Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Menyulap Vonis, Mengguncang Peradilan

Banyak pihak menganggap perbuatan pemalsuan keputusan ma menghancurkan wibawa lembaga peradilan. bila masuk peradilan, kasus vonis palsu tony go- ritman merupakan yang pertama diperkarakan.

25 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baru kali ini kasus vonis palsu diusut tuntas. Banyak pihak menganggap bencana itu menghancurkan wibawa lembaga peradilan. KETERLALUAN. Begitulah tudingan secara terpisah, yang sempat terlontar dari Jaksa Agung Singgih dan Direktur Reserse Mabes Polri, Brigjen. (Pol.) Tony Sidharta, sewaktu mengomentari kasus pemalsuan keputusan Mahkamah Agung (MA), terhadap terdakwa Tony Goritman. Gara-gara vonis palsu itu, Tony sempat sekitar tiga bulan menikmati kebebasan. Padahal, menurut vonis aslinya, ia seharusnya langsung dipidana tiga tahun penjara. Ketua Muda MA Bidang Pidana Umum, Adi Andojo Soetjipto, malah pernah menganggap perbuatan mempermainkan keputusan MA itu sebagai tindakan menghancurkan wibawa lembaga peradilan. "Si pemalsu sama sekali tak punya rasa nasionalisme, tidak menyayangi lembaga peradilan milik bangsa dan negara ini. Ia hanya memikirkan aku dan saku," kata Adi Andojo. "Kemurkaan" terhadap kasus itu bukan hanya muncul dari kalangan pejabat saja. Reaksi keras juga datang dari para ahli hukum dan akademisi. Guru besar FH Universitas Diponegoro, Semarang, Prof. Satjipto Rahardjo, misalnya, menilai kasus pemalsuan vonis itu bisa menimbulkan keraguan bagi pencari keadilan. "Bisa-bisa nanti setiap keputusan tak dapat dipercaya. Harus dicek lagi," kata ahli sosiologi hukum itu. Apa yang diutarakan Satjipto itu bukannya tak pernah terjadi. Soalnya, kasus vonis palsu Tony itu sempat merebak menjadi isu nasional. Bahkan di Jawa Timur, beredar isu bahwa vonis yang membebaskan Tony itulah yang merupakan vonis asli dan benar. Sementara itu, Prof. J.E. Sahetapy dari FH Universitas Airlangga, Surabaya, menyatakan keprihatinan yang mendalam atas kasus vonis palsu itu. Menurut Sahetapy, kasus pemalsuan keputusan MA agaknya hanya ditemukan di Indonesia. "Di negara-negara lain, yang paling brengsek sekalipun, tak pernah terjadi kasus memalukan begitu," serunya. Berbagai tanggapan itu tak berlebihan. Apalagi jika mengingat bahwa kasus pemalsuan semacam itu bukan baru kali ini saja terjadi. Kasus vonis palsu Tony itu mungkin merupakan kasus pemalsuan vonis MA yang kelima kali. Pada Juli 1987, dunia hukum juga sempat geger gara-gara ulah pengacara senior di Jakarta, Adi S. Moewardi, 53 tahun. Bekas jaksa yang menjadi pengacara sejak 1972 itu nekat memalsu vonis perdata MA dalam sebuah perkara warisan rumah. Kepada kliennya, Rochmulyati, yang mengaku sudah membayar jasa Adi Rp 40 juta, Adi memberikan vonis MA yang memenangkan kliennya itu. Vonis yang diberikan Adi itu meyakinan karena ditandatangani majelis hakim agung, yang diketuai Indroharto. Selain itu, Adi juga menyerahkan dua surat teguran (surat peringatan sebelum eksekusi dilakukan) dari Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat untuk lawan berperkara Rochmulyati, Bernard -- yang masih terhitung paman Rochmulyati. Dengan "bekal" dari Adi, Rochmulyati pun mengajukan permohonan eksekusi. Tapi ternyata pengadilan menyatakan bahwa vonis di tangan Rochmulyati itu palsu. Menurut vonis yang asli, ia sebenarnya kalah. Departemen Kehakiman pun mengusut kasus itu. Pada pemeriksaan, Adi Moewardi mengaku memalsu vonis itu semata-mata untuk memuaskan kliennya. Namun, sewaktu diwawancarai TEMPO, Sekretaris Dewan Penasihat DPC Ikadin Jakarta itu membantah keras tuduhan pemalsuan itu. Ia mengaku tak pernah memberikan vonis semacam itu kepada Rochmulyati. Sayangnya, kasus itu tak diusut tuntas sehingga tak bisa diketahui pasti apa perbuatan Adi yang sebenarnya. Pada Oktober 1987, berdasarkan wewenang administrasi, pengadilan hanya menskors Adi selama enam bulan tak boleh berpraktek sebagai pengacara. Dua tahun sebelum kasus Adi, malah ada pemalsuan vonis perdata MA, yang lebih berani. Si pemalsu, yang bekerja sama dengan orang dalam MA, membawa salinan vonis MA kepada korban alias pihak yang berperkara, si pencari keadilan. Padahal, amar keputusan vonis itu belum dibacakan majelis. Herannya, sang korban percaya saja, tanpa mengecek kebenaran vonis itu -- yang seakan-akan memenangkannya -- ke MA. Korban kemudian membayar jasa si penipu. Walhasil, seperti juga kasus Adi, salinan vonis yang "dijual" ke si berperkara itu, ternyata, palsu. Sesudah ini pun, setahun kemudian, muncul lagi kasus pemalsuan vonis MA, dengan modus serupa dan juga melibatkan orang dalam MA. Beberapa orang dalam MA yang disebut-sebut terlibat dalam kedua kasus di atas itu memang belakangan dipecat dari tugasnya. Namun, seperti juga kasus Adi, tak satu pun dari kasus itu pernah diperkarakan ke pengadilan. Akibatnya, muncul lagi kasus serupa, menyangkut perkara pidana lagi, ya, vonis palsu Tony itu. Menurut Adi Andojo Soetjipto, kasus-kasus itu sebenarnya bukan tak diusut. Seperti kasus yang pernah melibatkan Abdul Nasser, orang dalam MA yang dituduh terlibat dalam kasus vonis palsu, pada 1989, itu misalnya. Nasser memang dipecat dari MA. Tapi kasusnya sendiri tak pernah terungkap secara jelas. Sebab, "Sewaktu transaksi pembayaran terjadi, mereka hanya berdua. Mereka juga sedapat mungkin menghilangkan barang bukti," tutur Adi Andojo. Yang jelas, dengan mengamati fakta-fakta vonis palsu di atas, Prof. J.E. Sahetapy menganggap memang ada suatu penyakit yang sedang menggerogoti peradilan kita. Bahkan penyakit ini, katanya, sudah pula merasuk ke lembaga penegak hukum lainnya, seperti advokat. Khusus tentang advokat, Sahetapy berpendapat bahwa penyakit itu bisa berkembang akibat salah kaprah dalam memahami filosofi praktek advokat. "Tugas pengacara itu kan membela hukum, kebenaran. Kalau hanya membela orang, motivasinya pasti uang," katanya. Untuk itu, sambung Sahetapy, baik Departemen Kehakiman maupun MA mau tak mau harus segera melakukan pembersihan secara menyeluruh. Baik pembersihan terhadap prosedur dan birokrasi maupun mental aparatnya. Jadi, "Sumber airnya harus bersih lebih dahulu," ucap Sahetapy. Sebab itu, Sahetapy juga mengharapkan agar pers berani mengemukakan masalah bersih dan berwibawa itu. Selain soal pembersihan total itu, Sahetapy pun berharap agar mekanisme pengawasan melekat (waskat) semakin ditingkatkan. Contohnya saja, jika hakim berpenampilan "luks" dan mencolok, katakanlah bermobil mewah dan punya rumah elite, mestinya Departemen Kehakiman bisa mengamatinya. Hanya saja, yang agaknya perlu dicatat, menurut Prof. Satjipto Rahardjo, semua langkah pembenahan itu harus pula diawali dengan adanya kemauan politik Pemerintah. Dengan kata lain, Pemerintah harus tetap menghormati lembaga peradilan dan tidak campur tangan dalam segala urusan yustisial pengadilan. Tak lupa Satjipto mengingatkan faktor hakimnya sendiri sebagai subyek permasalahan. Menurut Satjipto, bagaimanapun keadaan dan kedudukan hakim, terutama penghasilannya, haruslah diperhatikan secara serius. Sebab, "Efek keputusan itu kan pada perolehan materi," ujar Satjipto kepada Bandelan Amarudin dari TEMPO. Karena itu, Satjipto mengangkat kembali isu lama, yakni agar aparat pengadilan berada di bawah satu atap, MA. "Kalau keadaannya masih seperti sekarang, secara sosiologis, pengaruh kekuasaan pemerintah cenderung tetap ada," katanya. Menurut Adi Andojo Soetjipto, untuk mencegah dan menangkal semua itu tentu saja diperlukan peningkatan mekanisme built in control (waskat) dan merapikan pengawasannya. Hanya saja, katanya, pembenahan itu tidaklah sederhana. Soalnya, tambahnya, banyak sekali faktor penyebab munculnya kasus-kasus semacam vonis palsu itu. Mulai dari faktor tunggakan perkara, lalu lintas proses perkara (sampai keputusan) di MA, sampai lamanya salinan keputusan sampai ke pengadilan negeri. Untuk soal lalu lintas perkara, misalnya, MA sudah memikirkan langkah-langkah agar pendapat ataupun salinan keputusannya tak sampai diketahui ataupun dibaca orang-orang yang tak berwenang. Misalnya, bisa saja pendapat itu dimasukkan dalam amplop tertutup, sementara salinan keputusan diketik di atas water paper dan disimpan dalam amplop bersegel. Selain itu, sejak Februari lalu, MA mengumumkan keputusan-keputusannya melalui Forum Keadilan dan Varia Peradilan. Dengan begitu, diharapkan bisa memecahkan masalah "lamanya" informasi keputusan MA ke pencari keadilan. Nanti juga akan dipasang papan besar di MA, yang berisi pengumuman serupa itu. Yang tak kalah pentingnya adalah soal lamanya salinan keputusan sampai ke pengadilan negeri. Seharusnya, begitu perkara diputus MA, ya, langsung dikirim. Namun, siapa sangka, "Ada yang sengaja menahan dan menyimpan keputusan itu, supaya 'harganya' naik," tutur Adi Andojo. Sebab itu, kini MA sudah merancang prosedur agar jangka waktu itu bisa lebih cepat -- dan tentu saja untuk menutup kesempatan "diperdagangkan" calo. Untuk perkara pidana, misalnya, kini akan dipasang perkiraan jangka waktu sejak berkas perkara itu masuk sampai keputusannya siap dikirim ke pengadilan negeri, yakni antara 55 dan 67 hari. Adi Andojo juga tak lupa mengimbau para pencari keadilan agar tak datang ke MA, untuk menanyakan nasib perkaranya. Pertanyaan soal perkara cukup diajukan lewat surat, dan pasti ditanggapi. Jadi "Tak usah pula menemui hakim agungnya, apalagi ketemu pegawai-pegawai ataupun satpam," kata Adi. Sebab, selama ini penyelewengan terjadi di tingkat bawah. Hakim-hakim agung, menurut Adi Andojo sama sekali tak terlibat. Namun, siapa pun yang melakukan penyelewengan, bila kasus Tony Goritman jadi masuk pengadilan, akan merupakan kasus vonis palsu pertama yang diperkarakan. Hp. S., Bambang Sujatmoko, Ardian T. Gesuri (Jakarta), dan Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus