukum berharap DPR dan pemerintah merevisi UU Cipta Kerja secara komprehensif. Pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia, Fitriani Ahlan Sjarif, menilai substansi aturan itu mau tak mau harus ikut diubah agar memenuhi putusan MK yang mewajibkan partisipasi publik terpenuhi selama pembahasan. Ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari, berpendapat serupa. “Mengakomodasi partisipasi publik itu berarti mengubah materi undang-undang,” kata Feri.
EGI ADYATAMA | THERESIA BUDIARTI UTAMI PUTRI | FAJAR PEBRIANTO | INDRI MAULIDAR
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo