MENANTI keputusan Mahkamah Agung (MA), bagi pencari keadilan, ibarat menunggu sang "Godot". Mereka tak tahu pasti kapan nasibnya akan diputus para hakim agung. Seminggu, dua minggu, sebulan, setahun, atau entah kapan. Di sinilah kemudian muncul orang-orang seperti Abdul Nasser. Di MA, menurut Nasser, tak hanya berkas-berkas permohonan kasasi yang menumpuk, tapi juga putusan-putusan lembaga peradilan tertinggi itu. "Bayangkan. Satu perkara yang sudah diputus bisa dikirim tiga bulan kemudian," kata Nasser. Sarjana hukum lulusan salah satu universitas swasta di Jakarta ini tahu betul bagaimana memanfaatkan kecemasan orang karena lelah menunggu. Suatu kali, seorang ibu dengan gugup mengacungkan kepadanya uang Rp 25 ribu, minta diambilkan salinan putusan. Akal curangnya keluar. "Bisa saja, Bu. Tapi, mau cepat atau lambat?" tawar Nasser menawarkan. Ketika harga sudah jadi -- tentunya sudah ratusan ribu rupiah -- ia mengulur lagi. Sambil menjereng-jereng uang yang sudah tergenggam di tangannya, ia berkata, "Lo, ini kan untuk saya saja. Teman-teman saya bagaimana?" Padahal, katanya, uang itu masuk kantungnya semua. Bagaimana ia bisa tidak ketagihan melakukan praktek kotor itu? Tinggal turun ia ke ruang tunggu saja, order sudah menunggu. "Kalau hanya sekadar duit Rp 150-250 ribu dalam sehari sih mudah saja," katanya, bangga. Makanya, ia tekun mengembangkan "hobi"-nya itu sejak bekerja di MA, tujuh tahun lalu -- sejak masih di staf humas hingga terakhir di staf wakil sekjen. Nasser, yang lahir di Tuban, 34 tahun silam, itu berasal dari kalangan tak berada. Ketika duduk di kelas 5 SD, ia diasuh oleh Ishak Ayub. Pegawai pajak yang terkenal dermawan itu menanggung semua biaya sekolahnya sampai SMA. Baru setelah bekerja di MA, Nasser mampu membiayai sendiri uang kuliahnya. Terakhir si Nasser pegawai negeri dengan golongan II C. Gajinya hanya Rp 90 ribu. Sedangkan ia ingin agar keluarganya, dengan tiga anak, tampak "lebih" dibandingkan tetangganya di Utan Kayu, Jakarta Timur. Makanya, bagi Nasser, mencalo berkas perkara adalah bisnis yang pas. Dan rumahnya yang mungil pun bisa diisi komplet. "Boleh, dong, pangkat kopral tapi penghasilan jenderal," kata Nasser sambil senyum. Sebagai orang berduit Nasser pun punya "hobi" baru, main bilyar dan judi. Ia punya kebanggaan: dipanggil bos oleh para score girl bilyar di kawasan Monas, Jakarta Pusat, tempat ia biasa mangkal. Di tempat-tempat semacam itu pula uang hasil percaloan perkara itu sering ludes. Nasser mengaku pernah kalah main Mickey Mouse sampai Rp 8 juta sehari. Kegemarannya berfoya-foya itu juga membuatnya malas ke kantor. Atasannya bahkan menganggap Nasser sudah keterlaluan. Bayangkan, dalam seminggu, ia hanya sehari masuk kerja. " Absennya selalu ia rapel," cerita kepala Biro Umum MA, Soetopo. Karena kebutuhan naik, "permainan" Nasser pun meningkat. Tidak hanya sekadar mencalo, tapi ia bisa pula menjanjikan putusan bebas. Caranya: dengan memalsu putusan. Sebetulnya, pada 1989 Nasser pernah ketahuan. Ia sempat diberhentikan. Tapi karena putusan Badan Pengawasan Kepegawaian (Bapek) masih mengambang, ia tetap bisa leluasa bekerja dan menerima gaji. Ternyata, ia tidak kapok. Sebab -- mudah-mudahan ia sedang mengibul -- "Tidak hanya pegawai kecil saja yang 'main' di MA. Yang di atas juga," ujarnya. Dan ketika ia disodori berkas kasasi perkara Tony Goritman oleh temannya sekantor, Bambang Sukowidodo, ia langsung mengerjakannya. "Namanya ditawari duit Rp 50 juta. Ya, mau saja," katanya. Tapi ia silap, untuk perkara pidana khusus seperti kasus Tony ini, salinan putusan itu selain dikirim ke Pengadilan Negeri, seharusnya juga dikirim ke Pengadilan Tinggi dan Kejaksaan Agung. Celakanya, Nasser hanya mengirim vonis palsu itu ke PN. Akibatnya, kini ia harus mempertanggungjawabkannya di hadapan yang berwajib. Ia menyerah? Bukan Nasser kalau tak licin. Di depan pemeriksanya pun, ia berani main-main. Keterangannya di berita acara pemeriksaan (BAP) ia bikin jungkir balik. Pernah polisi tertipu gara-gara Nasser mengaku didanai oleh seseorang bernama Harun. Dua orang petugas segera ditugasi melacak orang ini sampai ke Surabaya. Belakangan ia mengatakan bahwa Harun itu sebenarnya pengacara Harjono Tjitrosoebono. Padahal, itu, katanya, karangannya saja. Begitu pula usahanya mengelabui petugas sewaktu rekonstruksi BAP, pekan lalu. Pertama ia bilang, vonis palsu itu diketiknya dengan komputer di kantor MA. Namun, sesampainya di muka layar komputer, ia mengubah keterangannya. Menurut dia, vonis palsu itu diketiknya di rumah orangtua angkatnya. "Habis, saya nggak enak sama saudara saya. Takut nanti komputernya disita," kata Nasser. Namun, sampai di rumah orangtua angkatnya itu, ia tak bisa membuktikan ucapannya. Ia tampak kebingungan saat menghadapi komputer. Akhirnya ia mengaku bahwa yang mengetik vonis palsu itu rekannya di MA. Namun jangan percaya dulu, "Rekonstruksi ini masih bisa berubah. Tenang saja," katanya ringan. Tampaknya, keterangan Nasser, yang kini ditahan, bisa berubah lagi sampai di muka hakim nanti. "Sebagai terdakwa kita harus mencari yang ringan hukumannya," begitu Nasser memberikan alasan. Maka, ia pun menganggap enteng hukuman yang mengancamnya. "Paling-paling saya hanya akan kena setahun," katanya, yakin. Andy Reza Rohadian, Ivan Haris, Wahyu Muryadi, dan Ardian Taufik Gesuri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini