Harjono yakin ada yang menset-up keterlibatannya dalam perkara vonis palsu itu. Akan mengundurkan dirikah sebagai Ketua Umum Ikadin? SIAPA tak kenal Harjono Tjitrosoebono? Pengacara kondang itu tak hanya disegani di "persilatan" hukum dalam negeri, tapi juga kondang ke manca negara. Tokoh yang muncul dari Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia pada 1966 itu pernah menjadi anggota DPRGR/MPRS, cendekiawan Golkar, Ketua Persahi, Ketua Iluni FH UI, dan ikut mendirikan organisasi advokat yang sangat berwibawa, Peradin. Belakangan, ketika Peradin dilebur dengan organisasi sejenis menjadi Ikadin, 1985, Harjono terpilih sebagai ketua umum. Ia, yang senantiasa ramah, memang disenangi kawan dan disegani lawan. Belakangan, ketika Ikadin hendak dilebur lagi dengan berbagai organisasi menjadi Poperi, Harjono bertahan. Ia bersama kawan-kawannya bersikukuh tak mengakui organisasi baru itu kendati kelahiran Poperi direstui Menteri Kehakiman dan Menteri Dalam Negeri. Keaktifannya sebagai Ketua Ikadin malah membuatnya "nyaris" bangkrut. Setelah berkantor mewah di kawasan Kota, belakangan ia pindah ke Jalan Gajah Mada yang lebih murah. Di tempat itu ia ternyata harus pergi juga. Setelah berpindah-pindah, Harjono akhirnya terpaksa boyong ke rumahnya sendiri, di Jalan Plaju 1, Jakarta Pusat. Sebagai advokat, pengalaman Harjono, 69 tahun, segudang. Ia, yang berkaca mata tebal, beberapa kali menangani soal-soal "berat", seperti kasus Malari, "Buku Putih" mahasiswa ITB, kasus H.R. Dharsono, terakhir kasus Dicky Iskandar Di Nata. Di kalangan pengagumnya ia disebut "kamus berjalan". Satu-satunya kelemahan alumnus Fakultas Hukum UI 1956 ini agaknya sikapnya yang easy going dan agak slordig (ceroboh). Ia juga dikenal sangat susah menolak keinginan orang lain. Rekan-rekan seprofesi Harjono umumnya kaget, mendengar kasus yang menimpa Ketua Ikadin itu. "Sampai sekarang, saya tak yakin jika Harjono terlibat," tutur Maruli Simorangkir kepada Nunik Iswardhani dari TEMPO. Maruli juga tak melihat kasus itu akan mempengaruhi reputasi Harjono. "Kalau kita berpegang pada presumption of innocence mestinya tak berpengaruh." Sementara T. Mulya Lubis nampak lebih hati-hati. "Saya tetap berpegang pada azas praduga tak bersalah. Karena setahu saya Harjono orang yang jujur dan memiliki integritas tinggi," katanya kepada Leila S. Chudori dari TEMPO. Buyung Nasution, yang kini tengah menyelesaikan program doktornya di Belanda, juga mengaku sangat terkejut mendengar berita tentang Harjono. "Integritas Harjono saya kenal. Jangan-jangan ada usaha orang untuk menjatuhkan dia dari jabatan Ketua Umum Ikadin," ujarnya kepada Asbari N. Krisna dari TEMPO. Tapi seandainya benar terlibat, "Harjono harus mau diperiksa, untuk membuktikan apakah benar ia terlibat." Sementara orang menganggap itu sebuah tragedi, tapi Harjono sendiri tetap tegar. "Saya yakin ada yang men-set-up keterlibatan saya dengan vonis palsu itu," kata Harjono dengan nada gusar. Berikut ini wawancaranya dengan wartawan TEMPO Wahyu Muryadi dalam beberapa kali pertemuan. Sebagian petikannya: Bagaimana Anda sampai terlibat kasus vonis palsu itu? Ini pukulan yang paling hebat selama puluhan tahun karier saya. Cara yang paling keji yang pernah saya alami, tapi saya nggak akan tinggal diam. Kasus itu sendiri saya nggak tahu. Apakah ini namanya mafia, sindikat, atau apa, saya nggak tahu. Tapi secara umum saya ketahui bahwa ada orang yang menawarkan mau membantu ini-itu, saya bilang boleh saja. Kalau perkaranya bisa menang, mereka saya kasih persen, itu biasa dalam praktek. Tapi saya nggak tahu bahwa mereka membuat vonis palsu. Kalaupun Anda lolos dari tuduhan pemalsuan, toh bisa dianggap penyuapan? Itu saya belum tahu. Kalau pemalsuan, kan susah. Nasser (petugas MA sebagai pelaku utama) sendiri sudah mengakui bahwa dia sendiri yang melakukan. Kalau penyuapan, setiap pasal ada unsur-unsurnya. Salah satunya ikut menggerakkan. Padahal, yang memalsukan vonis itu Nasser, lalu dia menawarkan. Dan dia sendiri yang minta imbalan. Kalau menggerakkan, inisiatifnya kan harus dari saya. Jadi, Anda yakin tuduhan pemalsuan itu lemah? Ya, karena putusan sudah ada. Apakah itu palsu atau bukan, buat apa saya cek lagi. Saya kira semuanya itu tidak palsu. Seberapa jauh Anda kenal Nasser? Saya sebelumnya nggak pernah kenal dan tak ada hubungan. Dia berhubungan dulu dengan Tony. Dia menawarkan jasa menguruskan dan memperjuangkan sampai dapat putusan menang, bagaimana caranya dia nggak cerita. Kalau nanti menang, dia minta imbalan Rp 50 juta. Kemudian saya diberi tahu. Lantas saya bilang, terserah Tony. Kenapa Anda mengatakan "terserah", bukankah ini cara yang tak bisa dibenarkan? Orang mau ikut mengusahakan, bisa saja. Kalah menang tak jadi soal. Bagaimana dia memperjuangkannya, mungkin dia sendiri tahu hukum atau punya hubungan dengan kawan-kawannya. Kenapa Anda tak menolak tawaran itu, dan menunggu kiriman resmi dari Pengadilan Negeri Surabaya? Sebelumnya saya sudah bilang, tunggu saja nanti sampai ada kiriman resmi dari Surabaya. Tapi Nasser ngotot, minta secepatnya. Klien saya juga ikut-ikutan memaksa. Ya sudah, kalau hanya memberikan pendapat menang atau kalah, kan bisa saja. Tapi kan cara itu tak wajar, dan sebagai orang tahu hukum, kenapa Anda menurut saja? Ya ..., karena mereka memaksa. Saya terus dimintai pendapat tentang putusan yang katanya sudah turun. Dalam hal ini, saya mengaku memang terlalu mengalah dan menurut dalam menghadapi permintaan mereka itu. Seharusnya permintaan itu saya tolak. Saya baru sadar bahwa itu vonis palsu. Tapi waktu itu saya tak mengira. Kabarnya, Anda yang berunding dengan Nasser untuk menetapkan uang jasa Rp 50 juta? Soal uang jasa itu, saya nggak ikut mutusin. Lalu mengapa Anda bersama klien menyaksikan penyerahan fotokopi vonis itu di Hotel Borobudur? Saya diminta memberikan pendapat, apakah betul putusan itu memenangkan klien saya atau tidak. Tony kan nggak ngerti rumusan hukum. Makanya, sebagai penasihat hukumnya, ya saya lihat. Dia lalu bertanya, 'apakah ini menang'. 'Oh ya, menang', kata saya. Kabarnya, polisi yakin bahwa Anda terlibat kasus ini dan mungkin akan menetapkan Anda selaku "terdakwa pembantu"? Sampai hari ini saya belum dengar walaupun kabarnya memang ada suara-suara begitu. Apa komentar Anda tentang rekonstruksi yang telah Anda lakukan? Anda lihat sendiri, betapa rapinya mereka menjebak saya ( sambil geleng-geleng kepala dan mendesah). Saking rapinya, sulit diketahui siapa gerangan master-mind di balik semua ini. Rekonstruksi ini benar-benar diarahkan untuk mengetahui keterlibatan saya. Semakin terlihat kalau ini serba diatur, itulah mafia. Saya tak terbiasa dengan mafia-mafiaan seperti ini. Jadinya, saya masuk perangkap. Sebab, selama ini saya terbiasa dengan jalan lurus, sih. Siapa yang menjebak Anda? Yang mengatur ini pasti musuh-musuh saya. (Harjono tak mau menyebutkan.) Beberapa adegan rekonstruksi memojokkan Anda, toh Anda terima juga? Kalau saya menolak, malah akan dituduh memperlambat pemeriksaan. Yah, karena posisi saya lemah, terpaksa saya nurut. Toh nanti saya bisa membuat bantahannya di pengadilan. Percuma adu argumen saat rekonstruksi. Apakah kasus vonis palsu ini akan membuat Anda mengundurkan diri sebagai Ketua Umum Ikadin? Pada intinya, teman-teman ada yang ingin mempertahankan saya, berdasarkan asas praduga tak bersalah. Kalau saya mengundurkan diri, tak sesuai dengan asas itu. Efeknya, akan muncul kegelisahan. Sebaiknya tunggu sajalah (sambil mengambil napas panjang ...).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini